kepulangan Mas Faiz
MALU DI PERNIKAHAN SUAMI 3


"Na, kamu baik-baik saja?" Ibu membuka gorden dan masuk ke dalam kamarku.

"Aku baik-baik saja, Bu."

"Kamu jangan bohong, Ibu tau kalau kamu sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja. Bicaralah, Na. Apa di sana kamu ketemu sama suamimu?" 

Aku menarik napas panjang, melihat ke atas dengan menggigit bibir. Aku tidak ingin menangis di depan Ibu. Tapi nyatanya pertahananku tumpah saat melihat mata teduh Ibu. 

"Ada apa, Na? Ayo, bicara sama Ibu!" 

Air mata yang aku tahan akhirnya keluar juga. "Mas Faiz, sudah menikah lagi, Bu ...." lirihku. 

"Apa yang kamu katakan, Husna? Bicara yang benar!" 

Aku pun menceritakan semua yang terjadi saat aku di Bandung dan pertemuanku dengan Mas Faiz. Aku menceritakannya dengan tergagap dan terisak. Tanpa diduga, Ibu yang tadinya merasa iba padaku, kini sebaliknya, Ibu malah menjitak kepalaku saat aku menceritakan kejadian aku jatuh dari atas panggung. 

"Bo**h, kenapa harus naik panggung, Husna? Kenapa tidak langsung kamu samperin ke pelaminannya?" ujar Ibu gemas dengan tindakanku yang menurutnya lemah. 

"Aku tadinya mau seperti istri-istri dalam cerbung yang aku baca, mereka tuh main cantik dan berhasil mempermalukan suaminya di atas pelaminan. Tapi--"

"Tapi kamu o'on Husna, jangan samakan kehidupanmu dengan mereka. Mereka hidup dalam cerita sedangkan kamu, hidup dalam dunia nyata!"

Memang benar kata Ibu. Nyatanya, aku tidak bisa membalas sakit hatiku dengan cara yang halus. Malah justru aku yang malu sendiri. 

"Mereka orang kaya, Bu. Husna takut dipenjara jika membuat keributan di sana."

"Ya Allah Ya Robb, kenapa nasibmu malang sekali, Na!" 

Ibu menutup wajah dengan kedua tangan.

"Bu, Husna ingin berpisah saja dari Mas Faiz, tapi ... bagaimana dengan kehidupanku dengan Alya setelah aku bercerai dari Mas Fais?" 

Ibu kembali menatapku, matanya yang berair dia usap dengan jarinya yang mulai keriput. 

"Kamu tenang saja, Na. Ibu tidak akan tinggal diam, jika nanti kamu jadi janda, akan Ibu pastikan kamu dan Alya tidak akan pernah kekurangan."

"Caranya? Sedangkan kita selama ini hidup dari uang Mas Faiz yang rutin dia kirim ke aku."

"Itu menjadi urusan Ibu, yang penting sekarang, selesaikan dulu masalahmu dengan  si Faiz!" bentak Ibu. 

"Mau tidak mau aku harus menghubunginya," lirih Ibu yang masih bisa kudengar. 

Ibu pergi setelah berujar demikian. 

Apa yang akan Ibu rencanakan, dan siapa yang akan Ibu hubungi? Ah, rasanya otakku sangatlah lelah untuk berpikir masalah yang rumit ini. 

*

"Tolong, berikan dia kebahagiaan. Tidak bisa aku melihatnya berputus asa."

"...."

"Baiklah, terimakasih," ucap Ibu mengakhiri panggilan telponnya. 

Siapa yang ibu hubungi sepagi ini? Ibu berbalik, dan aku memundurkan langkahku agar tidak bisa terlihat oleh Ibu yang tengah duduk dengan ponselnya di kursi meja makan. Niatku yang tadinya ingin ke kamar mandi jadi terhenti karena ingin mendengar percakapan Ibu denga orang yang belum aku ketahui.

Apa mungkin ya, Ibu menghubungi dukun untuk mengguna-guna Mas Faiz. Ah, mikir apa aku ini, tidak mungkin Ibu akan melakukan hal syirik seperti itu. 

"Husna, kamu kenapa menggeleng-gelengkan kepala seperti itu?" Aku tersentak saat Ibu tiba-tiba ada di depanku. 

"Enggak, Bu, ini Husna mau ke kamar mandi, Bu," ucapku dan langsung meninggalkan Ibu yang mematung. 

Sepertinya aku sudah kehilangan semangat hidup, bagaimana nasibku dengan Alya jika nanti aku berpisah dengan Mas Faiz. Tapi, jika aku bertahan dalam pernikahan ini, pasti penderitaan yang aku dapat. Aku akan kalah dari istri mudanya Mas Faiz, karena dari segi mana pun, maduku itu lebih unggul dariku yang hanya wanita kampung.

"Na!"

Aku yang sedang melamun di teras rumah, terkejut dengan kedatangan dan teriakan Lita. 

"Na, Husna, di rumah mertuamu, Na," ucapnya terbata. Nafasnya terengah-engah akibat lari sambil berteriak. 

"Tenang dulu, Lit. Tarik nafas ... lalu keluarkan,  sekarang duduk," kataku yang diikuti gerakan oleh Lita. 

