Elena tidak pernah menyangka kejadian hari ini akan merubah hidupnya. Menjungkirbalikkan dunianya. Melemparkan Elena ke tempat yang sangat kelam.
Pagi itu semua berjalan biasa saja. Elena sedang menyiapkan sarapan di meja makan saat telapak tangan Alfian menutup matanya.
"Pagi sayaaaang… Aku punya kejutan buat kamu,” bisik Alfian di telinga Elena.
“Astaga, kejutan apa lagi, Al?” Elena tersenyum lebar menyambut ulah jail suaminya. “Ulang tahunku masih jauh.”
“Enggak perlu tunggu ulang tahun ‘kan untuk kasih hadiah buat isteriku tercinta. Tunggu sebentar. Jangan buka mata dulu ya.”
"Oke..." Elena mengangguk dengan mata terpejam. Jantungnya berdetak sedikit lebih kencang. Berdebar menanti kejutan dari Alfian.
“Nah, sekarang boleh buka mata.”
Pandangan Elena terpaku pada kalung berlian yang melingkari lehernya. “Ya, ampun. Bagus sekali…” Jari Elena membelai butiran batu mulia yang berkilau itu. “Makasih ya sayang… Kamu baik banget sih.” Elena mengecup pipi suaminya dengan gembira.
Sungguh Elena sangat bersyukur bisa mendapatkan suami sebaik Alfian. Setelah tiga tahun menikah rasanya setiap hari cinta Alfian padanya semakin besar. Apalagi beberapa bulan belakangan ini, hampir setiap minggu Alfian memberikan hadiah kejutan untuknya. Perhiasan, tas bermerk, tiket jalan-jalan keluar negeri dan masih banyak lagi hadiah dari Alfian.
“Iya, dong. Aku 'kan suami teladan.” Alfian menepuk dadanya sambil tertawa. Wajahnya sumringah melihat kebahagiaan terpancar di wajah Elena.
Elena tertawa kecil mendengar canda Alfian. “Nah, suami teladan sekarang harus sarapan dulu,” katanya sambil menuangkan kopi ke cangkir Alfian. Kalung yang kini tergantung di lehernya berkelip indah. Elena langsung merasa sepuluh kali lebih cantik dengan kalung ini. Ini saat yang tepat untuk memamerkan kalung cantik ini pada teman-temannya.
Harum aroma kopi langsung menguar samar di ruang makan mereka. Elena hafal sekali minuman favorit Alfian: kopi hitam tanpa tambahan susu atau creamer. Hanya perlu sedikit tambahan gula sebagai penyeimbang rasa. Tidak lupa dua iris roti tawar berlapis selai nanas sebagai menu utama sarapan.
“Hmmm… haruuuummm…” komentar Alfian saat menghidu aroma kopi dari cangkir. “Kopi buatan kamu memang paling enak sedunia,” jempol Alfian teracung tinggi memuji minuman buatan isterinya. Membuat Elena makin cinta pada suaminya yang rajin memuji dan memberi hadiah.
“Pasti dong… Kopi buatan isteri teladan,” canda Elena meniru kata-kata Alfian. Tawa mereka menghangatkan suasana rumah yang hanya mereka tinggali berdua.
Rumah berukuran sedang dengan dua lantai itu terletak di kawasan perumahan elite. Dengan jumlah rumah yang terbatas dan penjagaan keamanan yang ketat.
Sebenarnya Elena lebih suka tinggal di perumahan yang biasa-biasa saja. Kompleks yang bebas dimasuki tukang sayur dan penjual makanan. Lingkungan yang memungkinkan Elena ngobrol dengan tetangga di sekitarnya.
Tapi sebaliknya, Alfian lebih suka tinggal di perumahan eksklusif seperti ini. Enak katanya. Privasi mereka lebih terjaga.
Padahal Elena sering kesepian saat Alfian ke kantor. Sendirian di rumah bikin Elena mati gaya. Apalagi sudah ada yang mengerjakan tugas-tugas rumah tangga. Praktis, Elena tidak punya kegiatan yang berarti. Mau bekerja, tidak diizinkan Alfian. Membantu bisnis Alfian hanya sekali-kali saja, kalau Alfian meminta. Jadilah untuk mengisi waktu Elena hobi ikut arisan.
“Oya, kamu jadi arisan di Café Aletta, Yang?” tanya Alfian setelah potongan terakhir rotinya habis.
Tuh kan, Alfian sampai hafal jadwal arisan Elena.
“Jadi, nanti pas jam makan siang. Kenapa, Yang?” jawab Elena setelah menghabiskan kopi susu di cangkirnya.
“Biasa... aku mau titip paket. Bisa 'kan?"
"Paketnya enggak besar, kan? Jangan-jangan ukurannya sebesar kulkas," canda Elena.
"Ya, enggak lah, sayang. Masa' aku tega banget sih nyuruh isteri sendiri nganter kulkas," Alfian tertawa geli sembari mengambil kotak yang dibungkus kertas kado bermotif bunga dari tasnya.
