MALU DI PERNIKAHAN SUAMI
2
"Na, Mas minta maaf." Mas Faiz mencoba
mengambil tanganku.
Dengan kasar aku menghentakan tangannya dan berdiri menjauh dari jangkauannya.
"Na tunggu, Mas bisa jelasin semuanya!"
"Cukup! Aku tidak butuh penjelasanmu! Tiga tahun kau meninggalkanku, dan selama itu juga kau membohongiku?!"
"Tidak, Na. Dengarkan aku dulu, aku sengaja menikahi Alma, agar kamu dan Alya bisa hidup layak."
Plak! Kutampar wajah laki-laki yang dulu sangat aku cintai.
"Layak katamu? Layak seperti apa yang kau maksud? Layak untuk disakiti? Layak dibohongi? Layak diduakan? Aku memang miskin, tapi bukan berarti aku mau berbagi. Apapun itu, aku tidak bisa menerima alasanmu, Mas."
"Kalau kau tidak mau menerima, itu artinya kau siap aku tingglkan?"
"Kenapa tidak, bukannya itu yang aku katakan tadi di dalam? Ceraikan aku sekarang juga!"
"Hahaha, bagaimana kamu bisa hidup tanpaku dan uangku? Kau hanya tinggal diam di rumah, mengurus Alya. Tanpa harus cape bekerja, kamu sudah mendapatkan uang dengan percuma," ucap Mas Faiz melembut.
Laki-laki apa yang sekarang ada di hadapanku. Apa menurutnya aku akan bahagia hanya dengan uang? Terus bagaimana dengan hatiku, apa dia tidak memikirkan tentang perasaanku?
"Kamu benar-benar berubah, Mas. Kamu bukanlah Faiz--ku. Sekarang aku sudah tidak bisa mengenalimu lagi." Aku mengusap mataku yang terus berair.
"Na, aku masih sama, masih mencintai dan menyayangimu. Sekarang, pulanglah dulu, nanti aku akan pulang menemuimu dan juga Alya. Kita akan bicarakan nanti," ujar Mas Faiz. Tangannya terulur mengelus pundakku, namun segera aku menepisnya.
Sepertinya aku memang harus pulang dan memikirkan tentangku kedepannya. Benar kata Mas Faiz, selama ini aku terlalu mengandalkan dia dalam segala hal. Bagaimana bisa aku hidup tanpa dia? Apalagi aku tidak pernah menghasilkan uang sepeser pun.
"Baiklah, aku akan pulang sekarang," kataku membuat matanya berbinar.
Tadi, aku sudah malu di pelaminannya, apa sekarang aku harus pulang dengan tangan kosong?
"Tapi, aku tidak punya ongkos."
"Tuh, kan, kataku juga apa, kamu tidak akan bisa tanpa uang dariku, Husna." Dengan bangga dia merogoh saku celananya lalu memberikanku uang pecahan seratus ribu sebanyak sepuluh lembar.
'Lumayan, buat beli oleh-oleh di jalan nanti.' dalam pikirku.
"Pulanglah dulu, aku harus kembali ke dalam," ujarnya mengelus kepalaku.
Aku mengangguk, tapi sebelum dia melangkah aku memanggilnya kembali.
Aku mendekatinya dan ....
Bugghh
Bugghh
"Aaaawww ...!"
Mas Faiz mengerang kesakitan setelah aku menghadiahi sentuhan perpisahan untuknya, dia mengaduh memegangi selangkangannya yang aku tendang dengan kedua lututku secara bergantian.
"Selamat menikmati malam pertama, suamiku," ucapku setelah itu pergi dengan menyeret tangan Lita yang sedari tadi hanya jadi penonton. Katanya mau bantu menghajar Mas Faiz, tapi sedari tadi Lita malah bengong tanpa melakukan apa-apa.
Aku dan Lita naik ke mobil yang sudah dia pesan. Ya, Lita. Karena aku tidak tahu cara memesan taxi online.
Saat aku sudah di dalam mobil, aku melirik ke belakang melihat Mas Faiz yang masih meringkuk memegangi senjatanya. Dari dalam, keluarlah kedua mertuaku yang langsung panik melihat anaknya yang kesakitan. Dan aku, menikmati kesakitannya.
"Sabar, ya Na. Aku tau kamu kuat, kok." Lita memeluk pundakku.
"Makasih, ya Lit, kamu sudah mau nemenin aku."
Seandainya tidak ada Lita, aku tidak tahu apa aku akan bisa sampai ke tempat nikahnya Mas Faiz, atau malah ke sasar dan tersesat di kota asing ini.
