1. Minta Pindah
TATAPAN LIAR IPAR (1)

- Pov Dimas -

"Mas, pindah yuk dari sini. Nggak papa deh ngontrak di rumah petak, asal kita bisa sama-sama." 

"Ck! Pindah! Pindah! Kalau bicara itu dipikir dulu! Belum juga setahun di sini."

"Tapi, Mas--"

"Apa? Kan sudah kesepakatan awal kalau kamu bakal tinggal di sini. Mau kamu jadi istri durhaka? Atau, jangan-jangan kamu nggak suka sama Mama kayak kebanyakan menantu?"

"Bukan seperti itu--"

"Terus apa?"

"Aku--"

"Udah deh, pagi-pagi jangan mendebat. Cepet sana ke dapur bantu Mama! Aku mau siap-siap kerja!"

"Tapi, Mas, dengerin dulu--"

"Udahlah Sar, pokoknya apapun alasan kamu kita nggak akan pindah dari sini! Titik!" 

Aku membentak kasar. Masih pagi Sarah sudah mengundang emosi. 

"Udah sana!" 

Kudorong pundaknya agar pergi. Mama pasti sibuk di dapur. Huh! Sebal! Apa gunanya menantu kalau nggak mau bantu-bantu. 

Sarah mengusap sudut matanya. Aku tak tahu kalau dia menangis. Cengeng sekali. Tanpa bicara apa-apa lagi Sarah bangkit meninggalkan kamar. 

Aku dan Sarah menikah karena dijodohkan. Dia gadis pilihan Almarhum Ayah. Usianya dua puluh empat tahun. Waktu itu Ayah masih hidup, dalam keadaan kritis ia memintaku menikah. 

Apes!

Kalau saja usiaku bukan kepala tiga. Sudah pasti aku bisa menolaknya. Sayangnya, umurku menambah rumit keadaan. Ditambah nggak mungkin juga Sarah menikah dengan Angga, adikku yang terpaut usia tiga tahun denganku. Mau ditaruh mana harga diriku kalau dilangkahi adik sendiri. 

Ogah!

Aku gengsi!

*** 

Di meja makan sudah tersedia sarapan. Ada Sarah dan Mama di sana. Mereka tampak akur. Heran sih sebenarnya. Apa yang membuat Sarah nggak betah? Setahuku Mama sangat sayang pada gadis pilihan almarhum Ayah itu. 

"Jangan banyak-banyak nasinya," ujarku saat Sarah menuang nasi ke atas piring. 

"Iya, Mas. Lauknya mau sama apa?"

"Apa aja deh. Cepet, udah kesiangan ini!"

"I-iya, Mas." 

"Yang lembut dong, Dimas kalau ngobrol sama Istri itu." 

Mama menyela perbincangan. Aku tersenyum tipis. 

"Ish! Apaan sih, Mah. Segitu juga udah lembut kok," sahutku.

Sarah meletakkan piring berisi nasi untuk sarapan di depanku.

"Kalian itu pengantin baru. Masih hangat-hangatnya. Bicara kok nggak romantis sama sekali. Pelankan suara kamu, Dimas." Mama menasehati lagi. 

"Iya, deh, iya. Makasih ya, Sayang."

Aku melunak. Kutatap wajah Sarah sambil memaksa senyum. 

"Sama-sama, Mas."

Sejujurnya hingga detik ini pun aku masih belum bisa benar-benar mencintainya. Meski beberapa kali kami memadu kasih, tetap saja hatiku belum sepenuhnya menerima Sarah. 

"Angga nggak sarapan?" tanyaku di tengah suapan. 

"Dia masih di kamarnya. Kayaknya belum bangun." Mama menjawab. 

"Memang semalam dia lembur?"

"Iya, katanya toko onlinenya lagi ramai, jadi banyak kirim-kirim barang sampai malam."

"Oh begitu. Syukur deh kalau ramai. Nggak sia-sia dia milih wiraswasta sendiri. Tolong panggilin Angga di kamarnya, Sar. Biar mau sarapan bareng." 

"Pang-gilin?"

"Iya biar sarapan bareng. Kapan lagi bisa ketemu Angga kalau nggak sekarang. Dia pasti pulang malem lagi."

Sarah menatapku takut-takut. Kenapa dengan istriku itu. Aneh sekali. 

"Ish, cepetan, Sayang!" 

"I-iya, Mas."

Sarah bangkit dari duduk. Ia berjalan meninggalkan ruang makan. Kamar Angga berada di lantai atas. 

*** 

"Pagi ini Mama mau arisan ke rumah Bu Darsih."

"Uangnya masih ada?"

"Masih."

"Nanti perginya mau sama siapa? Angga?"

"Enggak, Mama ikut rombongan, Bu Vera bawa mobil sendiri."

"Oh, begitu. Hati-hati, Ma." 

"Iya." 

Mama tersenyum. Sejak kepergian almarhum Ayah, beliau lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Aku tak pernah melarang. Asal Mamaku senang dan uang untuk keperluannya bisa kuberikan. Itu bukan masalah bagiku. 

Mama berbeda sekali dengan Sarah. Istriku itu lebih sering diam di rumah. Tak suka bepergian. Ya, mungkin karena ia dibesarkan di kampung, Sarah kurang suka dengan keramaian. Lebih menguntungkan juga bagiku. Karena Sarah tak akan pernah tahu bagaimana kehidupanku di luar sana. 

"Kenapa Sarah lama sekali, ya? Apa susah ngebanguni Angga?" tanya Mama. 

"Entahlah."

"Coba susul, Dim. Nggak enak juga ke Sarah khawatir dia canggung sama Angga."

"Hahahaha, apaan sih, Ma. Jangan mikir aneh-aneh deh. Sarah itu istri aku. Dia harus bisa memposisikan sebagai istri, menantu juga kakak ipar. Dia mau nikah sama aku, berarti mau juga nerima keluargaku."

"Ya, ya, terserah kamu sajalah." 

Mama menggeleng-gelengkan kepala sambil melanjutkan sarapan. 

Tak lama berselang, kulihat Sarah datang. Tentu bersama Angga di belakangnya. Istriku mendekat. Ia duduk di dekatku. Entah perasaanku saja atau tidak, tapi kulihat ada yang berbeda dengan bibir Sarah yang memerah di sudut kiri. Seperti pecah habis tergigit. Atau ... dia sedang sariawan?

Bersambung ....

Hallo semuanya, jumpa lagi dengan karya terbaru saya. Semoga suka ya. Jangan lupa tinggalkan jejak like dan komentar. Jangan lupa tekan tombol berlangganan agar dapat notif setiap saya up bab terbaru. Terima kasih. 

Komentar

Login untuk melihat komentar!