Bubuk Jahanam
“Buka!!!” pria itu menggedor jendela mobil Elena.

Elena panik melihat empat pria bertubuh tegap mengepung mobilnya. Dengan tangan gemetar, buru-buru dia merogoh tasnya. Mencari-cari ponselnya. Jantungnya berdetak sangat cepat. Keringat dingin mengalir di punggungnya. Cepat telepon Alfian, perintah benaknya.

“Buka! Polisi!”

Elena membeku mendengar kata-kata itu. Apa katanya tadi? Polisi? 

Perlahan, Elena melirik tanda pengenal yang menempel di jendela. Kartu identitas polisi. Elena bingung. Benarkah mereka polisi sunguhan? Tapi kelihatannya pria itu tidak segan memecahkan kaca jendela mobilnya kalau dia nekat bertahan tidak membuka pintu mobil. 

Elena melirik ke kiri dan kanan, ketakutan. Tidak ada jalan untuk melarikan diri. Dia berharap ada mobil yang berhenti dan menolongnya, tapi harapannya sia-sia. Mobil-mobil yang lewat hanya sedikit melambatkan laju kendaraannya, menonton sesaat, lalu pergi tanpa peduli.

Satu gedoran keras membuat Elena terlonjak di kursinya. Reflek tangannya menekan tombol pembuka kunci otomatis. Bunyi klik lembut terdengar, disusul… Brakkkk!!!

Pria itu membuka pintu dengan kasar. “Keluar!” perintahnya dengan satu tangan berada di pinggang. Elena bisa melihat pistol hitam tersembunyi di balik jaketnya yang sedikit tersibak.

Susah payah Elena berusaha berdiri. Rasa takut mencengkeram seluruh tubuhnya. Tulang kakinya lemas seperti agar-agar. Dia terhuyung dan hampir tersungkur mencium tanah. Untung dengan sigap pria itu menangkap tubuh Elena. Lengannya menahan agar Elena tetap berdiri, sementara tiga orang rekannya langsung memeriksa seluruh isi mobil.

“Ini, Ndan!” kata pria pendek gemuk dengan rambut sangat tipis itu. Dia mengulurkan kotak coklat yang Elena terima dari Alfian tadi pagi. 

“Bawa ke kantor!” perintahnya.

“Ada… apa… ini…?” Elena memaksa kata-kata keluar dari bibirnya.

“Saya AKP Wira. Anda kami tangkap dengan dugaan kasus narkoba,” katanya lagi sambil memasang semacam borgol dari plastik di tangan Elena. Dia mencengkeram lengan Elena dan mendorongnya ke dalam mobil yang segera melaju membelah jalan raya. 

Rasa panik dan takut mencengkeram Elena. Otaknya seperti beku. Dia tidak mampu berpikir. Kasus narkoba-kasus narkoba-kasus narkoba, kata-kata Wira itu terus berputar-putar dalam benaknya. 

“Duduk,” perintah Wira.

Elena tersentak, baru menyadari dia sudah sampai di kantor polisi, masih bersama empat orang petugas yang menangkapnya. 

Wira duduk di depan Elena. Dia membuka laptop-nya dan mulai mengetik sambil melontarkan pertanyaan yang dijawab Elena masih dalam kondisi setengah ling-lung.

“Anda tahu mengapa dibawa kesini?’ tanya Wira lagi.

Elena menggeleng pelan. Tidak mampu berkata-kata. Gugup. Takut. Siapa sih yang tidak merasa begitu kala berhadapan dengan petugas yang garang?

"Anda dicurigai membawa benda terlarang." 

"Benda terlarang?" ulang Elena tidak mengerti. Dia merasa tidak membawa apa-apa. Di dalam tasnya hanya ada ponsel, bedak, lipstik, tisu, yah perintilan standar yang biasa ada di tas wanita. Benda terlarang apa yang dimaksud Wira? 