"Sama-sama, Na. Kamu juga kalau aku lagi susah, suka bantu juga, kan?"
Memang iya, aku dan Lita memang tidak pernah perhitungan. Kita berteman sudah sejak kecil. Dia juga yang memberitahuku tentang Mas Faiz yang ada di kota ini. Lita tahu dari suaminya yang kebetulan menjadi supir angkutan barang.
Suaminya bercerita dia melihat Mas Faiz yang sedang menjemput kedua mertuaku di terminal kota Bandung. Lita yang tahu kalau suamiku sudah tidak pernah pulang, langsung bersemangat mengajakku untuk menemui Mas Faiz.
Namun sayang, kedatanganku ke Bandung malah semakin menambah sakit hatiku. Aku yang mendamba akan di sambut hangat oleh suamiku, berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada di depan mata. Aku malah disambut dengan kekecewaan karena dia telah berkhianat.
Mirisnya lagi, mertuaku mengetahui semuanya dan hanya diam tanpa memberikan penjelasan kepadaku. Sepertinya mereka memang sudah tidak menganggapku menantunya, dan memihak pada wanita baru yang keadaan ekonominya jauh lebih baik dariku.
*
"Mama ...!"
Suara Alya menyambut kedatanganku. Senang bisa kembali melihatnya, tapi juga sedih karena kerinduan terhadap ayahnya tidak bisa aku obati.
"Mama, mana Ayah? Oh, Alya tau, pasti masih di jalan, yah?"
Aku tersenyum getir mendengar pertanyaannya. Seandainya kamu tahu, Al. Kalau ayahmu sudah mengkhianati kita.
"Ayah belum bisa pulang, Sayang. Ayah masih sibuk," kataku berbohong.
"Tapi, Ayah masih ada, kan? Mama ketemu dengan Ayah, kan? Ayah tidak mati seperti yang dikatakan orang-orang, kan?" Rentetan pertanyaan dari Alya membuatku terkekeh.
"Tidak, Nak. Kalau Ayah meninggal, mana mungkin Ayah kasih uang buat kita. Mama ketemu sama Ayah, kok. Nih, Ayah nitip ini buat Alya." Aku berujar dengan memberikan boneka yang sengaja aku beli di jalan.
Mata Alya seketika berbinar, dia mengambil boneka dan memeluknya dengan erat.
"Na, gimana?" Kini Ibu mulai bersuara saat Alya pergi ke teras untuk bermain.
"Aku masuk ke kamar dulu, ya Bu. Aku lelah, nanti akan aku ceritakan. Titip Alya, ya Bu. Aku ingin istirahat." Tanpa menatap Ibu, aku langsung masuk ke kamarku.
Aku duduk di ranjangku, ingatanku kembali pada saat di kota tadi. Kuambil salah satu foto Mas Faiz yang ada di laci meja rias.
"Kamu tega, Mas. Kenapa kamu melakukan ini padaku? Apa salahnya aku, Mas?"
Airmata tumpah kembali. Seperti ada bongkahan batu besar yang menghimpit dadaku hingga terasa sesak.
"Kamu ingat, gak, Mas. Saat-saat sulit dalam hidup kita? Itu saat aku hamil Alya, anakmu."
Aku berkata seakan Mas Faiz sedang berada di hadapanku.
"Dulu, kita harus berhemat untuk kelahiran Alya. Tidak ada makanan enak saat itu. Tapi aku bahagia, karena kamu selalu ada di sampingku."
Sulit, memang sangat sulit keadanku saat itu. Apalagi saat aku hamil besar. Tidak ada makanan enak dan bergizi seperti ibu hamil pada umumnya. Bahkan aku hanya makan nasi dengan kacang panjang yang di cocolkan ke garam. Tidak pernah aku berpikir akan meninggalkannya meskipun aku hidup kekurangan. Tapi sekarang apa yang aku dapatkan dari kesetiaanku? Sebuah pengkhianatan.
Getar ponsel menghentikan penerawanganku tentang kehidupanku dan Mas Faiz diwaktu dulu. Aku mengambil ponsel dan membuka pesan yang terkirim ke applikasi hijau.
[Apa yang kau lakukan pada anakku?! Dasar perempuan miskin! Lusa aku pulang, akan aku pastikan kau akan mendapatkan balasannya dariku!]
Aku tersenyum kecut membaca pesan dari Ibu mertua. Dia marah padaku, karena anaknya aku sakiti. Lusa dia kembali, baiklah akan aku persiapkan untuk menyambut kedatangannya.
Bersambung.