Obrolan Yang Bermakna

“Neng, udah lihat belum di grup keluarga besar, mba Andin ngundang kita semua untuk hadir di acara aqiqah anaknya besok.” Ucap Arka saat mereka berdua sedang menikmati makan malam di ruang tengah, sementara Asiyah asyik bermain di dekat mereka.

Andin adalah sepupu Arka, putri Bude Endah dan Pakde Mansur, kakak dari Ibu mertua Ina. 

“Oh iya udah kemarin Mas, tadi neng juga udah beli buah-buahan buat dibawa besok ke rumah mba Andin.” Sahut Ina sambil menjeda sejenak kunyahan di mulutnya.

“Besok kan acaranya jam sepuluh, kita berangkat dari sini jam tujuh. Untuk keberangkatan Mas Arsya nawarin kita ikut mobilnya bareng Ibu.”

“Emang ga penuh nanti mobilnya Mas? Mas Arsya, Mba Fitri, Amel, Cantika, Ibu. Itu aja udah lima orang. Kalau tambah kita bertiga takutnya jadi kepenuhan. Belum lagi pasti kan ibu sama Mba Fitri juga bakal bawa makanan buat Mba Andin.”

Arka terdiam sambil mengunyah makanannya.

“Ya udah nanti neng sama Aisyah aja yang ikut mobil mas Arsya, biar Mas naik motor. Soalnya rumah mba Andin jauh neng, bisa lebih dari dua jam perjalanan dari sini.”

Ina mengangguk.

Setelah makan malam selesai, Ina membereskan perabotan kotor dan membawanya ke dapur untuk dicuci.

“Biar Mas aja yang nyuci, neng siapin barang-barang yang mau kita bawa besok gih.” 

“Terima kasiiiihh...suamiku sayaaanng.” Ina tersenyum sumringah kepada Arka yang meresponnya dengan colekan lembut di pipi Ina.

Ina masuk ke kamar, membuka lemari dan memeriksa pakaian yang akan mereka kenakan besok. 

“Mas kita seragaman ya bajunya besok, pake yang warna biru dongker.” Agak berteriak Ina berkata kepada Arka.

“Terseraaahh.” Sahut Arka dari dapur.

Ina mengeluarkan baju koko milik Arka, gamis miliknya sendiri, dan gamis kecil milik Aisyah dari dalam lemari. Ketiga baju tersebut sebelumnya sudah disetrika dan di simpan dengan cara digantung, jadi tidak kusut meski sudah dua bulan tidak dipakai. Ina mengembalikan baju-baju tersebut ke dalam lemari setelah yakin tidak perlu disetrika ulang.

Kemudian dia memeriksa celana panjang bahan berwarna hitam milik Arka, kerudung biru laut bermotif bunga sakura miliknya, dan kerudung kecil biru laut dengan hiasan pita kuning milik Aisyah, semuanya juga sudah siap dipakai besok.

Selanjutnya Ina menyiapkan kebutuhan Aisyah, ini yang selalu paling banyak itemnya. Beberapa stel pakaian ganti, diapers, mainan, peralatan mandi, hingga biskuit cemilan dan buah-buahan, semuanya masuk ke dalam tas bayi. 

“Neng Mas ke masjid dulu ya, sebentar lagi Isya.” Kata Arka setelah selesai mencuci piring. Dan tampaknya dia juga sudah berwudhu. 

“iya Mas. Kalau sudah selesai langsung pulang ya, gantian jagain Aisyah. Dia suka nangis kalau neng tinggal sholat.”

“Siaaaapp, assalamu’alaikum.” Ucap Arka sambil membuka pintu.

“Wa’alaikumussalam warohmatullah.” Jawab Ina.

*************************************************

Sesuai rencana, pukul 07.00 semua sudah berkumpul di rumah ibu. Dan seperti dugaan Ina, bagian belakang mobil Arsya agak penuh oleh bingkisan untuk Andin. 

“Mas, aku sama Ina naik motor aja deh, paling aku nitip barang aja di mobil Mas ya.” Ucap Arka kepada Arsya. Dia merubah rencananya untuk menitipkan Ina dan Aisyah di mobil kakaknya.