"Ya, narkoba," ucap Wira dengan tegas. Matanya menatap Elena dengan tajam. Seolah ingin menilai apakah wanita di depannya ini berkata jujur atau bohong. Sekian lama dia bertugas sebagai polisi, hingga sudah terbiasa menghadapi dusta dari para pelaku kejahatan. 

"Enggak mungkin saya membawa narkoba, Pak. Saya tidak pernah memakai benda itu. Apalagi menjualnya," bantah Elena dengan gemetar menahan emosi. Mengada-ada sekali tuduhan polisi ini. "Saya ini cuma ibu rumah tangga yang mau pergi arisan, Pak. Mana mungkin bawa-bawa barang seperti itu," ucap Elena dengan nada memelas. Berharap pengertian dari para petugas kalau mereka sudah salah tangkap. 

"Lalu ini apa?" Wira bertanya sambil menggoncangkan paket titipan Alfian, nyaris di depan wajah Elena. 

"Astaga..." Elena tidak tahu harus menangis atau tertawa. Masa' sih kotak kado itu dicurigai sebagai narkoba? 

"Suami saya punya toko suvenir dan kado, Pak. Kotak ini pesanan dari pembeli. Isinya boneka." 

Tentu saja Wira tidak percaya begitu saja pada keterangan Elena. Dia memberi kode pada anak buahnya. “Periksa, Don.”

Seorang polisi muda dengan tubuh tinggi dan langsing mengeluarkan pisau lipat dari sakunya. Perlahan dia membuka kotak kado yang ditemukannya di mobil Elena. 

“Saya sudah bilang ‘kan, Pak. Isinya cuma boneka," tutur Elena dengan lega melihat isi kotak itu ternyata boneka panda imut yang biasa dijadikan teman tidur anak-anak. 

Elena melihat empat orang polisi itu bertukar pandang. Rupanya mereka belum selesai memeriksa. Wira mengangguk dan pisau lipat anak buahnya kembali beraksi. 

Tanpa sadar Elena menahan napasnya menyaksikan pisau itu terhunus dan menusuk dada boneka, lalu bergerak merobek hingga bagian depan boneka itu terbuka lebar. Petugas menarik keluar dakron pengisi boneka. 

Mata Elena terbelalak melihat puluhan plastik klip bening dikeluarkan dari dalam boneka itu. Plastik-plastik berisi bubuk putih. Bibir Elena terbuka tapi tidak ada satu kata pun yang mampu dia ucapkan. 

“Tidak! Ini tidak mungkin!” bisiknya pelan. Dingin mencengkeram hati Elena. Kalau bubuk putih itu benar-benar narkoba, pasti dia dalam kesulitan yang sangat besar. “Saya tidak tahu apa-apa, Pak,” Elena mulai menjerit. Tangisnya pecah. “Sumpah, saya tidak tahu!”

“Tenang, Bu. Kita periksa dulu semuanya.” Nada dingin dalam suara Wira menghentikan teriakan Elena. Dengan bibir terkatup dia menyaksikan anak buah Wira mengumpulkan plastik-plastik itu dan menulis laporan. 

Proses interogasi dilanjutkan. Wira menanyakan bagaimana kotak itu bisa ada di tangan Elena. Terus-terang Elena menceritakan semuanya. 

“Jadi suami anda yang minta kotak itu diantarkan?” 

“Iya, Pak.” Elena memandang Wira. Mencari-cari keraguan di wajahnya. Tapi wajah perwira polisi itu datar saja. Tidak terbaca apapun di sana.

Proses interogasi masih berlangsung beberapa jam. Selepas tengah hari seorang pesuruh masuk dan meletakkan piring berisi nasi bungkus dan segelas es teh manis.

“Makanlah dulu.” Wira menyodorkan piring dan gelas itu ke depan Elena. 

Elena melirik jam di dinding. Astaga sudah lewat jam makan malam. Berarti sudah berjam-jam dia berada di kantor polisi ini. Alfian pasti cemas, karena Elena pergi sampai malam tanpa memberi kabar. “Pak, saya minta izin untuk menelepon suami saya. Dia pasti cemas.”

