Tring! Bunyi pesan masuk ke gawai Ina saat dia sedang membuat kunci jawaban soal-soal try out yang akan dilaksanakan pekan depan. Ina segera membuka pesan tersebut.
[Assalamu’alaikum Mba Ina, sore ini ada jadwal mengajar tidak?] Dari Akbar.
[Wa’alaikumussalam warohmatullah, sore ini tidak ada Mas, saya ada jadwalnya nanti malam. Tapi saat ini saya sedang membuat kunci jawaban try out di ruang guru.] Balas Ina.
[Bisa ke ruangan saya sekarang mba? Ada yang mau saya tanyakan. Sebentar aja kok, mungkin ga akan sampai setengah jam.]
[Siap Mas.]
[Sip thank you, ditunggu ya Mba.]
[Oke]
Ina menutup ponselnya lalu membereskan alat tulis dan lembaran-lembaran soal yang sebelumnya sedang dia dipelajari, kemudian meletakkannya di atas meja bersama tasnya. Setelah itu dia pergi ke ruang manajemen.
“Assalamu’alaikum.” Ucap Ina ketika sampai di pintu depan ruangan Akbar, dari kaca yang transparan terlihat ada Tyas yang sedang duduk di samping Rianti sedang mendiskusikan sesuatu. Tyas adalah staf front office di lembaga bimbingan belajar ini.
“Wa’alaikumussalam warohmatullah wabarokatuh. Masuk Mba.” Suara Akbar dari dalam.
Ketika masuk Ina disambut senyuman Rianti dan Tyas. Ina balas tersenyum.
“Silahkan duduk Mba.” Kata Akbar sambil menunjuk ke kursi di depan mejanya.
Setelah Ina duduk, Akbar bertanya dengan hati-hati,
“Kemarin sore saat saya naik ke atas mau membagikan modul ke beberapa siswa baru. Saya dengar suara Valeria nangis dari kelas Mba, itu benarkah dia nangis? Atau saya salah dengar?. Terus tadi OB bilang katanya tadi pagi dia menemukan cukup banyak tissue yang ada darahnya di tempat sampah dekat kelas D, itu kan kelas Valeria ya. Mba tahu soal ini?”
“Iya Mas, jadi kemarin itu begini kejadiannya...”
Ina menceritakan kronologi kejadian saat proses belajar mengajar bersama Valeria kemarin sore. Ada raut prihatin di wajah Akbar mendengar cerita tersebut.
“Valeria emang suka mimisan Mba, waktu sama mba Fani dulu juga gitu.” Komentar Rianti setelah Ina selesai bercerita.
“Papanya emang otoriter banget kalau denger dari cerita anak-anaknya.” Sambung Akbar.
“Dan galak, tu Mas Akbar kadang kena semprot juga kalau papanya Valeria merasa menemukan hal yang ga sesuai harapannya di bimbel ini.” Lanjut Rianti sambil melirik ke arah Akbar yang tersenyum kecut.
“Makasih ya mba, sudah mampu menangani Valeria dengan baik sejauh ini. Ga semua orang bisa bersikap tenang kan kalau menghadapi anak mimisan, saya termasuk yang suka panik, soalnya saya takut ngeliat darah.” Ucap Akbar kepada Ina.
“Masya Allah, alhamdulillah Mas qodarullah sahabat saya waktu kuliah dulu ada yang sering mimisan jadi saya sudah biasa ngelihatnya dan sudah tahu cara menanganinya dari sahabat saya itu.” Sahut Ina.
“Eh tapi, papanya Valeria itu ganteng lho.” Celetuk Tyas tiba-tiba.
“Mulai deh.” Ucap Akbar, sementara Rianti tertawa mendengar kata-kata Tyas.
“Lho bener, walaupun umurnya udah kepala empat tapi masih keliatan muda dan bening macam Song Jong Ki. Bodynya juga masih oke, kayaknya rajin ngegym tu orang ya." Lanjut Tyas makin seru.
“Wah keren dong, Song Jong Ki kan masih muda, baru kepala tiga.” Timpal Ina. Diantara mereka berempat, hanya Ina yang belum tahu wajah papa Valeria karena belum pernah bertemu dengannya.
“Mba Ina tahu juga Song Jong Ki?” Seru Rianti.
“Ya gimana bisa ga tau Mba, orang tiap hari cuplikan videonya muncul mulu di medsos.” Sahut Ina.
