Kunjungan Tak Terduga

Jari Elena bergetar saat menekan tombol ponsel yang dipinjamkan Tari. Telinganya mendengarkan nada sambung beberapa kali. 

“Enggak diangkat,” keluhnya pada Tari.

“Coba lagi…”

Elena mengikut saran Tari. Ditekannya lagi nomer yang sudah dihapalnya itu. Lagi-lagi nada sambung berbunyi tapi tidak ada jawaban. Tanpa putus asa Elena mencoba lagi. Sampai lima kali usahanya menelepon Alfian tidak membuahkan hasil. 
"Makasih, Ri. Teleponnya enggak diangkat." Elena mengembalikan ponsel itu dengan ekspresi sedih. 

“Enggak pa-pa, kita coba lagi besok.” Hibur Tari sambil memeluk pundak Elena.

Elena tidak menjawab. Perasaannya bilang, dia tidak perlu mencoba lagi. Sia-sia. Entah apa yang sudah terjadi dengan Alfian. Yang pasti Elena merasa Alfian sudah menjauh. Sangat jauh.

***

Pagi itu Elena sedang duduk sendirian dalam selnya. Sedang ada kegiatan olahraga, tapi Elena memilih tetap dalam sel. Padahal kata Tari sesi olahraga seperti ini jadi kesempatan untuk sedikit bersenang-senang. Bisa tertawa-tawa melihat teman-teman bergerak lucu-lucu yang jauh dari irama musik. Bergaul dengan teman-teman yang lain.

Selesai acara olah raga biasanya mereka berebut mandi, lalu berdandan karena sebentar lagi jam kunjungan. Artinya mereka boleh keluar dari sel untuk bertemu dengan keluarga atau teman yang datang untuk menjenguk. Tentu saja saat-saat seperti ini tidak boleh dilewatkan. Waktu istimewa untuk melepas kangen dengan kerabat dan pasangan tercinta. 

“Na, enggak dandan?” tanya Tari sambil menepuk-nepuk pipinya dengan spon bedak. Lipstik merah muda sudah menghias bibirnya. Wajahnya terlihat makin manis dalam pulasan make up tipis. 

“Buat apa?” Elena balas bertanya.

“Ya… siapa tahu aja hari ini ada kejutan, suami kamu datang menjenguk.”

Elena menghela napas panjang. “Kayaknya enggak mungkin deh,” balas Elena pasrah. "Sudah seminggu aku di sini, tapi belum pernah sekalipun dia muncul. Aku sudah berhenti berharap, Ri." 

"Jangan begitu..." Tari segera menyimpan bedaknya, lalu berbalik menghadap Elena. "Aku yakin satu hari nanti dia pasti datang." 

Baru saja Tari selesai bicara, seorang petugas membuka pintu sel mereka. “Elena!” panggilnya. “Ada yang datang menjenguk.”

"Tuh kan apa aku bilang..." Seperti bocah yang kegirangan, Tari sampai bertepuk tangan gembira. 

Elena malah jadi gugup, sampai napasnya. “Si-siapa, Bu?” tanyanya panik bercampur bingung. 

Petugas itu hanya mengangkat bahu.

"Aduh, gimana nih, Ri. Aku belum siap-siap." 

"Nih bawa bedakku. Paling nggak kamu bisa bedakan sambil jalan." Tari tertawa kecil melihat Elena masih kebingungan. 

"Buruan!” bisik Tari mendesak. Ditariknya lengan Elena agar segera mengikuti petugas yang menjemput. Harus cepat karena petugas tidak akan mau menunggu. 

Seperti baru tersadar Elena bergegas bangkit dan mengikuti langkah petugas itu ke ruang kunjungan. Akhirnya penantiannya berakhir. Alfian pasti punya alasan kuat hingga baru hari ini datang.

Tergesa Elena merapikan rambutnya dengan tangan. Jarinya******pipinya yang berminyak. Buru-buru dia membuka bedak dari Tari, lalu dengan cepat mengulaskannya pada wajahny. Sungguh Elena menyesal tidak mengikuti saran Tari untuk mandi dan berhias tadi. Sekarang Alfian akan melihat wajahnya yg pucat dan lusuh. 

Langkah Elena terhenti di pintu masuk. Baru kali ini Elena menjejakkan kaki di ruang pertemuan. Ruangan pertemuan khusus yempat orang-orang yang ditahan bertemu dengan keluarganya. 

DI ruangan yang lumayan luas itu diletakkan beberapa meja dan kursi dari plastik. Di tengah ruangan dihamparkan tikar. Sudah banyak orang duduk-duduk mengobrol sambil membuka bekal makanan yang mereka bawa. Suasananya mirip dengan piknik di dalam ruangan.

Elena mengedarkan pandangannya. Pada orang-orang yang duduk di kursi, juga mereka yang bersila di atas tikar. Tidak ada sosok Alfian di sana. Elena menggosok matanya. Mungkin dia salah lihat. Memang agak sulit untuk mengenali seseorang di tengah keramaian seperti ini. Tapi dia tidak juga melihat Alfian. 

Elena mencari-cari petugas yang tadi menjemputnya untuk bertanya tapi dia pun telah menghilang. 

