Elena Ditahan
Sudah hampir tengah malam saat seorang polisi wanita menggiring Elena ke sel tempatnya. Tangan polwan itu mencengkeram keras lengan atas Elena. Sepertinya dia cemas Elena akan melarikan diri begitu ada kesempatan. Padahal itu tidak mungkin terjadi karena untuk berjalan saja, kaki Elena terasa begitu lemah.

Tersaruk-saruk Elena mengikut langkah cepat sang polwan. Mereka melewati deretan sel-sel yang terkunci. Beberapa orang penghuninya belum tidur. Mereka memandang Elena dengan sorot mata tertarik.

"Orang baru," bisik-bisik mereka sampai ke telinga Elena. Dia merinding. Gemetar. Takut setengah mati. Terbayang kejadian-kejadian mengerikan di penjara dari film- film yang ditontonnya. Bagaimana tahanan baru akan dipukuli oleh tahanan lama. 

Alfian... Alfian... tolong aku..., rintihnya dalam hati. 

Di depan sel paling ujung, polwan itu membuka tali plastik yang berfungsi sebagai pengganti borgol. Elena didorong hingga dia terjajar beberapa langkah melewati pintu jeruji. Bunyi berkelontangan kencang terdengar saat pintu sel itu ditutup. Instingnya memerintahkan Elena untuk berbalik cepat. Tapi terlambat. Pintu telah dikunci.
 
"Buka...! Buka...!" Elena menjerit-jerit memanggil petugas yang sudah beranjak pergi. Tangannya mengguncang deretan jeruji besi itu sekuat tenaga, tapi petugas polisi itu tak kembali.

"Berisik...!!!" Justru makian keras datang dari perempuan di sel seberang. Matanya melotot dan dia mengacungkan kepalan tangan dengan ekspresi mengancam. 

“Buka…!!! "Elena terus menjerit. Dia tidak peduli dengan makian. Elena cuma mau pulang. Keluar dari ruangan sempit ini. Dia tidak bersalah. 

"Percuma... biar lo teriak sampai urat leher lo putus juga, pintu enggak akan dibuka.” Kata-kata bernada dingin terdengar dari belakang Elena. 

Elena berbalik dan baru menyadari ada lima pasang mata memandangnya dengan ekspresi berbeda. Ada yang kelihatan penuh rasa ingin tahu, ada yang menatapnya dengan sorot kasihan, jutek, Elena menghela napas panjang. Berusaha meringankan sesak yang menekan dadanya. 

Dia mundur hingga punggungnya menekan jeruji yang dingin. Matanya memandang berkeliling. Pada dinding yang cat abu-abunya sudah terkelupas di sana-sini. Aroma lembab bercampur keringat menguar begitu kuat. Lampu di langit-langit ruangan begitu temaram. Tak mampu menerangi ruangan ini dengan baik. 

Elena tidak tahu mimpi apa dia semalam hingga harus menginap di tempat seperti ini. Bersama orang-orang yang tidak dikenalnya. Entah apa yang sudah mereka perbuat. Mencuri, narkoba atau bahkan membunuh? Elena bergidik ngeri membayangkan harus menghabiskan malam bersama orang-orang seperti itu. 

Cewek berambut lurus sebahu dengan mata besar bergerak menghampiri Elena. Sebenarnya Elena ingin menghindar, tapi jeruji  di belakangnya menghalangi. Dia tidak mungkin bergerak lagi. 

"Halo, aku Tari," ternyata suaranya terdengar ramah. Dia mengulurkan tangannya, menawarkan jabat tangan. Seakan mereka baru saja bertemu di pusat perbelanjaan dan bukannya di dalam penjara. 

Suara dan perilaku Tari lembut seperti seorang puteri, tidak ada yang menyangka dia bisa menginap di dalam sel seperti ini. 

Ragu Elena menyambut uluran tangan Tari. Genggaman tangannya begitu hangat. Sorot matanya seolah menguatkan Elena, kalau semua akan baik-baik saja. 

“Enggak usah nangis terus. Nanti kamu sakit. Sudah malam. Lebih baik kita tidur saja dulu,” bujuknya dengan suara halus. "Biarlah semua masalah kita selesaikan besok pagi. 

