TATAPAN LIAR IPAR (3)
Pov Sarah
*
Kulakukan pekerjaan di lantai atas dengan cepat. Ada kamar mama dan kamar Mas Dimas yang harus dibersihkan. Semetara kamar Angga aku tak membereskannya hari ini. Karena dia sedang libur. Aku pun canggung jika merapikan kamar adik iparku itu.
Sebenarnya aku ingin protes pada Mas Dimas, bagian kamar Angga seharusnya bukan tugasku. Tapi suamiku itu masih saja tak mengerti. Setiap kusampaikan keluhan, ia justru marah. Katanya aku bukan saudara ipar yang baik.
"Uhuk! Uhuk!"
Aku terbatuk setelah membuka jendela di kamar mama. Kubersihkan dengan kemoceng. Mengebas debu yang beterbangan.
Kamar Mama cukup berdebu. Entah apa penyebabnya. Padahal barang-barangnya tidak banyak.
'Tok! Tok!'
Aku terlonjak. Ketukan di pintu kamar Mama mengagetkanku.
"Angga?"
Iparku itu berdiri dengan bahu kiri bersandar pada bingkai pintu. Sementara kedua tangannya dilipat di perut.
Ya Allah, sejak kapan ia berdiri di sana?
"Sibuk banget, ya?" tanyanya.
"Em, i-iya."
"Boleh aku bantu?"
"Jangan, eng-nggak usah, deh. Udah beres kok."
Aku terpaksa berdusta. Perasaanku tak enak. Membereskan kamar Mama nanti sajalah. Gegas kubawa sapu dan kemoceng dalam genggaman. Memilih pergi meninggalkan kamar Mama saja.
Brakkk!
Saat di ambang pintu. Tiba-tiba Angga menutup pintu kamar Mama. Ia menghadang langkah. Geraknya lincah sekali. Membalik tubuhku hingga posisi berada tepat di belakang pintu. Sementara sapu dan kemoceng yang kubawa, terjatuh karena disentak Angga.
"Ngga! Jangan kurang ajar!" bentakku.
Angga menyunggingkan senyum. Aku bergidik ngeri. Takut ia berbuat nekat.
"Kau bilang aku kurang ajar? Siapa yang kurang ajar sebenarnya?" tanyanya dengan tatapan yang tajam.
Angga memajukan wajah. Tangan kanan dan kirinya bertumpu pada daun pintu. Membuatku semakin terhimpit. Ia mengunciku.
"Jaga sikapmu, Angga! Hargai aku sebagai kak--"
"Stop! Tak perlu menjelaskan sesuatu yang sudah jelas."
"Kalau begitu jangan begini. Ini tidak sopan."
"Memang apa yang kulakukan? Hah? Menodaimu? Melecehkanmu? Katakan, Sarah!"
Angga setengah berteriak. Ia masih dengan posisi yang sama. Kedua matanya menatap tajam. Bisa kulihat kilat kemarahan di sana.
"Angga, please … jangan begini," lirihku mengiba. Kucoba merendahkan kaki. Berniat kabur, tapi Angga menahan dua lenganku.
"Jangan pergi! Aku tak akan menyakitimu!" bentaknya yang justru membuatku semakin takut.
"Ke mana janjimu untuk menungguku? Ke mana Sarah yang setia akan menikah denganku? Kenapa keadaannya jadi begini, Sarah? Hah?! Katakan?" tanyanya beruntun.
Kedua mata Angga berair. Ada luka yang terlihat jelas di bening matanya. Jika tadi ekspresinya marah, kali ini justru Angga tampak terluka.
Melihatnya begitu, hatiku seketika berdenyut sakit!
Memori yang sempat kupendam, kini kembali muncul dan berputar lagi dalam ingatan. Tentang aku, Angga dan cita-cita kami berdua.
"Berapa banyak Dimas menyentuhmu? Berapa kali kalian memadu kasih? Katakan!"
Angga membentak lagi. Jantungku berdebar tak beraturan. Sakit. Apalagi saat ia menanyakan hal-hal yang berhubungan dengan Mas Dimas, suamiku.
Ah, bahkan jika bisa memilih. Aku pun tak ingin menikah dengannya. Tapi, apa boleh dikata, semua sudah terjadi dan aku tak bisa melawannya.
"Aku masih mencintaimu, Sarah. Masih sangat mencintaimu seperti dulu."
Suara Angga terdengar serak. Ia menangis. Jantungku bagai diremas dari dalam. Andai ia tahu, rasa untuknya pun masih tersimpan rapat di sudut hati.
"Aku minta maaf untuk semuanya. Untuk cita-cita kita yang harus kandas di tengah jalan. Angga, please. Terima takdir yang ada. Jangan memaksakan diri. Kita tidak mungkin bersama."
Kuberanikan diri untuk menatap kedua mata Angga secara intens. Kenapa justru jantungku semakin sakit! Sorot mata Angga menyiratkan rindu. Aku tak sanggup melihatnya lebih dalam.
Ada banyak kenangan yang tak bisa kulupakan.
"Please, semuanya sudah berbeda. Jangan seperti ini."
Aku bicara lagi. Sekuat hati berpikir waras. Aku takut khilaf.
"Berubah? Apanya yang berubah? Kau pikir aku tak tahu, hah? Kau masih mencintaiku, bukan? Aku bisa melihat itu di matamu, Sarah."
"Jangan sembarangan. Omong kosong apa yang kamu ucapkan."
"Jangan membohongiku."
"Aku tak berdusta!"
Angga menyunggingkan senyum di samping kiri. Kuhela nafas dalam lalu mengembuskannya dengan cepat.
"Dengar ini, aku hanya mencintai Mas Dimas, suamiku! Tidak ada yang lain dalam hati ini. Kecuali dia, Mas Dimas, pria yang menghalalkanku dengan ikatan suci pernikahan."
Kucoba mengurai kedua tangan Angga yang menghimpitku di pintu. Ia terlihat tercengang. Sepertinya terkejut mendengar ucapanku.
'Maaf jika membuat luka, aku pun sakit merasakan hal yang sama.'
Bersambung ...
Login untuk melihat komentar!