Curahan Hati Valencia

“Assalamu’alaikum, mba Ina ada?” suara Akbar terdengar dari luar bersama ketukan di pintu ruang guru perempuan. 

“Wa’alaikumsalam warohmatullah, ada Mas.” Sahut Ina seraya beranjak membuka pintu.

“Mba, Valeria milih mba, jadi mulai hari jumat pekan ini Mba ada jadwal ngajar dia ya. Bersedia kan?”

“Siap Mas, insya Allah.” 

“Sip, thank you ya Mba. Nanti saya kasih lagi print out jadwal pekanan terbarunya Mba setelah ditambah jadwal privat Valeria”

“Mmm...Mas, tapi sebelumnya ada yang ingin saya tanyakan mengenai latar belakang keluarga Valeria, karena di pertemuan kemarin sempat ada insiden yang bikin saya kepikiran sampai sekarang.”

“Kalau begitu kita bicara di ruang manajemen aja ya.”

“Baik Mas.”

Mereka melangkah ke ruang manajemen yang terletak di bagian depan gedung. Tempat ini adalah ruang kerja Akbar bersama Rianti, manajer keuangan. Setelah masuk, Akbar mempersilahkan Ina duduk di kursi yang ada di depan meja kerjanya, sementara dia sendiri duduk di kursinya. 

“Oke, apa yang mau ditanyakan mba?” tanya Akbar kepada Ina setelah mereka duduk berhadapan.

Ina kemudian menceritakan kejadian saat kegiatan belajar mengajar bersama Valeria berlangsung kemarin, dan menanyakan apa maksud kalimat Valeria yang mengatakan bahwa dia tidak punya mama. Mendengar pertanyaan Ina, Akbar tersenyum sambil menoleh ke arah Rianti.

“Coba jelasin Mba Rianti.” Pinta Akbar kepada Rianti yang duduk di meja berjarak 2 meter dari tempat Akbar.

Rianti tersenyum dan menghela nafas lalu berkata,

“Orang tua Valeria bercerai sejak dia masih kecil mba, katanya sih ibunya selingkuh dan pergi ninggalin ayahnya 6 tahun lalu, dan sejak saat itu ayahnya tidak mengizinkan anak-anak untuk ketemu ibunya. Itu menurut cerita Valencia, wallahu a’lam kejadian sebenarnya seperti apa.” 

“Dan kita juga ga cari tahu lebih jauh mengenai itu karena bukan urusan kita ya mba. Meski memang kadang kita butuh informasi mengenai kondisi keluarga siswa agar bisa mengantisipasi kejadian-kejadian yang bisa mengganggu interaksi guru dengan siswa saat kegiatan belajar mengajar berlangsung, tapi itu seperlunya saja.” Akbar menambahkan.

“Iya mas, saya pingin tahu soal kondisi keluarga Valeria supaya bisa memberikan perlakuan yang lebih pas buat anak itu saat kami berinteraksi, karena mengajar itu kan bukan hanya tentang aktifitas menyampaikan ilmu, tapi juga ada faktor-faktor psikologis yang harus diperhatikan” Ucap Ina.

“Sepakat” Balas Akbar.

“Ngomong-ngomong, berarti Valen suka cerita ya mengenai keluarganya?” Tanya Ina kepada Rianti.

“Valen kan orangnya ceplas ceplos mba, beda jauh sama Valeria yang tertutup banget dan dingin sama orang lain. Jadi Valen kadang suka curhat ke guru-guru atau ke kami di ruangan ini kalau dia lagi bete sama siapapun baik itu teman atau keluarganya.” Sahut Rianti.

“Kasihan ya mereka.” Ucap Ina setengah berbisik.

Hening sejenak, seolah ketiga orang yang berada di ruangan itu larut dalam pikirannya masing-masing. Hingga kemudian Ina berkata,

“Oke Mas, Mba, makasih infonya ya. Saya mau kembali ke ruang guru lagi nerusin bikin kunci jawaban latihan soal buat kelas sesi 3 nanti."

“Sip mba, semangat ya.” Balas Akbar, sementara Rianti merespon Ina dengan mengangguk dan tersenyum.

“Assalamu'alaikum”

"Wa'alaikumussalam" Jawab Akbar dan Rianti bersamaan.

Ina berjalan meninggalkan ruang manajemen dengan hati yang masygul. Muncul lagi dalam ingatannya bagaimana ekspresi Valeria saat kemarin dia menyinggung soal ibunya. 

“Maafin Kak Ina ya Val.” Bisik Ina dalam hati.

--------------------------------------------

Pukul 18.00 azan maghrib berkumandang, Ina bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Hari ini dia masih ada jadwal mengajar di sesi ke-3 pukul 18.30 sampai 20.00. 