Ketenangan suara Tari justru membuat kaki Elena kehilangan tenaga untuk menyangga tubuhnya. Dia jatuh terduduk di lantai. Tersedu-sedu memeluk lututnya sendiri. Terharu ternyata ada orang baik di dalam penjara seperti ini. 

“Udah kagak usah ditolongin! Cengeng!” bentak cewek bertubuh tinggi besar dengan rambut super pendek. Suaranya parau mirip laki-laki. 

“Jangan gitu, Ci. Dia baru masuk, pasti masih ketakutan,” balas Tari membantah Suci. Dia sekarang berjongkok di depan Elena, memeluk bahunya. 

“Iyalah, kayak enggak inget aja waktu lo pertama kali masuk, juga nangis-nangis kayak bocah.” Cewek kurus dengan rambut pendek itu terkikik-kikik.  Tidak peduli dengan pelototan Suci. Lia adalah penghuni yang berusia paling muda di kamar ini. Usianya baru menginjak duapuluh tahun tapi penampilannya lebih mirip remaja enambelas tahun.

“Gue libas, lo!” Suci mengangkat tangannya seolah ingin menampar mulut Lia yang lancang. 

Masih tertawa-tawa Lia malah menatapnya dengan gaya menantang. Lia tahu tindakan suci  cuma gertakan. Suci tidak akan menyakiti teman sekamarnya. Dia menyimpan tenaga dan emosinya untuk orang-orang diluar sana. Beruntunglah mereka yang sekamar dengan Suci, karena akan terlindungi.

Masih ada Nina dan Vita yang tidak peduli dengan “drama” yang sedang terjadi di kamar selnya. Mereka berbaring di atas tikar di lantai. Entah tidur atau pura-pura tidur.

“Yuk, istirahat di tikar,” ajak Tari lagi sambil menggamit lengan Elena. 

Elena mengangkat wajahnya dan memandang senyum di wajah Tari. Tak enak hati karena dari tadi tidak menjawab kata-kata Tari. Sedikit logika masuk ke benak Elena. Dia lelah dan perlu istirahat Air matanya sudah kering. Matanya sakit karena terlalu banyak menangis. Menjerit terus-menerus membuat tenggorokannya nyeri. Perlahan dia bangkit mengikuti Tari.

“Kamu tidur di sini,” Tari menunjuk tikar di sampingnya. “Kamu bawa baju ganti?” tanyanya memandang blouse satin penuh rumbai yang dipakai Elena. Pasti tidak nyaman untuk dipakai tidur. Celana panjang Elena sudah berganti celana bermuda yang diberikan polwan tadi. Katanya dilarang pakai celana panjang. Elena tidak tahu mengapa.

Elena menggeleng. 

“Jangan pinjam kaos gue!” Suci berkata judes karena Tari memandangnya.

“Enggak kok, dia bisa pakai baju gue. Kayaknya ukuran baju kita sama.”

“Tari sang ibu peri sedang beraksi,” Nina berkomentar nyinyir.

“Memangnya salah kalau berbuat baik?” tanya Tari sedikit cemberut. 

“Lo masih belum sadar? Karena lo terlalu baik, makanya lo ada di dalam sini,” balas Suci mendapatkan kesempatan untuk mencela Tari.

Kali ini Tari tidak berkomentar. Percuma meladeni teman-temannya yang memang usil itu. Dia mengeluarkan kaos dari dalam tas di sudut. “Ini pakai saja," katanya menyodorkan kaos itu ke Elena. 

“Terima kasih,” kata Elena lirih. Dia masih sulit berkata-kata karena sisa isakannya masih ada. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri. Mencari tempat untuk berganti baju. 

Tanpa komentar Suci terkikik-kikik. Dia melihat kebingungan Elena. 

“Ganti di sini saja,” kata Tari, bisa membaca kebingungan Elena. 

“Di sini?” ulang Elena tidak percaya. Bagaimana mungkin dia bisa melepas busananya di antara orang-orang asing.

“Iya,” angguk Tari meyakinkan.

Tidak ada pilihan lain. Mimpi buruk Elena baru saja dimulai. Setelah berganti baju, dia membaringkan diri di atas tikar. Lantai di bawahnya terasa sangat dingin dan keras. Dengung nyamuk nyaring dan sangat menyiksa. Tanpa ampun serangga itu menyerbu kaki Elena yang terbuka. Meninggalkan bekas gigitan bentol yang panas dan gatal.