“Kami sudah mengontak suami ibu. Dia sudah tahu, ibu ada di sini. Besok ibu bisa bertemu dengannya.”

Elena merasa tubuhnya kembali lunglai. Tapi ada sedikit harapan tumbuh di dadanya. Alfian tahu dia ada di kantor polisi. Alfian pasti bisa menjelaskan semuanya.

“Makanlah dulu,” kata Wira lagi.

“Terima kasih, Pak. Nanti saja. Saya tidak bisa makan.” Elena menggeleng. Dia tidak sanggup menelan makanan. Perasaannya masih campur aduk. Tegang, takut, cemas semuanya jadi satu. 

“Kalau tidak makan, nanti ibu sakit.” Ada nada prihatin dalam kata-kata Wira. Dia memandang wanita di depannya ini. Wajahnya tampak pucat dan ketakutan. Wajar. Siapa yang tidak takut berada di kantor polisi dengan tuduhan memiliki narkoba. Bahkan preman yang paling galak pun bisa gentar karena ancaman hukumannya tidak ringan. Apalagi wanita muda seperti Elena. Wira cemas jangan-jangan sebentar lagi Elena bisa pingsan.

Wira mengamati wajah yang tertunduk di depannya. Bentuk wajah oval dengan hidung mancung dan bibir sedikit tebal. Alisnya tampak natural dan berbaris rapi, bukan hasil lukisan atau sulam di salon-salon. Tubuhnya ramping dan tidak terlalu tinggi. Tipikal ibu-ibu mudah yang biasa ditemui mengantar anak ke sekolah atau sedang berbelanja di mall. Tapi Wira tidak mau tertipu. Pengalaman mengajarkan orang-orang yang terlihat polos dan tanpa dosa pun bisa terlibat tindakan kriminal. 

Elena tidak menyadari polisi di depannya sedang memandangnya dengan cermat. Dia masih sibuk dengan pikirannya yang berusaha mencerna semua kejadian ini. 

Perhatian Wira pada Elena teralih, saat anak buahnya masuk. Elena ikut mengangkat wajahnya. Harap-harap cemas memandang polisi yang baru saja masuk. Masih berharap mendapatkan kabar baik dan bisa segera keluar dari kantor polisi ini.

“Barbuk (barang bukti) Positif, Ndan,” kata anak buah Wira dengan tegas setelah memberi hormat.

“Tes darah?” tanya Wira.

“Negatif.”

Tubuh Elena gemetar. Dia bisa menduga arah percakapan dua polisi ini. Wira kembali menatapnya. Elena menangkap sekilas sorot prihatin di mata Wira.

“Barang yang ada di dalam boneka tadi positif Narkoba,” kata Wira dengan nada jelas dan tegas. “Tapi tes darah anda negatif. Tidak ada narkoba dalam darah anda.”

"Tes darah saya pasti negatif, Pak. Saya tidak pernah menggunakan barang-barang seperti itu. Soal boneka tadi..." Elena menggeleng-geleng. Tidak percaya dengan kata-kata yang baru saja didengarnya. Bagaimana bisa ada narkoba dalam boneka? Dengan bibir bergetar dia bertanya, “Jadi… jadi gimana, Pak?”

“Kasus ini akan kami proses. Anda kami tahan sampai duapuluh hari ke depan.”

“Apa…?!?!? Enggak mungkin, Pak. Saya enggak mungkin bawa narkoba. Saya bukan pemakai. Pasti ada kesalahan.”

“Justru itu akan kami selidiki.” Wira menggerakkan kepalanya. Kode supaya Elena dibawa pergi. Dua orang polisi wanita masuk dan memegang lengan Elena. 

“Lepasin saya, Pak. Lepasin….!!!” Elena meronta-ronta tapi dua orang polwan itu terlalu kuat baginya. “Saya enggak salah! Saya enggak salah!" jeritan itu keluar dari mulut Elena berulang-ulang. Jeritan yang terus terngiang-ngiang di telinga Wira, bahkan sampai sosok Elena sudah tidak terlihat.