Dijambret mertua
MALU DI PERNIKAHAN SUAMI
10

Aku memandangi jari telunjukku yang sudah dibalut dengan perban. Entah bagaimana mulanya jarum mesin bisa menancam di jariku. Kejadiannya sangat cepat hingga aku tidak bisa menghindari kecelakaan ini. 

Untunglah Bang Dimas dengan sigap membantu melepaskan jarumnya hingga terlepas. Dan aku, langsung dibawa ke klinik terdekat dari kawasan pabrik. Jangan tanyakan rasanya bagaimana karena sangat sakit, ngilu, dan ... malu. 

"Husna, ini obatmu. Sebaiknya kamu pulang saja, untuk belajarnya bisa dilanjutkan besok saja. Saya sudah menghubungi Pak Handika, dan dia meminta kamu untuk pulang," ucap Bang Dimas dengan memberikan obat anti nyeri yang dia beli di apotik. 

"Bang."

"Kenapa?"

"Maaf, saya jadi nyusahin Abang." Aku menunduk karena merasa tidak enak dengan kejadian ini. 

"Hmm ...." 

Cuma hm doang dia jawabnya. Ih sombong. 

"Lain kali, kalau kerja tuh fokus. Bukan hanya agar hasil kerjanya baik dan bagus, tapi buat keselamatan juga."

"Baik, Bang."

"Yaudah, sekarang kamu saya antar pulang. Biar langsung istirahat. Biar besok bisa kembali kerja lagi." Bang Dimas berjalan menghampiri motornya yang terparkir di halaman klinik. 

"Emang akan sembuh dalam semalam, Bang?" tanyaku menghentikan tangannya yang hendak memakai helm. 

"Sebenarnya, luka segitu, tuh pake plaster doang juga bakalan sembuh. Kecuali kalau patahan jarumnya tertinggal di dalam, baru bahaya. segitu mah biasa aja," ujarnya enteng. 

Benar-benar songong nih orang. Dia bilang ketusuk jarum biasa aja, dia gak tahu kalau ini tuh sakitnya bikin cenat-cenut. 

"Pak Handika aja yang terlalu khawatir nyuruh aku buat bawa kamu ke Dokter, buang-buang waktu," pungkasnya. 

Aku hanya merengut tidak lagi bertanya. percuma juga bertanya, jawabannya nyakitin mulu. 

"Buruan naik, mau pulang gak?" Bang Dimas teriak dari atas motornya. 

"Gak usah, Bang. Biar saya pulang sendiri saja," ujarku sembari berjalan meninggalkan dia. Baru beberapa langkah, dia kembali berteriak memanggilku. 

"Husna! Itu jalan kembali ke pabrik, bukannya kontrakanmu di gang sana?" Telunjuknya mengarah ke arah gang di sebrang jalan. 

"Tau, barusan cuma parkir doang!" teriakku, aku langsung nyebrang jalan dan berjalan masuk gang. Masih bisa aku lihat dia terkekeh geli melihat tingkahku. 

Buru-buru aku berjalan agar bisa menjauh darinya, aku sudah tidak bisa lagi menahan malu karena hampir saja salah jalan. Bukan sengaja, tapi emang lupa dan ling-lung. 

Tidak berapa lama, aku sudah sampai di rumah kontrakanku. Namun, ada yang aneh saat aku sampai di sana. Beberapa orang sedang berkerumun di depan pintu kontrakanku. Ada juga Pak Haji selaku pemilik kontrakan. 

"Maaf, ini ada apa, ya?" tanyaku saat telah sampai. 

"Nah, ini, nih, orangnya datang. Coba dipikir, deh, kerja apaan jam segini udah pulang aja." Seorang wanita tambun menunjukku dan berkata dengan tatapan sinis. 

Aku yang tidak tahu apa-apa merasa bingung dengan arah pembicaraannya. 

"Memangnya ada apa dengan saya, Bu? Saya pulang cepat karena saya mengalami kecalakaan kerja. Ini, jari saya tertusuk jarum mesin." Aku menunjukan jariku yang dibalut perban. 

