Bait Cinta di Sepertiga Malam

Pukul 03.30 dini hari, semilir udara sejuk menyelusup ke celah-celah ventilasi menemani hening malam yang meliputi bumi. Di atas sajadahnya, Ina baru saja usai melaksanakan rakaat terakhir sholat witirnya yang dilanjutkan dengan dzikir. Moment sepertiga malam selalu menjadi waktu favorit baginya untuk berkontemplasi, membaca diri dan mempelajari segala hal yang terjadi, guna menuai hikmah yang membangun kebijaksanaan diri, serta mengokohkan pondasi kekuatan yang diberikan Sang Pencipta untuk menelusuri hidup dengan segala permasalahannya. Dari ibu, Ina belajar semua ini.

Saat terpejam dalam doa, bermunculan wajah-wajah orang yang dicintainya. Kedua orang tuanya yang telah meninggal, suaminya, anaknya, mertuanya, dan .….. Valeria. Ya, wajah anak itu muncul dalam munajat Ina. Kelenjar lacrimalis di matanya spontan mengeksresikan air mata yang tak dapat dibendung saat ia meminta kebahagiaan untuk Valeria. Bait-bait cinta untuk anak itu begitu tulus dia sampaikan kepada Allah. Sungguh dia ingin Valeria tidak lagi terluka. 

Tiba-tiba terdengar tangisan Aisyah dari tempat tidur. Ina mengakhiri doanya dan segera menghampiri Aisyah.

“Kenapa sayang, haus ya? mau mimik?” lembut suara Ina sambil mengelus kepala Aisyah yang ditumbuhi rambut-rambut halus.

Beberapa detik kemudian Aisyah sudah terlelap kembali. Ada gelombang cinta yang begitu besar yang Ina rasakan saat menatap Aisyah dalam pelukannya. Dan dia yakin, rasa inilah yang dimiliki oleh semua ibu di dunia ini, bahkan dari spesies binatang sekalipun. Bukankah tak jarang kita melihat ada seekor binatang yang mampu bertarung mengorbankan nyawanya sendiri demi menyelamatkan anaknya dari terkaman predator? Itulah cinta, yang jelas terbaca meski tanpa rangkaian kata.

Ina percaya, tidak ada ibu jahat di dunia ini. Jika ada ibu yang mampu menyakiti anaknya, itu pasti karena faktor keadaan yang dia sendiri tidak menginginkannya, atau bahkan dia sendiri tidak mengerti kenapa kejahatan itu sampai tega dia lakukan.

Wanita dibekali rahim oleh sang pencipta bukan hanya untuk mengandung, tapi juga untuk mengaktifkan energi cinta untuk anaknya sejak sang anak masih dalam kandungan. Jika ada seorang ibu yang merasa tidak mencintai anaknya, maka sebenarnya ibu itu sendiri sedang dalam keadaan butuh pertolongan, terutama untuk mentalnya. 

Ingatan Ina melayang kepada ibunya, seorang wanita tangguh yang telah membesarkannya tanpa mengeluh, meski leboh dari 10 tahun dia jalani tanpa bantuan suami.

Bapak meninggal saat Ina berusia 12 tahun. Beliau yang semasa hidup bekerja sebagai guru honorer di sebuah kota kecil di daerah Jawa Barat, tidak meninggalkan banyak harta. Hanya sebuah rumah kecil peninggalan orang tua Bapak dengan perabotan seadanya. Sejak saat itu ibulah yang banting tulang mencari nafkah untuk dirinya dan Ina, putri semata wayangnya.

Ibu adalah seorang penjahit, pekerjaan ini sudah beliau jalani sejak ayah masih hidup. Di kampung kecil dengan penduduk yang pendapatan rata-ratanya masih di bawah garis kesejahteraan, profesi ini tidak banyak membuka celah pendapatan, paling hanya ramai di saat menjelang hari raya ketika semua orang ingin memakai baju baru. Adapun di hari-hari biasa hanya sekali dua kali saja dalam sebulan ibu mendapat orderan, bahkan kadang tidak ada sama sekali.

Sejak ayah meninggal, ibu berusaha melakukan apa saja untuk mendapatkan uang, dari jualan kue keliling kampung, bekerja harian di sebuah produsen kecil pembuat makanan ringan, hingga menjadi asisten rumah tangga di rumah kepala desa pun pernah ibu lakukan. 

Di kampung itu ayah punya tiga saudara kandung, namun karena kondisi ekonomi mereka juga tidak terlalu baik, maka mereka tidak bisa membantu ibu, dan ibu juga tidak pernah sekalipun meminta bantuan kepada mereka. Dalam hal ini prinsip ibu sangat kuat, bahwa rezeki sudah ditentukan oleh Allah, maka cara kita mendapatkannya adalah dengan berdoa dan berusaha, bukan dengan meminta-minta kepada manusia. Kalimat itu beberapa kali Ina dengar dari mulut ibu.