Elena berdiri di pinggir ruangan dengan salah tingkah. Dia mulai ragu. Jangan-jangan petugas tadi salah panggil. Apa ada nama Elena lain di sini? Saat itu matanya menangkap gerakan tangan seseorang yang duduk di sudut ruangan. Dia melambaikan tangannya, memanggilnya mendekat. 

Elena menoleh ke kiri dan kanan. Cuma dia sendiri yang berdiri di sini. Tidak ada orang lain. Jelas lambaian tangan itu ditujukan padanya.

Elena menyipitkan matanya. Mencoba mengenali dari jarak sejauh ini. Rasanya dia tidak mengenal pria yang berpakaian rapi itu. Rupanya pria itu melihat keraguan Elena. Dia berdiri dan melambai lagi. Ragu-ragu Elena melangkah. 

“Cari saya?” tanya Elena ragu saat sampai di kursi yang diduduki pria itu.

“Iya, kamu Elena kan? Lupa ya sama saya?”

Kening Elena berkerut. Dicobanya menggali ingatannya. Sekali lagi pandangan Elena menyapu pria di depannya. Sepertinya wajahnya memang familier. Mata coklat terang yang bersinar hangat. Kulit putih berhias sisa-sisa kumis dan janggut. Garis rahang tegas berpadu dengan tulang hidung yang tinggi. 

“Aku, Mario. Teman kamu waktu SMA,” pria itu tertawa kecil sembari mengulurkan tangannya. 

“Astaga… Mario?” setelah Mario menyebutkan namanya, baru Elena ingat. Segera Elena menyambut jabat tangannya. 

Wajar kalau Elena lupa wajah Mario, mereka tidak terlalu dekat dulu. Apalagi setelah lulus SMU, bisa dibilang hubungan mereka terputus. Elena hanya pernah mendengar kabar kalau Mario melanjutkan ke fakultas hukum di kota yang berbeda. Sementara Elena memilih kuliah di fakultas ekonomi. 

“Kita makan siang dulu yuk. Aku bawa makanan, mudah-mudahan kamu suka,” kata Mario sambil membuka bungkusan plastik berukuran besar di atas meja. Segera saja harum kentang goreng dan burger membelai hidung Elena.

Diam-diam Elena mengusap ujung matanya. Baru seminggu dia di dalam tahanan polisi, tapi rasanya sudah lama sekali dia tidak menikmati makanan-makanan seperti ini. Padahal biasanya Elena sampai bosan menyantap makanan dari berbagai restoran.

“Yah, kok nangis sih. Kenapa, Na?" tanya Mario lembut. 

"Enggak pa-pa kok. Cuma tiba-tiba terharu ketemu burger sama kentang goreng." 

Tawa ringan Mario terdengar gara-gara canda Elena. Dia mengangguk penuh pengertian. "Ayo makan dulu,” kata Mario dengan ringan. Sedari dulu pembawaannya memang selalu hangat dan riang. Bahkan suasana penjara yang muram ini tidak mempengaruhinya. Seakan dia sedang menjenguk Elena di tempat lain, bukan di penjara. 

Berdua mereka menyantap kentang goreng dan burger itu dengan lahap. Dalam hati Elena masih terheran-heran mendapat kunjungan mendadak ini. Mungkinkah Alfian yang mengutus Mario untuk membantunya? Mudah-mudahan begitu, harapnya dalam hati. 

“Mmm... Mario, boleh aku tanya sesuatu?" kata Elena disela mengunyah kentang goreng. Dia merasa ini saat yang tepat untuk bertanya. 

"Tentu saja boleh." Mario menyesap minuman kola di depannya, lalu menanti pertanyaan Elena dengan serius. 

"Bagaimana mmm..." sejenak Elena ragu. "Eh bagaimana... kamu tahu aku ada di sini? Maksudku apakah ada seseorang yang meminta kamu berkunjung ke sini?" 

"Seseorang?" Mario tampak sedikit bingung. 

"Apa suamiku eh... yang meminta kamu datang?" 

Kini Mario mengerti arah pertanyaan Elena. Apalagi kala Mario melihat percik harapan di mata Elena. Mario tidak tahu apa yang terjadi antara Elena dan suaminya. Yang jelas, nyata terlihat Elena sangat mengharapkan suaminya datang berkunjung. Dan Mario tidak suka memadamkan harapan itu, tapi dia harus menyatakan hal yang sebenarnya. 

“Hmmm... Sori, Na. Terus-terang aku belum pernah berjumpa dengan suamimu. Aku datang kesini karena melihat beritamu di koran.”

Elena terpana mendengar jawaban Mario. Rasa kecewa dan kaget seperti meremas hatinya. Elena kecewa karena ternyata bukan Taufan yang mengutus Mario datang. Dan kaget mendengar perkataan Mario yang mendapat informasi penangkapan Elena dari koran.

Jadi dia sudah jadi orang terkenal sekarang? Barangkali foto-fotonya telah terpampang di koran dan Internet. Mungkin semua orang sudah tahu tentang kasusnya. Berarti kemungkinan besar seluruh teman dan keluarganya juga sudah tahu kejadian yang memalukan ini. Mendadak Elena merasa masa depannya begitu gelap.