"Begini, Mbak Husna, saya selaku pemilik kontrakan di sini, mendapat laporan bahwa Mbak ini sering memasukan pria ke dalam kontrakan saya." Pak Haji mulai berbicara maksud dari kedatangannya. 

Aku yang tidak merasa, sangat kaget dengan penuturan Pak Haji. Aku menggeleng dan mencoba menjelaskan kepada mereka. 

"Itu tidak benar, Pak. Sering bagaimana, kalau saya saja baru semalam tinggal di sini. Tadi malam, memang benar, ada dua lelaki yang datang--"

"Nah, kan. Dia ngaku pak Haji, kalau semalam dia didatangi dua pria. Berarti benar, kan dia ini wanita gak bener." Si Ibu langsung memotong perkataanku sebelum aku menyelesaikannya. 

"Bukan begitu maksud saya," selaku memberikan penjelasan. 

"Ah sudah, lebih baik dia usir saja dari sini Pak Haji, ini gak baik buat lingkungan kita."

"Iya benar, tuh."

"Suruh pergi saja, masih banyak kok yang mau ngontrak di sini, daripada dia wanita gak bener."

Beberapa orang mulai bersahutan mengeluarkan pendapatnya. 

"Maaf, Mbak Husna, mungkin alangkah baiknya jika Mbak Husna memang keluar dari kontrakan saya. Saya tidak mau ada keributan dan membuat yang ngontrak sudah lama di sini menjadi tidak nyaman." Aku semakin kaget mendengar Pak Haji menyuruhku pergi. 

"Tapi, saya tidak melakukan kesalahan apa pun, Pak. Ini hanya salah paham," katakku meyakinkan. 

Namun, percuma. Sepertinya Pak Haji lebih mempercayai mereka yang lebih dia kenal daripada aku yang baru kemarin jadi penghuni di sini. Dengan paksa mereka mengeluarkan barang-barangku dari dalam kontrakan dan menyeretnya keluar. 

Aku hanya bisa melihat semuanya dengan berurai air mata. Aku hanya sendiri sedangkan mereka beramai-ramai. Tentu saja aku tidak punya kekuatan untuk membela diri. 

Akhirnya aku kembali kalah. Aku melangkah gontai dengan menjinjing tas berisi pakaianku dan juga karpet yang Pak Handika berikan semalam. Ya Allah, siapa orang yang tega memfitnahku. 

Siapa orang yang harus aku mintai tolong sekarang, sedangkan aku saja belum mengenal siapa pun di sini. 

Aku terus berjalan dengan air mata yang sudah menganak sungai. Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depanku. Dua orang perempuan keluar dan menghampiriku. 

"Ibu ...!" 

Aku tidak salah lihat, Ibu yang berjalan menghampiriku. Dia tidak sendiri melainkan berdua dengan menantunya yang tidak lain adalah Alma, istri muda Mas Faiz. 

"Aduh, kasian banget, sih. Di usir, yah?"

Keduanya tertawa puas melihatku yang menyedihkan. 

"Kenapa Ibu bisa ada di sini?" tanyaku pada mantan mertua. 

"Bisalah, kan menantuku yang sekarang orang kota, bukan udik kayak yang dulu," ujar Ibu. 

"Apa jangan-jangan kalian yang memfitnahku?" 

Dengan angkuhnya, Alma melotot kepadaku. "Kalau iya, kenapa? Kamu sengaja, kan datang ke sini buat mengejar Mas Faiz, biar dia bisa kembali padamu lagi? Jangan harap aku akan diam saja, wanita jelek. Aku tidak akan biarkan siapa pun mengambil Mas Faiz dariku!" ucap Alma menunjuk-nunjuk wajahku. 

"Aku ke sini untuk bekerja, bukan untuk mengejar suami orang seperti yang kau lakukan!" ucapku tak kalah lantang. 

"Jaga bicaramu, Husna! Jangan beraninya kamu berkata kasar pada menantuku!" 

Ibu menghampiriku dan mengambil tasku. 

"Ibu mau ngapain?" tanyaku berusaha mengambil tasku kembali. 