Pernah suatu kali, karena keperluan mendesak untuk membayar rangkaian kegiatan akhir semester Ina saat kelas 3 SMP, ibu terpaksa meminjam uang kepada seseorang yang di kenalnya di kampung sebelah. Ibu berjanji akan melunasinya setelah sebulan. Saat tiba jatuh tempo ibu belum punya uang untuk membayar semuanya, maka ibu meminta agar diperbolehkan untuk mencicil setengahnya, dan memohon agar diberi perpanjangan waktu untuk melunasinya. Ibu berjanji akan melunasi karena bagi ibu membayar hutang adalah kewajiban. Syukurlah sang pemberi hutang menyetujui permintaan ibu.

Seminggu setelah perjanjian itu ibu jatuh sakit hingga beberapa hari tidak bisa melakukan pekerjaan dan tidak ada uang yang bisa dikumpulkan. Saat tiba jatuh tempo pembayaran hutang kembali, ibu masih belum bisa melunasi. Sang pemberi hutang marah dan mencaci maki ibu dengan kasar hingga terdengar ke tetangga sekitar. Dia menuduh ibu sebagai orang yang tidak tahu diri, karena berani berhutang tapi tidak mengukur kemampuan untuk membayar.

Ibu hanya menunduk mendengar semua caci maki itu, kalimat yang keluar dari mulutnya hanya permintaan maaf. Ina yang mendengar kejadian itu di kamarnya menangis. Ingin rasanya ia menampar mulut orang yang sedang menghina ibunya, namun dia sadar saat itu merekalah yang salah karena tidak bisa menepati janji, meski kesalahan itu bukan karena kesengajaan.

Setelah puas mencaci maki ibu, sang pemberi hutang itu pulang sambil sebelumnya memberi ultimatum kepada ibu agar bisa melunasi hutang paling lambat dua minggu lagi. Segera setelah orang itu pergi, Ina keluar dari kamar dan menghampiri ibu yang masih diam mematung di kursi tamu. Ina memeluk ibunya sambil menangis.

“Tos neng, ibu teu kunanaon (sudah neng, ibu tidak apa-apa).” Ibu memaksa bibirnya untuk tersenyum saat memandang Ina, namun yang terilhat hanya getir di wajahnya.

“Ini mungkin teguran dari Allah karena waktu butuh uang itu ibu mendahulukan meminta bantuan kepada manusia sebelum meminta bantuan kepada Allah. Kalau ibu minta kepada Allah dulu, pasti Allah kasih jalan yang terbaik. Kalaupun harus dengan berhutang, pasti akan Allah bantu melunasinya, kalaupun ternyata tidak bisa tepat waktu membayar hutang, Allah akan lembutkan hati orang yang memberi hutang jadi ga akan sampai kejadian kayak tadi.”

Ibu menarik nafas dalam, tampak susah payah dia menenangkan hati setelah harga dirinya terkoyak seperti tadi. Saat Bapak masih hidup hal ini tidak pernah terjadi.

“Padahal kan sisa hutangnya cuma 100 ribu bu.” Ina tersedu.

“Mau berapapun namanya hutang ya tetep hutang neng, kita ga boleh meremehkan dan ga boleh marah kalo ditagih.”

“Neng kedah kumaha atuh supaya tiasa ngaringankeun beban ibu? (Neng harus bagaimana supaya bisa meringankan beban ibu?).”

Ibu menatap Ina, kali ini seulas senyum berhasil tercipta di wajahnya. 

“Neng belajar sungguh-sungguh, usahakan dapat beasiswa. Saheuntena upami kitu ibu teu kedah mikirkeun biaya sakola eneng (setidaknya dengan begitu ibu tidak harus memikirkan biaya sekolah eneng).”

“Muhun bu, neng janji.” Ucap Ina di sela tangisnya.

Malam harinya, Ina terbangun ketika mendengar suara ibu yang sedang menangis. Ina bangkit dari tempat tidurnya menuju kamar ibu. Agak ragu dibukanya pintu kamar itu sedikit untuk mengintip ke dalam, dilihatnya ibu sedang bersujud di atas sajadah mengenakan mukena lusuhnya. Saat itu pukul tiga dini hari, entah sudah rakaat keberapa sholat tahajud yang ibu dirikan. 

Ibu, dia tidak akan runtuh di hadapan manusia, tapi selalu tersungkur jatuh di hadapan Rabbnya. Dan di sepertiga malam seperti ini adalah waktu yang hampir tak pernah ibu lewatkan untuk bermanja kepada Sang Pemilik jiwanya.  

Beberapa hari berlalu, hingga suatu sore rumah Ina didatangi Bu Sukma, istri kepala desa. Di tangannya ada sekantong plastik besar berisi bahan pakaian.

