Sebagaimana informasi yang disampaikan oleh Akbar kemarin, hari ini adalah jadwal Ina mengajar Valeria. Pukul 16.15 dia sampai ke tempat bimbingan belajar. Setelah melakukan absen melalui mesin finger print dan mengambil daftar hadir siswa, Ina langsung menuju ke kelas Valeria di lantai dua. Ketika pintu dibuka, terlihat anak itu sudah duduk di kursi favoritnya yang terletak di sudut ruangan.
“Assalamu’alaikum, halo Valeria.” Ina menyapa dengan ceria.
Masih seperti pada pertemuan awal, Valeria hanya memandang sekilas ke arah Ina lalu menunduk kembali, kali ini bukan untuk corat coret kertas tapi memainkan kuku jarinya sendiri. Dalam benaknya Ina berpikir, untuk seseorang yang telah dipilih, bukankah tidak sesuai ekspektasi jika anak itu masih dingin begini kepadanya? tapi ya beginilah Valeria, dia harus bisa menerima.
“Valeria gimana kabarnya?”
Tidak ada jawaban.
“Sudah makan siang kan nak?”
Valeria menggangguk.
“Eh, tumblernya lucu banget.” Seru Ina sambil melihat ke arah tempat minum berwarna merah transparan dengan tutup berbentuk kepala Mini Mouse yang diletakkan di kursi sebelah Valeria.
“Dibeliin papa waktu ke Disneyland.” Respon Valeria masih dengan nada cuek.
“Oya? waah…Disneyland yang dimana?”
“Tokyo.”
“Ini bajunya juga.” lanjut anak itu sambil menunjukkan sweater hoodie yang sedang dipakainya. Sweater itu berwarna putih bertuliskan Tokyo Disney Resort di bagian dada dengan gambar beberapa kepala karakter Disney di sekelilingnya.
“Sama siapa aja Val jalan-jalan kesana?”
“Papa, kak Varel, sama kak Valen”
“Oh berempat ya. Wah asyik ya jalan-jalan bareng keluarga. Kapan itu Nak?”
“Akhir bulan Juli lalu.”
“Oh waktu liburan sekolah ya.”
Valeria mengangguk.
“Kakak udah pernah ke Disneyland?”
“Belum Naaak, kak Ina belum pernah sekalipun ke luar negri, doain aja biar ada dananya yah.” Jawab Ina sambil tertawa.
Valeria mengangguk sambil tersenyum tipis.
Merasa sikap siswinya sudah agak mencair, Ina memulai pelajaran. Kali ini Matematika. Namun tidak seperti saat pertemuan lalu dimana Valeria terlihat antusias, kali ini dia begitu lesu, meski pandangannya tetap memperhatikan Ina. Hingga setelah sekitar setengah jam berlalu, anak itu tiba-tiba merebahkan kepalanya di atas meja yang bersambung dengan kursi duduknya.
Melihat hal ini Ina menghentikan pelajaran lalu mendekati Valeria.
“Val, kenapa Nak?”
“Aku cape Kak.” Dia terisak.
“Ya udah kita istirahat dulu ya.”
“Aku cape Kak.” Masih kalimat yang sama, namun isakannya kini berubah menjadi tangisan pelan.
“Karena banyak kegiatan ya?” Ina mengusap punggung Valeria. Dia ingat Valencia juga kemarin mengeluh soal ini.
Valeria mengangguk.
“Aku kan pulang sekolah jam setengah tiga, pulang sebentar ke rumah cuma ganti baju trus langsung les tiap hari. Les musik, les balet, les renang, les bahasa inggris, sama bimbel di sini.”
“Val ga coba bicara ke papa soal kelelahan ini? Coba minta ke papa supaya kegiatannya dikurangin.”
“Aku takut papa kecewa. Aku ga mau ngecewain papa.” Tangisnya pecah, seperti ada beban yang begitu berat didadanya.
Hati Ina teriris mendengar jawaban Valeria. Sungguh ironi pernyataan itu. Demi membahagiakan ayah yang disayangi, seorang anak harus menjalani hari-harinya dengan kelelahan yang terus dipaksakan.
Lalu tiba-tiba ada cairan berwarna merah yang mengalir di bawah wajah Valeria, itu darah!
Anak itu mengangkat wajah, ternyata darah itu keluar dari hidungnya, menetes terus ke meja dan bajunya. Bercampur air mata yang belum berhenti mengalir. Dia mimisan!
Tampak ekpresi panik di wajah Valeria ketika memandang Ina yang juga terkejut melihat keadaan itu. Tapi kemudian dengan cepat Ina mengambil tissue dari dalam tasnya, mengeluarkan beberapa lembar dan memberikannya kepada Valeria.
“Tenang ya nak, tutup hidungnya pakai tissue, posisi kepalanya agak nunduk.”
