Anak Itu Menyeramkan!

“Kak, aku pinjem tip ex dong.” Valeria berbicara kepada Tyas di meja front office.

“Silahkaaan. Kalau sudah selesai dipakainya kembaliin lagi kesini ya.” Ucap Tyas seraya menyodorkan benda yang diminta Valeria.

“Ya iyalah masa aku ambil.” Ekspresi Valeria sinis dengan segaris senyum mencibir, sementara tangannya meraih tip ex.

“Bukan gitu, maksud kak Tyas takut Valeria lupa.” 

“Aku belum pikun.” Tandas Valeria seraya berlalu.

Ina tersenyum kepada Tyas yang memandangnya dengan wajah terperangah melihat perilaku siswinya itu.

“Sabar Mba, hitung-hitung latihan kalau mau dapetin papanya.” Ina menggoda Tyas.

“Dih, ga mau ah, stres tar gue.” Tyas mengerucutkan bibir membuat Ina tertawa.

“Aku ke atas dulu ya Mba.”

“Monggoooo"

Ina menyusul Valeria ke kelasnya di lantai dua. 

“Assalamu’alaikum.” Sapa Ina saat masuk kelas.

“Wa’alaikumsalam.” Suara Valeria terdengar riang.

“Hai, lagi hepi nih kayaknya.”

Ina meletakkan tasnya di atas meja dan duduk di kursi guru.

“Iya, soalnya papaku udah pulang.”

“Oya, emang dari mana?”

“Korea.”

“Dibawain oleh-oleh ga?”

“Papa selalu bawa oleh-oleh buat kami kalau habis dari mana-mana.”

“Wah, asyik ya. Dibawain apa aja biasanya?”

“Macem-macem. Makanan, baju, sepatu, atau apa aja yang kita minta. Kalau buat aku biasanya papa beliin boneka atau alat tulis lucu karena papa tau aku suka itu. Tapi kalau kemarin aku dibeliin topi ini.”

Valeria mengambil topi yang diletakkan di kursi kosong disampingnya. Sebuah topi bucket berbahan denim dengan motif bunga matahari. 

“Ih lucu, coba pake.” Seru Ina.

Valeria memakai topinya. Wajahnya yang bak boneka anak eropa makin cantik mengenakan topi itu.

“Cantiiiikk...masya Allah.” Ina memandang Valeria dengan ekspresi terpesona. Anak itu tersipu, kemudian membuka topinya dan meletakkannya kembali di tempat semula.

“Oh ya, Valeria sudah lihat nilai try out gelombang pertama? Sudah di tempel di dinding dekat tangga.”

“Sudah. Itu yang peringkat pertama siapa sih Kak?”

“Kak Ina ga tahu siapa, soalnya di level SD kan kak Ina hanya ngajar Valeria aja, jadi ga tau satu persatu anak-anak SD lainnya.”

Nilai try out diumumkan dengan keterangan nomor induk siswa tanpa disertakan nama, jadi hanya siswa yang bersangkutan yang tahu nilainya sendiri berdasarkan nilai induk yang mereka miliki. Hal ini dilakukan oleh pihak manajemen lembaga bimbel untuk mengantisipasi rasa minder pada siswa yang mendapat nilai rendah.

“Valeria peringkat 3 kan ya?” Tanya Ina yang dijawab dengan anggukan oleh Valeria.

“Ah paling juga nyontek tuh anak yang dapet peringkat pertama.” Sinis nada itu keluar dari mulut Valeria.

“Eh, ga boleh gitu, suudzon itu namanya.” Ina memandang anak itu dengan ekspresi serius.

Valeria tak menanggapi, cuek saja sambil memainkan kuku-kukunya.

“Baik, sekarang kita mulai pelajaran ya.” Ina mengakhiri obrolan pembuka lalu menuliskan judul materi di papan tulis. Diikuti Valeria yang mengeluarkan modul belajar dan buku tulisnya.

Satu jam berikutnya pelajaran berlangsung. Valeria tampak begitu semangat menyimak penjelasan Ina. Tidak hanya mendengarkan, hari ini dia juga aktif merespon pertanyaan Ina atau bertanya tentang hal-hal yang ingin dia ketahui. Begitupula saat diberikan soal latihan, dia dapat menyelesaikannya dengan lancar.

“Waktunya tinggal 10 menit lagi, seperti biasa kita break ya.”

Valeria mengangguk. Tangannya lekas membereskan peralatan belajarnya dan memasukkannya ke dalam tas. Namun dia menyisakan buku tulis dan pulpen di tangannya, lalu mulai mengambar sesuatu.

