Tari dan teman-temannya sedang asik bermain kartu saat Elena melangkah masuk kembali ke dalam sel. Melihat wajah Elena yang muram, semua orang di sel itu segera menebak ada yang tidak beres.
Tadinya mereka menyangka akan ada setitik cahaya di wajah Elena setelah dipanggil ke kantor Wira dan bertemu suaminya di sana.
Semestinya ada sedikit harapan bersemi di hati Elena setelah pertemuan itu. Satu hal yang penting untuk bertahan hidup di dalam penjara adalah harapan. Tanpa harapan, hidup dalam sel pasti terasa suram, kalau sudah begitu, muncul niat untuk melakukan hal-hal yang nekat hanyalah tinggal menunggu waktu saja.
Yang mencemaskan teman-temannya, saat ini tidak terlihat setitik harapan pun di wajah Elena. Bahkan raut mukanya tampak sangat muram. Karena bisa merasakan ada hal yang tidak beres, buru-buru Tari berdiri dan memeluk pundaknya.
“Kenapa, Na?” tanya Tari prihatin. "Sudah bertemu suamimu?"
Elena menggeleng pelan. “Suamiku enggak datang…, Ri," jawabnya lirih." Tadi aku cuma diinterogasi lagi." Wajah Elena tampak pucat dan lelah.
Tari menghela napas panjang. Ikut prihatin dengan nasib teman barunya ini. "Ya sudah enggak pa-pa. Mungkin dia sibuk. Belum sempat berkunjung ke sini. Mudah-mudahan besok atau lusa dia bisa datang." Hibur Tari sambil menepuk-nepuk pundak Elena.
“Tari!” bentakan Suci mengagetkan mereka semua. Dia membanting kartu yang sedang dimainkan. “Lo jangan kasih dia harapan palsu dong!”
“Harapan palsu bagaimana?” protes Tari pelan. “Mungkin saja ‘kan suaminya Elena memang sedang sibuk. Namanya juga lagi kena musibah.”
“Enggak mungkin kali… Lo pikir aja deh. Isteri masuk penjara, tapi dia enggak sempat nengokin. Memang sesibuk apa?!?” Suci berkata keras.
"Sudahlah, Ci, jangan dibahas lagi, nanti Elena tambah sedih.” Tari melirik Elena yang sedang mengusap air mata dengan punggung tangannya. “Sabar ya… Na. Sudah jangan sedih, lihat nih kami punya hadiah untuk kamu.”
Sekuat tenaga Elena berusaha mengusir kesedihan di hatinya. "Apa, Ri?" Mata Elena membesar. Dia memaksakan senyum terlihat di wajahnya. “Hadiah? Hadiah apa?" sungguh sulit Elena percaya akan mendapat hadiah saat berada dalam di dalam penjara. Siapa pula yang berbaik hati memberinya hadiah?
Tari tertawa riang. Senang bisa memberikan kejutan untuk Elena. Kadang-kadang hal-hal yang nilainya kecil bagi orang-orang di luar penjara bisa sangat berarti bagi yang di dalam.
Tari mengambil sesuatu dari dalam tasnya. "Ini untuk kamu, dari kita semua." Kotak berukuran sedang yang dibungkus kertas koran itu diberikannya pada Elena. “Ayo buka...” kata Tari lagi melihat Elena ragu-ragu.
Jari-jari Elena******bungkusan itu dengan gemetar. Dia masih trauma dengan yang namanya hadiah, gara-gara bingkisan yang dititipkan Alfian tempo hari.
Jangan-jangan ini jebakan lagi, pikiran curiga mampir di benak Elena.
“Aduh, kamu tuh, lama banget. Sini aku buka,” cetus Tari tidak sabar. Segera dia merobek koran pembungkus bingkisan itu.
Air mata Elena nyaris menetes melihat benda yang muncul dari balik pembungkus. Ada sabun, sampo, pasta gigi dan sikat gigi. Juga tiga helai t-shirt dan dua celana pendek.
“Ini buat kamu pakai sehari-hari di sini. Jadi tidak perlu pinjam punya kami lagi,” terang Tari.
Kali ini Elena tidak bisa menahan air matanya. Entah sudah berapa kali dia meneteskan air mata seharian ini. Tapi ada yang berbeda. Kemarin air mata sedih yang mengalir di pipinya. Kali ini rasa haru menguasai hati Elena. Dia memandang teman-teman sekamarnya. Pandangan Tari tampak lembut menenangkan. Suci mengamati Elena dengan tatapan menyelidik. Sedangkan yang lain tampak acuh, dan memilih memperhatikan kartu-kartu di tangan mereka.
Elena tidak tahu kesalahan apa yang mengantarkan Tari dan teman-temannya hingga sampai di sel ini. Yang jelas mereka baik sekali padanya. Sampo dan sabun bisa jadi barang-barang sederhana yang dengan mudah bisa Elena beli di minimarket dekat rumahnya. Tapi di sini, di tempat ini barang-barang ini jadi begitu berharga.