"Diam!" bentaknya. 

"Jangan Bu, jangan ambil uangku. Ibu jangan mengambilnya!" Aku merebut kembali tasku, namun sayang, semua uang yang aku simpan diambil oleh Ibu mertuaku. 

"Kembalikan uangku, Bu."

"Uangmu kau bilang? Ini uang yang Faiz kasih ke kamu, kan? Anggap saja ini uang ganti rugi karena kamu sudah memecahkan lemari kacaku waktu di kampung!" 

"Kembalikan, Bu. Terus aku bagaimana kalau Ibu mengambil semuanya?" 

"Itu bukan urusanku, jauh-jauhlah dari hidup anakku. Kau sudah tidak pantas untuknya!" pungkasnya lalu pergi meninggalkanku.

Aku mengambil tas dan dompet yang dilempar asal oleh Ibu. Tangisku kembali pecah saat melihat tidak ada lagi sisa uang di dalamnya. Ibu benar-benar tega, dia bahkan tidak menyisakan walau hanya sekedar untuk membeli air kemasan saja. 

"Husna! Apa yang terjadi?"

Aku mengangkat wajahku saat namaku dipanggil seseorang. Bang Dimas, dia turun dari motornya dan menghampiriku. 

"Kamu kenapa, Na?" tanyanya lagi. 

Semakin dia bertanya, semakin deras juga air mata yang tumpah membasahi pipiku. 

"Aduh, Na. Jangan nangis terus, dong. Nanti dikiranya aku ngapa-ngapain kamu lagi. Ayo bangun dan ikut aku. Kita cari tempat yang tenang buat bicara."

Bang Dimas membantuku berdiri, dia membawa tasku dan menyimpannya di bagian depan motor maticnya. Kami pun pergi dari tempat dimana tadi aku dijambret oleh Ibu mertuaku. Bang Dimas membawaku ke sebuah taman dan menyuruhku duduk di kursi panjang tepat di bawah pohon. 

"Apa sekarang kamu mau menceritakan apa yang kamu alamai padaku?" tanyanya dengan sorot mata tajam. Sepertinya saat ini dia lebih serius dari biasanya. Atau mungkin khawatir? 

"Saya ... diusir dari kontrakan saya, Bang," katakku lemah. 

"Kok bisa?" 

Akhirnya aku pun menceritakan semua yang telah menimpaku tadi. Aku mengesampingkan rasa maluku, karena aku tidak punya lagi tempat untuk membagi kemalanganku saat ini. 

"Miris banget hidupmu, Na. Seperti dalam sinetron." 

"Bang Dimas tadi sedang apa di gang sana?" tanyaku, karena tidak mungkin dia mengikutiku tadi. 

"Oh, ini." Dia menyodorkan ponsel milikku. Ternyata ponselku tertinggal di klinik tempatku berobat tadi. 

"Terima kasih," ucapku. 

"Sama-sama. Ikutlah denganku, tidak mungkin aku meninggalkanmu sendiri di sini. Ini tempat asing untukmu." 

"Kemana?" Aku masih belum mengenal Bang Dimas dengan baik. Siapa tahu dia sebenarnya orang jahat. 

"Ke rumahku." 

"Nanti istri Abang, marah." 

"Wanitaku tidak akan marah, dia wanita yang amat sangat lembut," ujarnya seraya tersenyum. Baru kali ini aku melihat dia tersenyum seperti itu. Biasanya akan ketus dan irit bicara. 

Tapi aku tidak mau jika nantinya istri dari Bang Dimas marah dan cemburu padaku. Selembut apa pun perempuan, jika ketahuan suaminya membawa wanita lain, pasti akan tetap merasa cemburu. 

Namun, aku juga tidak punya kenalan lagi untuk aku mintai tolong. Masa iya aku harus minta bantuan Pak Handika. Ah, iya ... gimana kalau minta bantuan Pak Handika saja, ya? 

Bersambung. 

Kira-kira siapa yang akan Husna mintai tolong yah? 

Ikut dengan Dimas, atau minta bantuan sama si Bos?

Komentar

Login untuk melihat komentar!