Sementara Valeria asyik dengan kegiatannya. Ina mengambil handphone dan mengecek pesan-pesan yang masuk. Dia membalas satu persatu pesan yang berkaitan dengan kegiatan kerjanya di bimbel, juga melihat informasi yang dibagikan di grup karyawan. 

“Hahahahahahaha.” Tiba-tiba Valeria tertawa terbahak-bahak. 

Agak terkejut Ina menoleh ke arah Valeria, untuk pertama kalinya dia melihat anak itu tertawa, keras pula.

Ina memang baru sebulan mengajar Valeria, tapi dia sudah sering melihat anak itu sebelumnya saat berpapasan di berbagai tempat di gedung bimbel ini. Dan selama ini tak pernah sekalipun dia melihat Valeria tersenyum apalagi tertawa keras seperti sekarang.

“Kenapa Nak?” Tanya Ina penasaran sambil ikut tersenyum.

“Ini lucu banget.” Jawab Valeria, matanya terus memandangi gambar yang dia buat di bukunya, lalu kembali terbahak.

Karena penasaran, Ina mendekati kursi Valeria. Alangkah terkejutnya ia saat melihat apa yang ditertawakan anak itu. Di bukunya tampak ada dua gambar yang bersebelahan. Di sebelah kanan ada gambar seorang laki-laki yang tergantung di tiang gantungan. Kepalanya terkulai dengan leher terjerat tali yang terikat ke palang yang memanjang di atasnya. Sementara di sebelah kiri ada gambar kepala seorang wanita bersanggul. Di matanya tertancap sesuatu yang terlihat seperti benda tajam yang panjang. Ada cairan yang******di sekeliling mata itu. Mulutnya terbuka seperti menahan sakit. 

Gambar-gambar itu tidak terlalu bagus, namun sangat jelas mengeskpresikan keadaan yang ingin disampaikan kepada orang yang melihatnya.

“Ini lucu banget Kak, matanya ketusuk sama tusuk kondenya sendiri. Darahnya sampe mucrat-muncrat gitu.” Valeria menjelaskan keadaan wanita bersanggul di gambar itu. Lalu kembali terbahak.

Ina merinding menatap Valeria. Anak itu terus tertawa, namun sorot matanya berkilat penuh kebencian. Sementara dia sama sekali tidak merasa terganggu melihat ekspresi Ina yang mendadak menatapnya dengan aneh. Dia terus saja tertawa.

Ah, ini sungguh seperti gambaran para psikopat di film-film pembunuhan. Dan memang rasanya tidak normal, bagaimana mungkin gambar-gambar mengerikan itu dibilang lucu.

Tiba-tiba Ina merasa takut kepada Valeria, dia mundur perlahan ke kursi guru, duduk diam memandangi anak itu yang melanjutkan aktifitas menggambarnya sambil tersenyum lebar. Entah kenapa, senyum itu lebih terlihat sebagai seringai di mata Ina. Dia melirik jam di lengan kirinya, masih 3 menit lagi menuju bel akhir pelajaran berbunyi. 

Sore ini anak-anak kelas reguler banyak yang mengambil jam malam, sehingga hanya ada Ina dan Valeria di lantai dua ini, semua kelas di luar kosong tidak ada orang. Kondisi ini membuat Ina merasa semakin tegang. Berbagai dzikir dia lafalkan di dalam hati untuk mengusir rasa takut yang dihembuskan oleh Valeria.

Teeeeettt. Akhirnya bel berbunyi.

“Alhamdulillah waktunya sudah habis nak, ayo kita pulang.” Ina berkata tanpa memandang Valeria.

Ina menutup pelajaran. Ketika mengucapkan salam matanya melirik ke arah Valeria. Anak itu sudah duduk rapi dengan mengenakan topi di kepalanya. Ekspresinya kembali dingin seperti biasa, seolah tidak habis tertawa terbahak seperti yang dia lakukan beberapa menit sebelumnya. Cepat sekali perubahan moodnya. 

Valeria menjawab salam lalu bangkit berjalan menuju tempat duduk Ina untuk menyalaminya.. Kemudian berjalan keluar kelas sambil bersenandung pelan. Ina mengikuti di belakang tanpa berusaha mensejajari anak itu.

Masih diliputi rasa takut yang tersisa di pikirannya, Ina memandangi Valeria dari belakang. Dia bukan psikolog, tapi dia yakin, semua hal tak wajar yang ia temukan dalam diri Valeria adalah efek luka batinnya. Tiba-tiba hatinya terasa perih, seolah ikut merasakan sakit yang dialami bocah itu.

“Valeria, sedalam apakah luka itu nak?’ Bisik Ina dalam hati.