"Nah, sudah tenang, sekarang boleh cerita."

"Na, mertuamu pulang dari kota, dia pulang bersama suami dan madumu!"

Bukannya ibu mertuaku bilang akan pulang besok, kok sekarang malah sudah kembali. Tentu saja Lita mengetahui kedatangan mereka, karena rumah Lita berhadapan dengan rumah mertuaku, cuma terhalang jalan saja. 

"Na, hey! Malah ngelamun?" Lita menggoyangkan tubuhku. 

"Terus aku harus apa, Lit?" 

"Aduh, Na, kamu tuh yah ... hajar, lah" ucap Lita semangat. 

"Gak berani, Lit," kataku menunduk. 

"Na, itu ... suamimu datang kemari." Ucapan Lita mampu membuatku mengangkat kepala dan melihat ke jalan depan rumahku. 

Benar saja, ternyata memang suamiku datang. Akhirnya, setelah tiga tahun tidak pulang, dia sekarang kembali. Namun, bukan bahagia yang kurasa. Mataku kembali memanas jika bayangan dia jadi pengantin masih sangat jelas di benakku. 

"Kalau begitu, aku pamit dulu, yah. Kalau ada apa-apa, kamu hubungi aku, ok!"

Lita bangkit lalu pergi dengan memperlihatkan wajah tak sukanya pada Mas Faiz. Mas Faiz mendekatiku dengan menenteng dua keresek ditangannya. Tapi yang membuatku aneh, dia berjalan seperti ... anak yang baru disunat. 

"Na, kamu tidak mau menyambutku," ucap Mas Faiz saat aku diam saja tanpa uluran tangan atau senyum manis kepadanya. 

"Apa yang harus aku sambut, Mas?" 

"Kamu masih marah sama, Mas? Harusnya aku yang marah sama kamu Husna, gara-gara juniorku kau tendang, aku jadi tidak bisa melaksanakan malam pertamaku dengan Alma. Kau jahat, Na!"

"Apa Mas datang kemari hanya untuk curhat tentang malam pertama yang gagal? Apa kamu tidak memikirkan perasaanku, Mas? Mas bilang aku jahat, apa menurutmu Mas orang baik? Orang baik macam apa, yang mengabaikan istrinya demi menikahi wanita lain? Kau bukan manusia!" 

Aku masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Mas Faiz yang hanya bergeming mendengarkan ucapanku. 

"Na, tunggu!"

Mas Faiz masuk dan menyusulku ke dalam, dia duduk di sampingku. Aku lihat dia kesusahan untuk duduk, dia kesakitan. Tiba-tiba sebuah ide muncul dibenakku. 

"Sakit, yah, Mas?" 

Dia mengangguk dan meringis.

"Mau aku obatin? Siapa tau, jika aku yang kasih obat bisa langsung sembuh, aku kan pemilik pertamanya," ujarku dengan senyum semanis mungkin. 

Seketika wajah Mas Faiz berbinar, mungkin dia berpikir aku telah luluh dan bisa menerima semuanya dengan lapang. 

"Kamu sudah tidak marah, Na?" 

"Tadinya aku marah, tapi setelah melihatmu kesakitan begini, aku jadi kasihan, Mas. Dan aku menyesal telah membuatmu seperti ini."

"Kamu memang istri yang baik, Na. Sudah aku duga, kamu pasti akan bisa ikhlas dimadu daripada berpisah dariku. Ayo, Na segera obatin, aku sudah kesakitan dari kemarin," ucapnya memelas. 

Aku pun menyuruhnya masuk ke kamar dan aku akan mempersiapkan obat yang manjur untuk aku berikan padanya. Dengan menggunakan sarung tangan plastik, aku mulai dengan aksiku. 

Aku kembali ke kamar, dengan roll on yang sudah aku oleskan pada telapak tanganku. Di sana, Mas Faiz sudah berbaring dengan hanya memakai sarung yang menutupi kemaluannya. 

"Mana obatnya, Na?"

"Ini, di tangan. Ini minyak zaitun, Mas. sangat dingin dan ampuh untuk area yang sakit, aku oleskan sekarang yah?"

"Iya, Na. Cepetan, biar cepat sembuh dan aku bisa em ... maaf, Mas gak maksud," ucapnya tak enak.

"Tak apa, Mas. Aku ngerti, kok, pengantin baru, kan?" kataku, sekuat tenaga aku menahan sesak dan mencoba tenang.

Aku pun mengusap-usap juniornya Mas Faiz dengan telapak tanganku yang sebelumnya sudah aku olesi dengan fresh c*re hot. 

'Selamat menikmati, Sayang.' Dalam hati aku bersorak. 

"Sudah, Mas. Aduh, aku lupa harus menjemput Alya dari paud, soalnya ibu lagi kerja di orang. Aku tinggal bentar ya, Mas. Kamu tidur saja ya, aku buru-buru, bye suamiku!"

Aku berlari tanpa menunggu jawaban darinya. Saat aku keluar rumah masih kudengar dia berteriak. 

"Aduh Na, kok ada panas-panasnya ya ...!"

Bodo amat.



Bersambung

_______

Katanya, si madu juga datang, enaknya diapain ya Mak?? 






Komentar

Login untuk melihat komentar!