"Ini, enggak besar 'kan?"
"Okeee... Jangan lupa, upah kurirnya parfum baru ya..." Elena mengedipkan sebelah matanya. Tangannya menimang-nimang kotak itu. Kalau dilihat dari bungkusnya sepertinya kado ini pemberian seorang pria pada pacarnya. Elena membayangkan ada seorang wanita lagi yang berbahagia seperti dirinya, yang mendapat hadiah dari pasangannya.
"Astaga, itu lebih mahal ongkos kirimnya daripada harga barangnya," Alfian pura-pura kaget. Dua tangannya mendekap dada. "Tapi... demi isteri tercintaaah..." Bibir Alfian maju mendekati pipi Elena.
"Gombaaal..." Elena tergelak sambil menarik paket dari tangan Alfian. Diguncangkannya kotak itu di dekat telinga. "Isinya apa sih?" Elena jadi kepo karena tak terdengar suara apapun dari dalam kotak.
"Boneka."
"Ooo... Oke. Pasti hadiah untuk pacar nih, cute banget sih kasih kado boneka. Sini alamatnya. Mau dikirim kemana?"
"Untuk Tiara di Apartemen Gemilang. Lokasinya searah ‘kan dengan Café Aletta 'kan?”
“Satu arah sih. Ya sudah nanti aku mampir ya, sayang."
"Terima kasih, sayang," balas Alfian.
Elena dengan senang hati membantu bisnis Alfian. Suaminya itu sedang merintis usaha florist dan gift shop. Sesekali Alfian meminta bantuan Elena mengantarkan paket untuk pelanggannya.
Selesai sarapan, Alfian langsung berangkat ke kantor dengan mobilnya, sedangkan Elena masih santai-santai membaca buku sambil mendengarkan musik.
Menjelang tengah hari baru Elena meninggalkan rumah dengan sedan mungil miliknya.
Masih banyak waktu, Elena melirik jam di dashboard mobil. Dia menjalankan mobilnya dengan santai. Sesekali matanya melirik spion mobil untuk mengecek kondisi lalu-lintas.
Menjelang tengah hari begini jalan raya masih berstatus ramai lancar. Tidak ada kemacetan yang menghadang. Elena memacu mobilnya di jalur tengah. Jalur yang ideal untuknya. Tidak terlalu lambat dan mobil-mobil yang ingin mendahuluinya bisa memilih lajur paling kanan. Karena itu dahinya berkerut heran saat melihat satu sedan hitam yang sedari tadi berada di belakang mobilnya.
Hanya kebetulan mungkin, katanya dalam hati. Elena berpindah ke jalur lambat. Memberikan kesempatan pada mobil hitam itu untuk mendahuluinya. Barangkali sedan itu terhalang laju mobilnya yang tidak terlalu cepat. Ternyata bukannya bergerak mendahului mobil Elena, sedan itu malah ikut berpindah lajur dan mengurangi kecepatannya.
Elena mulai curiga. Perasaannya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres dengan mobil itu. Rasa takut mulai merasuki hatinya. Curiga jangan-jangan ada orang yang berniat jahat dalam mobil itu, yang berniat mencelakainya.
Segera dia menginjak pedal gas lebih dalam dan memutar setir mobilnya ke kanan. Mobil Elena kini berpindah ke jalur tengah dan bergerak lagi ke kiri, langsung melaju di jalur cepat. Dari spion dia melihat mobil hitam itu juga melakukan hal yang sama.
Elena panik. Jelas mobil itu sengaja membuntutinya. Untuk apa? Begal? Rampok? Bisa jadi. Penjahat zaman sekarang sudah banyak yang nekat menjalankan aksinya di tengah hari seperti ini.
Rupanya pengemudi mobil itu sadar kalau Elena tahu aksinya. Dia ikut menekan pedal gas lebih dalam. Mobilnya melaju cepat mendahului kendaraan Elena. Tanpa diduga mobil itu bergerak ke kanan dan berhenti mendadak di depan mobil Elena.
Elena menjerit. Reflek, kakinya menginjak pedal rem. Tangannya mencengkeram setir. Bunyi bercicit keras terdengar saat ban mobilnya menggesek aspal dengan keras.
Elena terhentak keras. Hampir saja kepalanya membentur kaca depan mobil, untung tertahan sabuk pengaman. Mobilnya berhenti hanya beberapa sentimeter dari sedan hitam itu.
Seluruh tubuh Elena gemetar. Dia baru saja terhindar dari kecelakaan dan kini masih harus menghadapi bahaya selanjutnya. Tanpa daya dia melihat empat orang laki-laki bertubuh kekar keluar dari mobil di depannya. Dengan gerakan sigap mereka mengepung mobil Elena.
“Buka!!!” bentak mereka sambil menggedor kaca jendela mobil Elena. "Buka!!! "