“Kan dua bulan deui si bungsu bade nikah, iyeu abdi bade ngajait gamis saragam kanggo keluarga, aya 14 pis. Ceu Erna sanggem teu ngajaitna? (kan dua bulan lagi anak bungsu saya mau menikah. Ini saya mau menjahit gamis seragam untuk keluarga, ada 14 pieces. Mba Erna sanggup tidak menjahitnya?)” Ucap bu Sukma sambil memperlihatkan isi kantong plastik yang dibawanya.

“Oh masya Allah teh Dewi bade nikah , ngiring bingah ibu. Insya Allah abdi sanggem (Oh masya Allah teh Dewi mau nikah, saya turut berbahagia bu. Insya Allah saya sanggup).”

“Alhamdulillah atuh, janten sabaraha ongkos jaitna? (Alhamdulillah atuh, jadi berapa ongkos jahitnya?)”

“Hijina teh 50 rebu Ibu, upami 14 berarti 700 rebu nya (Satu nya 50 ribu Ibu, kalau 14 berarti 700 ribu ya).”

“Muhun atuh iyeu ku abdi di depean satengahna heula nya, sesana engke upami tos beres sadayana. (Baik kalau begitu ini saya bayar DP setengahnya dulu ya, nanti sisanya kalau sudah beres semuanya.)”

“Alhamdulillah, haturnuhun Ibu (Alhamdulillah, terima kasih ibu).”

Ina mendengar percakapan itu dari dapur sambil membuat secangkir teh manis untuk bu Sukma. Hatinya bahagia bukan main. Setelah minuman siap dihidangkan, Ina membawanya ke ruang tamu.

“Ari iyeu saha (ini siapa)?”

“Ina Bu.” Sahut Ina sambil menyajikan teh manis di atas meja, lalu meraih tangan bu Sukma dan menciumnya.

“Ina yang dulu juara pidato sekabupaten?”

“Muhun Bu." Ina tersipu. Itu lomba pidato dua tahun lalu, saat Ina duduk di kelas di kelas 1 SMP.

“Euleuh meni pangling, geulis ayeuna mah neng, basa eta mah kan asa gendut (Aduh pangling, cantik sekarang mah, dulu mah kan gendut).” Seloroh bu Sukma disusul tawa Ibu dan Ina.

“Mangga bu, dileueut caina, punten teu aya nanaon iye teh. (Silahkan diminum airnya Bu, maaf tidak ada apa-apa yang bisa disajikan)” Ucap Ibu.

Bu Sukma menyeruput teh buatan Ina. Setelah mengobrol sebentar beliau pamit.

“Ya Allah neng, Allah Maha Baiiik.” Seru ibu sambil memeluk Ina setelah bu Sukma pergi. Air mata bahagia berderai membahasi pipinya. Ina balas memeluk ibu. Mereka mengucap puji-pujian kepada Allah dengan rasa syukur yang tak terhingga.

“Neng kita ke rumah bu Ani yuk, ibu mau bayar sisa hutang yang kemarin.”

“Hayu Bu.”

Pulang dari rumah bu Ani, ibu membeli sembako dan beberapa kebutuhan rumah tangga lainnya. Ibu juga membeli sebungkus es krim dan memberikannya kepada Ina yang menerimanya dengan sangat gembira. Ya, buat Ina saat itu es krim adalah barang mewah yang hanya bisa dibelinya sesekali. 

Setelah kejadian itu, Ina memacu semangat belajarnya menjadi lebih giat lagi. Prestasi demi prestasi mampu dia raih sehingga perjalanan pendidikannya dari SMA hingga lulus kuliah selalu terfasilitasi oleh beasiswa. Dan selama itu, ibunya selalu tampil dalam hidup Ina sebagai sosok pekerja keras pengais rezeki dan penghamba pertolongan Allah dengan segala doanya. 

“Allahu Akbar, Allahu Akbar.” Adzan berkumandang membuyarkan ingatan Ina akan masa lalu. 

“Neng, mas sholat shubuh ke masjid ya, ini pintunya tolong dikunci lagi.” itu suara Arka yang telah menyelesaikan sholat tahajudnya di ruang tengah. Sudah menjadi rutinitas setiap hari, pasangan suami istri itu melaksanakan sholat tahajud di ruangan yang berbeda agar bisa mengoptimalkan kekshuyuan. Arka sholat di ruang tengah, sementara Ina sholat di kamar sambil menjaga Aisyah. 

“Iya Mas.” Jawab Ina seraya bangkit dari tempat tidur dan segera menuju ruang tamu untuk mengunci pintu setelah Arka keluar rumah. Selanjutnya Ina pergi ke kamar mandi untuk berwudhu, lalu sholat shubuh di kamarnya.