“Hai Kak Ina.” Terdengar suara riang menyapanya di lorong menuju kamar mandi. Itu Valencia, dengan senyum lebar dan tingkah agak konyolnya seperti biasa.

“Halo syantiiik, belajar IPA sama Kak Ina ya nanti.” Balas Ina sambil meyambut tangan Valencia yang teruluur untuk menyalaminya.

“Iyoooo” Sahut Valencia.

“Valen udah makan?”

“Udah makan mie ayam tadi jam setengah 6. laper banget abis latihan taek won do tadi Kak.”

“Oh gitu, jadi langsung ke sini abis dari sana?”

“Hu'um”

“Ya udah kita sholat dulu yuk, berjamaah oke?” 

“Siaaapp” 

Selesai berwudhu, Ina dan Valencia menuju ruang sholat wanita yang disediakan di dalam gedung bimbel. Bersama beberapa guru dan siswi lain, mereka melaksanakan sholat berjamaah diimami oleh Ina. Setelah sholat berjamaah usai, diantara mereka ada yang langsung pulang, ada yang tidur-tiduran dulu melepaskan penat, ada pula yang menuju ruang kelas untuk melaksanakan kegiatan belajar seperti Ina dan Valencia.

“Kak, katanya Kakak ngajar Valeria ya?” Tanya Valencia kepada Ina saat mereka berjalan bersama menuju kelas. 

“Iya.”

“Yang sabar ya Kak kalau sama Valeria, dia anaknya cengeng, suka ngambekan lagi. Di rumah juga dia gitu. Tapi dia disayang banget lho sama papa, ga pernah dimarahin. Kalau sama aku, papa sering marah.” Celoteh Valencia sambil memonyongkan bibirnya.

“Ya kamunya kali bandel, jadinya papa marah.” Ina tertawa sambil menatap Valencia.

“Ih bandel apa? aku tuh cuma ga mau aja disuruh ikut ini itu tiap hari Kak, cape aku. Bayangin aja, dalam satu minggu aku harus ikut les menari, les musik, taekwondo, bimbel disini, ditambah lagi les bahasa mandarin. Aku cape Kaaakk. Sekolah aku aja udah fullday, pulang jam 4 langsung ke tempat les. Sampai rumah kadang bisa jam 8 malam. Bahkan sabtu minggu aja aku masih ada kegiatan” 

Kata-kata valencia terhenti saat mereka memasuki kelas, masih belum ada siapapun. Ina duduk di kursi guru, sementara Valencia mengambil kursi paling depan dekat kursi guru.

“Lagian Kak, ga semua kegiatan itu aku suka, kayak menari sama les musik itu aku ga suka, dan aku ngerasa ga ada bakat di bidang itu, tapi papa tetep maksa. Kata papa kalau aku mau sungguh-sungguh, kemampuan itu bisa diasah.” Lanjut Valencia dengan nada suara yang semakin tinggi. Tampak jelas kekesalan di wajahnya.

“Valen ga coba bilang ke papa alasan Valen ga mau banyak-banyak ikut les?”

“Udah, tapi ga didengerin sama papa, sampe akhirnya aku ngelawan, papanya marah.”

“Kak Varel juga lagi bete tuh, karena papa ga izinin dia ambil sekolah penerbangan, padahal kak Varel cita-citanya dari kecil pengen jadi pilot. Papa malah nyuruh kak Varel kuliah di Swiss ambil jurusan yang papa mau.”

“Emang apa alasan papa ga ngizinin Varel lanjut ke sekolah penerbangan?”

“Ga tau tuh ga jelas, pokoknya ga boleh aja. Papa bilang papa benci profesi yang berhubungan sama penerbangan. Mungkin karena mama kali, mama kan dulu pramugrari.”  

Valencia menghentikan kalimatnya ketika di luar terdengar para siswa berdatangan.

“Assalamu'alaikum" ucap anak-anak bergantian saat memasuki kelas.

“Wa'alaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh.” Balas Ina sambil menerima jabat tangan mereka satu persatu.

“Woi Valen, gue chat lu dari tadi sore kok ga dibales sih!” Itu Meta, sahabat Valen.

“Iya sorry, hp gue ketinggalan di mobil. Abis nganterin gue ke sini kan supir gue lanjut nganterin adek gue les musik ke Tulip Garden, jadi ga sampe sekarang masih ada di mobil tuh hp.”

“Pantessaaann”

Dan begitulah, cerita Valencia tentang keluarganya terhenti karena setelah para siswa duduk di kursinya masing-masing, Ina memulai pelajaran.