“Oh video yang waktu dia dateng ke Indonesia terus diajak nikah sama Chika Jessica pas ketemu di satu acara, terus Song Jong Ki jawab ‘No thank you’ itu ya!” Rianti terpingkal diikuti oleh Ina dan Tyas.
“Heeeehh ibu-ibuuu, kalau udah ngumpul lancaaaarrr ghibahnya.” Ucap Akbar seraya bangkit dari kursinya menuju dispenser yang terletak di sisi kiri ruangan.
“Eh ini bukan ghibah tau Mas, kan bukan lagi ngomongin kejelekan Song Jong Ki. Malah akutuh ya, pengen berdoa di sepertiga malam supaya dapet suami yang ganteng and beningnya kayak Song Jong Ki. Biar nanti anaknya cantik dan imut kayak Irene Red Velvet, kalau cowok ganteng kayak Jin BTS”
“Haluuuu!!” Seru Akbar sambil menuang serbuk kopi kemasan sachet ke dalam cangkir.
Rianti dan Ina tak berhenti tertawa. Tyas memang terkenal lucu dan suka ceplas ceplos. Di usianya yang hampir menginjak kepala tiga dia belum kunjung bertemu jodohnya. Dan rekan-rekan di bimbingan belajar ini sudah terbiasa mendengar keinginan Tyas yang menggebu untuk segera menikah.
“Namanya juga usaha Mas, walapun dalam bentuk mimpi” ucap Rianti di sela-sela tawanya.
“Iya ih dia mah ga bisa ngeliat orang seneng” Tyas mendelik ke arah Akbar.
“Kenapa ga sama papanya Valeria aja, kan katanya mirip Song Jong Ki.” Ina menggoda Tyas.
“Aduh ngeri eike Mba. Doi galak, sementara diriku kan rapuh, dibentak dikit aja nangis.”
“Ya doain lah di sepertiga malam supaya hatinya lembut.” Timpal Rianti.
“Eh bener juga, apa perlu aku coba ya Mba?” Tyas mengerling ke arah Rianti. Reaksi ini kembali mengundang gelak tawa ketiga rekannya yang lain.
“Sudah balik lagi ke depan sana! Kebanyakan mimpi nanti ngiler lagi di sini.” Seru Akbar.
“Iya iyaaa…aku baliiik. Assalamu’alaikum.” Tyas beranjak keluar ruangan menuju meja front office.
“Wa’alaikumussalaaaamm.” Jawab Akbar, Rianti dan Ina bersamaan dengan tawa yang masih tersisa.
“Oh ya mba Ina, saya kira sudah cukup informasi yang ingin saya dapatkan dari Mba. Kalau Mba masih ada yang mau disampaikan atau ditanyakan, saya persilahkan.” Ucap Akbar yang kini sudah duduk kembali di kursinya.
“Dari saya juga sudah cukup Mas, saya pamit keluar ya.”
“Oh oke kalau begitu, monggo Mba.”
“Assalamu’alaikum.” Ucap Ina seraya berdiri lalu berjalan menuju pintu.
“Wa’alaikumussalam warohmatullah wabarokatuh.” Jawab Akbar dan Rianti.
Saat keluar dari ruang manajemen, Ina merasa perutnya keroncongan. Dia baru ingat kalau siang ini dia belum makan, hanya sepotong roti dan segelas susu saja yang sempat masuk ke dalam perutnya siang tadi. Ina keluar menuju kios penjual nasi goreng yang berjarak sekitar 20 meter di sisi kanan gedung bimbel. Dari luar kios Ina melihat ada cukup banyak pembeli yang sedang antri, wajar saja karena makanan di sini enak-enak dan tempatnya juga sangat bersih.
“Kak Inaaa.” Seru Valencia dari dalam kios.
“Eh ada Valen, lagi beli apa Nak?” Balas Ina
“Beli mie goreng, Kak Ina mau beli apa?”
“Nasi goreng.” Jawab Ina.
Di samping Valencia ada seorang perempuan berusia 40-an yang juga tersenyum kepadanya.
“Bu Tuti, aku mau ke mini market dulu di seberang jalan itu. Bu Tuti tungguin makanannya di sini ya.” Valencia berkata kepada perempuan di sampingnya.
“Iya Kak” Sahut perempuan yang dipanggil bu Tuti itu.
“Kak Ina aku ke minimarket dulu yaaa.” Ucap Valencia sambil berjalan melintasi Ina.