Valeria mengikuti arahan Ina. Kemudian Ina memijit pelan bagian hidung lunak Valeria berulangkali. Hingga kira-kira 15 menit kemudian, darah dari hidung Valeria berhenti mengalir. Anak itu juga sudah tenang, tidak panik dan menangis lagi.
“Sudah ga keluar lagi ya darahnya?” tanya Ina.
Valeria mengangguk pelan, kemudian menyandarkan kepalanya ke dinding. Sudut-sudut matanya masih basah oleh air mata. Ada bercak darah yang cukup banyak di sweater putihnya.
Ina memandangi Valeria dengan tatapan sayang. Ya, dia mulai menyanyangi anak ini melebihi rasa sayang seorang guru kepada murid pada umumnya. Dan seperti merasakan bahasa cinta dari mata Ina, Valeria balas menatap gurunya itu lalu berkata,
“Makasih ya Kak”
Ina tersenyum sambil menggenggam jemari Valeria dengan satu tangan dan mengelus lengan anak itu dengan tangannya yang lain.
“Kak, nanti jangan bilang ke papa ya kalo hari ini kita ga belajar, aku takut papa marah.”
“Sudah Valeria jangan mikir apa-apa, sekarang relax aja."
“Eh, mau pake minyak kayu putih ga? Suka ga baunya?” Tanya Ina yang tiba-tiba teringat minyak kayu putih di dalam tasnya.
“Suka banget.” Jawab Valeria.
“Kak Ina juga suka banget. Apalagi Kak Ina kan punya baby di rumah, jadi tiap hari harus sedia minyak kayu putih.”
Ina menuangkan beberapa tetes minyak kayu putih ke telapak tangan Valeria.
“Anak Kak Ina umur berapa?”
Valeria menggosokkan kedua telapak tangannya lalu mendekatkan ke hidung dan menghirupnya dalam-dalam.
“7 bulan”
“Kalau kakak ngajar, anaknya sama siapa?”
“Sama neneknya. Kebetulan rumah mertua Kak Ina dekat dari tempat tinggal kak Ina. Itu pun hanya sebentar. Paling lama hanya setengah jam, karena setelah itu suami kak Ina pulang kerja langsung ambil dedek dari rumah neneknya.”
“Nama anak kak Ina siapa?”
“Aisyah Humaira.”
“Oh perempuan ya?”
Ina mengangguk.
“Aku kira Kak Ina belum nikah, soalnya kelihatan masih muda banget.”
“Ya emang masih muda sih, umur Kak Ina baru 26 tahun” Ina tertawa.
“O gitu, pantesan.” Valeria tersenyum
“Ngomong-ngomong, emang papa kalo marah serem ya?” Tiba-tiba saja Ina jadi penasaran akan hal ini.
“Papa kalo marah ga ngomel, tapi kita didiemin. Kalaupun ngomong nyelekit banget. Aku ga suka didiemin papa, karena cuma papa satu-satunya orang yang sayang sama aku.”
“Masa sih? Itu perasaan Valeria aja.”
“Ya ga tau, tapi aku merasa begitu. Mama aja ga sayang sama aku makanya ninggalin aku. Kak Valen sama kak Varel juga jarang ngobrol sama aku.”
Ya Allah, rasanya seperti ada belati yang menyayat hati saat Ina mendengar kata-kata Valeria. Perih.
“Kak Ina sayang sama Valeria.” Ina mengelus rambut anak itu.
Valeria menatap Ina lekat-lekat, ada binar bahagia yang diliputi keraguan di bola matanya. Beberapa detik mereka saling bertatapan, lalu senyum keduanya mengembang. Kehangatan menjalari hati Ina, dan sepertinya begitu pula di hati Valeria.
Ina menarik anak itu ke dalam pelukannya, sambil mengusap lembut kepala gadis cilik itu, Ia berbicara perlahan,
“Kak Ina yakin banyak kok orang yang sayang sama Valeria, cuma Val aja yang ga sadar”
Layaknya seorang bocah yang sedang menuntaskan dahaganya akan kasih sayang seorang ibu, Valeria merebahkan kepalanya di bahu Ina. Tak ada kata apapun yang keluar dari mulutnya. Diam tak bergerak, seolah takut akan kehilangan moment hangat itu jika dia bergerak sedikit saja.
Tiba-tiba bel berbunyi tanda waktu belajar telah usai. Ina melepaskan pelukannya lalu berseru riang,
“Eh, waktunya sudah habis, ayo kita pulang.”
Valeria mengangguk sambil tersenyum, lalu membereskan peralatan belajarnya. Termasuk tissue-tissue yang penuh darah bekas dipakai untuk menyeka hidungnya saat mimisan tadi, dimasukkannya ke dalam tempat sampah yang terletak di luar samping pintu kelas.
Setelah semua selesai, Ina menutup pelajaran dengan salam yang kali ini dijawab dengan takzim oleh Valeria. Demikian pula ketika bersalaman, anak itu tak hanya menjabat tangan Ina tapi juga menciumnya seperti yang lazimnya dilakukan oleh para siswa kepada gurunya.