Belum pernah Elena merasa begitu terharu menerima hadiah. Bahkan saat menerima berbagai hadiah mahal dari Alfian pun perasaannya tidaklah sebahagia saat ini.
“Terima kasih…” kata Elena pelan. Mendadak Elena sadar, dia tidak punya uang sama sekali. Memang makanan diberikan gratis dari rumah tahanan, tapi sabun, pasta gigi dan lain-lain? Bagaimana kalau barang-barang pemberian ini habis? Elena tidak bisa bergantung terus pada teman-temannya. Tanpa berpikir panjang dia mengambil sesuatu dari saku celananya. “Ri, aku mau minta tolong. Kamu bisa bantu jualkan ini?”
Melihat benda yang berkilau indah di telapak tangan Elena, serempak semua teman-temannya melemparkan kartu yang mereka pegang. Mereka berkerumun di sekeliling Elena. Mengagumi kalung di telapak tangannya.
“Wih... Cakep banget kalungnya." Suci memandang penuh minat." Nyolong di mana, lo?” tanyanya tanpa basa-basi. Nadanya tidak menuduh, bahkan penuh kekaguman seakan mencuri benda semahal itu adalah satu prestasi.
“Heh!” Tari menyodok pelan rusuk Suci dengan sikunya. “Yang bener aja. Masa’ Elena nyolong. Dia kan orang kaya.”
“Yeee… siapa tahu ‘kan. Memangnya cuma orang miskin yang suka nyolong?"
"Ya iyalah. Kalau sudah kaya, untuk apa lagi memcuri? Tari sedikit ngotot.
"Hmmm... nggak pernah nonton TV nih anak. Tuh tiap hari ada orang kaya ketangkap korupsi. Itu kan sama aja nyolong," bantah Suci lagi.
“Ini kalung punyaku," Elena menerangkan untuk melerai perdebatan Tari dengan Suci. "Kusembunyikan waktu aku ditangkap. Tolong jualkan ya, Ri. Buat biaya hidupku di sini.”
Tari menggeleng. “Lebih baik kamu simpan dulu. Siapa tahu nanti suamimu datang menjenguk dan memberi uang. Sayang kalung seindah ini kalau dijual di dalam penjara. Pasti harganya jatuh. Jadi murah."
“Biarlah, Ri. Aku tidak tahu kapan dia akan datang. Sementara aku perlu uang. Jadi dia datang atau tidak lebih baik kalung ini kujual.” Dalam hati Elena meminta maaf pada Alfian dan berharap mudah-mudahan dia tidak marah karena kalungnya dijual. Mau bagaimana lagi? Elena perlu uang untuk biaya hidup di dalam penjara. Ternyata hidup di dalam penjara sama sekali tidak gratis.
"Oke deh kalau begitu. " Tari mengantongi kalung Elena. "Aku usahakan untuk dapat harga yang bagus."
Elena mengangguk. “Iya, mudah-mudahan. Aku istirahat dulu ya…” Pamit Elena. Dia membaringkan diri di sudut sel. Memunggungi teman-temannya yang meneruskan bermain kartu untuk membunuh waktu. Elena memejamkan mata. Berharap esok segera tiba dan Alfian datang.
***
Ternyata kata-kata Suci benar. Sudah seminggu Elena di dalam tahanan, tapi Alfian tidak juda datang.
***
“Sssst… Na. Sudah tidur?”” bisik Tari malam itu, setelah yakin teman-temannya yang lain sudah terlelap.
“Ada apa, Ri?” Tentu saja Elena belum tidur. Sejak berada di dalam sel, Elena sulit sekali memejamkan mata.
Tari menggamit lengan Elena. Mengajaknya ke sudut sel. “Kamu mau telpon suamimu ‘kan?"
"Iya sih, tapi... Elena mengangguk cepat. Tentu saja dia ingin sekali menelepon Alfian. Banyak hal yang ingin ditanyakan. “... bagaimana caranya?”
Telujuk Tari menyentuh bibirnya sendiri. Kode supaya Elena jangan berisik. Tangannya merogoh saku celananya, lalu di atas telapak tangannya terlihat ponsel.
Ha?!?! Reflek telapak tangan Elena menutup bibirnya. Mencegah suara jeritan girang keluar dari mulutnya. “Apa…? Dari mana…?” tanyanya gugup.
“Udah, kamu nggak perlu tahu aku dapet dari mana. Nih…” Tari menyerahkan ponselnya ke tangan Elena. “Lo ingat nomer telepon suamimukan?” tanya Tari melihat Elena termangu sambil menggenggam ponsel.
Tentu saja Elena ingat nomer Alfian. Bukan itu masalahnya. Tiba-tiba Jantung Elena berdebar, gugup karena akan mendengar suara Alfian.