“Okeee...hati-hati nyebrangnya.”
“Siaaapp” Balas Valencia setengah berteriak.
Setelah memesan sebungkus nasi goreng, Ina mengambil tempat duduk satu meja dengan Tuti.
“Kak Ina guru bimbelnya Valen ya?” Tanya Tuti dengan ramah.
“Iya Bu, saya ngajar Valeria juga.”
“Oooh...iya saya pernah dengar Valeria bilang ke papanya kalau guru privatnya ganti bukan kak Fani lagi, sekarang dia diajar kak Ina.”
“Hmmm...begitu ya. Maaf kalau ibu siapanya Valeria?”
“Saya pengasuh Valeria.”
“Oooohh...sudah lama ibu mengasuh Valeria?”
“Dari anak itu umur 4 tahun Mba, sudah mau 6 tahun berarti ya karena dua bulan lagi dia 10 tahun”
“Berarti Valeria dekat dong ya sama ibu.”
“Biasa aja Mba, ga terlalu dekat. Soalnya sejak awal ngasuh Valeria, papanya sudah bikin aturan tidak boleh melakukan hal-hal yang bikin anak itu jadi merasa dekat dengan saya, contohnya saya ga boleh meluk Valeria saat tidur, walaupun dia lagi sakit. Katanya supaya kalau saya suatu hari berhenti kerja dengan beliau, Valeria ga akan merasa kehilangan.”
Ina tertegun mendengar penuturan Tuti.
“Pernah suatu hari waktu saya baru beberapa minggu kerja di sana, dia jatuh dari sepeda, lututnya berdarah, nangis kencang. Saya gendong masuk rumah, saya obatin lukanya. Dan karena dia masih nangis saya gendong lagi. Papanya ngeliat kejadian itu langsung negur saya nyuruh turunin Valeria biar dia duduk di kursi aja.” Lanjut Bu Tuti.
“Beberapa bulan setelah itu Valeria sakit, dia mengigau manggil-manggil mamanya sambil nangis. Waktu itu saya ada di kamar Valeria sedang membereskan pakaian di lemarinya, jadi langsung saya dekati, saya peluk sampai dia tertidur. Ketika papanya tahu, saya dimarahin.”
Hening. Ina larut dalam pikirannya, berusaha menemukan titik kebijaksanaan untuk memahami tindakan papa Valeria, namun naluri keibuannya merasa tetap saja hal itu akan terasa menyakitkan bagi seorang anak.
“Oh ya bu, kemarin Valeria mimisan waktu belajar sama saya, sampai bajunya cukup banyak kena darah dari hidungnya. Itu papanya sudah tahu belum?”
“Sepertinya belum Mba, dari kemarin Valeria belum telfonan sama papanya. Kan beliau sedang di luar negeri sejak seminggu lalu.”
“Papanya sering ga ada di rumah ya Bu?”
“Lumayan sering Mba, setiap bulan selalu ada jadwal kerja ke luar kota atau ke luar negri. Bahkan pernah beberapa bulan ga pulang. Tapi kalau hari raya atau masa liburan sekolah anak-anak biasanya papanya ada di rumah.”
“Lalu keadaan Valeria sekarang bagaimana Bu? Apa dia sakit setelah mimisan kemarin?”
“Engga kok Mba, dia baik-baik aja sampai hari ini, itu dia ada di mobil tadi habis periksa ke dokter gigi makanya saya temani.”
“Sama siapa dia di mobil?”
“Sama supir, tadi saya ajak turun dia ga mau, ngantuk katanya. Cuma nitip minta dibelikan mie goreng aja di sini.”
“Ini Bu, mie goreng tiga, nasi goreng satu ya.” Seorang pelayan menyodorkan bungkusan pesanan ke arah Tuti yang segera membayarnya.
“Mba, saya pamit duluan ya, itu Valencia juga udah keluar dari minimarket langsung ke mobil.” Ucap Tuti kepada Ina seraya tersenyum.
“Oh iya Bu, monggo.” Jawab Ina sambil menggeser kursi untuk memberi jalan kepada Tuti.
Tak lama kemudian, sebuah Toyota Fortuner berwarna hitam melintas, dari jendela mobil yang terbuka tampak ada Valeria yang menoleh ke arah kios, dia melambaikan tangan ketika pandangannya bertemu dengan Ina yang segera membalas lambaiannya sambil tersenyum. Mobil terus melaju, dan jendela kembali ditutup.