“Eeeeehh...jangan! kasihan Aisyah dibawa naik motor perjalanan jauh nanti keanginan malah sakit. Wes kamu aja yang naik motor sendiri, Ina sama Aisyah naik mobil Arsya. Rapopo wes tumpuk-tumpukan sing penting selamet.” ibu menyela pembicaraan kedua putranya.

“Ya wes gitu aja Ka.” Ujar Arsya

Arka mengangguk.

Arka dan Arsya hanya dua bersaudara. Ayah mereka sudah meninggal 7 tahun lalu. Jadi hanya tinggal ibu yang menempati rumah mendiang ayah. Itu sebab ibu meminta anak-anaknya untuk tinggal tidak jauh darinya. 

Arka dan Ina tinggal di kontrakan yang tidak jauh dari rumah ibu, hanya 15 menit perjalanan menggunakan motor. Sementara Arsya yang sudah punya rumah sendiri tinggal di perumahan yang masih satu kota dengan ibu namun berbeda kecamatan.

“Jalannya barengan ya Ka, jangan jauh-jauh dari Mas, jangan ngebut kamu bawa motornya.” Seru Arsya dari dalam mobil kepada Arka yang sudah menstarter motornya.

Arka merespon dengan mengacungkan jari jempol ke arah kakaknya.

Pukul 09.40 mereka tiba di rumah Andin, tampak tenda sudah terpasang dan kursi tamu serta meja prasmanan lengkap dengan menu makanannya sudah tertata dengan rapi. 

Bude Endah dan Pakde Mansur menyambut kedatangan mereka di pintu rumah, sementara keluarga besar Andin juga sudah berkumpul. Beberapa orang ada yang bertugas menjadi penjaga tamu.

Arsya dan Arka mengeluarkan bingkisan makanan yang mereka bawa untuk Andin.

“Duuuh pake repot-repot. Makasih banyak lho yaaa.” Ucap Andin seraya meminta kepada asisten rumah tangganya untuk membawa bingkisan tersebut ke dalam.

Tak lama kemudian acara dimulai, dan berakhir menjelang zhuhur. Para tamu undangan sudah pulang, tinggal keluarga besar yang masih berkumpul. Tampak beberapa lingkaran obrolan terbentuk. Para lelaki mengobrol sambil duduk di kursi tamu di luar rumah. Anak-anak gadis yang sebaya mengobrol di ruang tamu. Sementara para ibu dari yang sudah sepuh sampai yang baru punya anak satu seperti Ina mengobrol di ruang tengah.

Percakapan mengalir kesana kemari, membahas hal-hal ringan bernada kerinduan, karena memang moment kumpul seluruh keluarga besar seperti ini jarang terjadi. Hingga kemudian bahasan mengerucut kepada tema parenting yang disampaikan oleh Bude Endah. 

Bude Endah adalah seorang dosen bergelar doktor yang mengajar di program studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak di salah satu perguruan tinggi ternama di daerah Jawa Barat. Beliau juga sering diundang sebagai pembicara di acara-acara bertema keluarga.

Tiba-tiba Ina teringat akan Valeria, lalu mengonsultasikan kasus anak didiknya tersebut kepada sang bude.

“Harus dapet terapi konseling itu, baik anaknya maupun bapaknya.” Komentar bude setelah mendengar cerita Ina. Saat itu yang masih ada di ruang tengah hanya tinggal bude Endah, Ina, Fitri, Andin, dan dua kakak Andin, yaitu Amel dan Lita.

“Tentang gambar sadis yang dia bikin itu, bisa jadi itu ekspresi alam bawah sadarnya yang sangat membenci kedua orang tuanya.” Lanjut Bude lagi.

“Tapi keliatannya dia sayang banget sama ayahnya Bude, sampe ga mau ngecewain ayahnya gitu.” 

“Tapi kan dia tersiksa dengan keadaan itu, sampe nangis dan mimisan. Ditambah lagi dengan sikap ayahnya yang memisahkan dia dengan ibunya, sementara kata pengasuhnya dia pernah nangis manggil-manggil ibunya waktu sakit. Jadi sebenarnya dia rindu sama ibunya, tapi juga benci karena merasa sudah ditinggalkan. Dia ga berani bilang ke ayahnya takut ayahnya marah, karena dia tahu ayahnya benci ibunya. Antara benci dan rindu kepada ibunya, benci dan sayang sama ayahnya, dia terjebak dalam kondisi itu. Dan sebagai anak kecil dia tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan jiwanya.”

Hening. Lima orang ibu muda yang ada di ruangan itu fokus mendengarkan penjelasan bude Endah.

“Harusnya dibawa ke psikolog, supaya lebih jelas diagnosanya.” Lanjut bude.

“Manusia kan suka gitu ya, apa yang tampak di luar belum tentu sama dengan apa yang dirasakan di dalam. Ada orang yang terlihat bahagia di luar, padahal alam bawah sadarnya begitu tersiksa oleh segala luka batinnya.” Amel menimpali perkataan ibunya. Semua yang mendengarnya menganggu-anggukan kepala.

“Makanya ilmu mendidik anak itu penting sekali. Hanya sayangnya di masyarakat kita baru sebagian orang yang menyadari akan hal ini. Terutama para ayah, masih banyak yang berpikir bahwa mendidik anak itu tanggung jawab ibu, terlihat kalau ada seminar-seminar parenting kebanyakan yang hadir ibu-ibu, ayahnya dikiiit banget bahkan seringnya ga ada sama sekali.” Ucap bude Endah seraya terkekeh.

“Eh iya lho bu, aku jadi inget temenku dari jurusan kimia ada yang bilang kalau dia ditegur sama dosennya saat beliau tahu temenku itu ngambil mata kuliah minor di jurusan ibu. Kata dosennya ngapain ngambil mata kuliah Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak, hal-hal tentang mendidik anak mah ga usah dipelajari, nanti juga bakal muncul sendiri secara naluriah dalam diri kita kalau sudah berkeluarga.” Andin berkata sambil tertawa.

“Siapa tuh nama dosennya?” Tanya Lita ikut tertawa, dulu dia kuliah di jurusan Kimia. 

Anak-anak bude Endah memang semuanya kuliah di kampus ibunya mengajar, hanya masing-masing mengambil jurusan yang berbeda.

“Mbuh ga ngerti, ga nanya juga.” Jawab Andin.

“Mungkin memang betul naluri mengasuh dalam diri orang tua itu akan muncul dengan sendirinya ketika mereka sudah punya anak, tapi tentang salah benarnya proses pengasuhan itu berjalan kan tetap harus dipelajari. Gitu ga sih Bude?” Tanya Ina yang di jawab dengan anggukan oleh bude Endah.

"Adanya ilmu parenting itu bukan untuk membuat semua pengasuhan orang tua sama persis, karena kan pengasuhan itu sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kultur keluarga, kebiasaan bawaan turun temurun, dan lain-lain. Tapi ilmu parenting memberikan pengetahuan mengenai hal-hal dasar yang berkaitan dengan salah benar. Misal, tidak boleh membandingkan anak dengan anak lain atau saudaranya sendiri. Tidak boleh melukai hati anak dengan caci maki. Tapi kalau tentang bagaimana cara khas orang tua mengasuh ya kembali kepada kepribadian mereka masing-masing, dan itu sah-sah saja selama tidak menggangu kesehatan mental anak." Sahut Bude.

"Jadi ketika orang medan manggil anaknya dengan cara berteriak bukan berarti dia lebih buruk dari orang jawa yang intonasinya lembut, karena orang medan kan memang kalau ngomong suaranya keras, dan hal itu bukan indikasi kasar kalau di  masyarakat kami. Begitu bukan Bude?" Fitri yang dari tadi diam mendengarkan angkat bicara.

"Betul" Sahut Bude Endah sambil menyomot sepotong lapis legit di piring yang tersaji di hadapannya.

“Fitri minta pemakluman nih?” Lita mengerling kepada sepupunya yang berdarah Batak itu.

“Iya Mba, akutuh soalnya suka ngerasa gimana gitu kalau denger kalian bicara sama anak-anak suka pada pelan sementara aku bisa lebih tinggi beberapa oktaf nadanya.” Jawab Fitri sambil tertawa. 

“Ga papa kok mba, kita udah maklum.” Timpal Ina ikut tertawa. 

“Ngomong-ngomong udah setengah satu ini, ayo pada makan dulu.” Seru Andin.

“Oh iya hayuuu...belum pada sholat juga.” Sahut bude Endah sambil berdiri diikuti oleh anak-anak dan keponakannya. 

Obrolan singkat yang bermakna, tentang bagaimana cara menjadi orang tua.