4. Memendam Rasa

TATAPAN LIAR IPAR (4)


Perempuan muda berambut panjang sepunggung. Menggunakan setelan celana hitam bahan kain, dan juga blouse biru muda yang membalut tubuh. 


"Selamat pagi, Dimas," sapanya ramah dengan senyum yang merekah di bibir berpoles lipstik warna merah.


"Selamat pagi juga Ris," jawab Dimas seraya tersenyum. 


"Hari ini kita ada jadwal rapat ya."


"Rapat?"


"Iya. Agenda tahunan. Jangan bilang kalau lupa, deh."


Dimas mengingat-ingat. Mereka berdua berjalan memasuki lobi perusahaan. Dimas dan Rissa adalah rekan kerja. Mereka satu divisi di kantor. 


"Ah, iya. Agenda tahunan yang itu, ya. Enggak lupa kok!" seru Dimas setelah berhasil mengingat. 


"Syukurlah kalau ingat."


"Iyalah. Pasti ingat. Masa buat have fun lupa? Hahahaha."


Rissa dan Dimas tertawa bersama. Mereka sudah tiba di dalam ruang kerja. Di mata orang-orang, Rissa dan Dimas tampak sangat dekat, padahal Rissa karyawan baru. Ia mutasi dari perusahaan  lain yang masih satu anak cabang dengan perusahaan tempat Dimas bekerja. 


*


[Mas, hari ini mau dimasakin apa? Mama lagi pergi, jadi aku yang masak.]


Dimas membaca pesan dari Sarah. Ia berdecak kesal. "Lebay! Masak apa aja toh nanti akan kumakan juga!" gumamnya ketus. 


Diabaikannya pesan itu, lalu memasukkan kembali ke dalam saku kemeja. Perhatian-perhatian yang Sarah berikan, sama sekali tak menyentuh hati Dimas. 


Lelaki itu kembali fokus dengan pekerjaannya. Sampai terasa getar ponsel di sakunya. 


Drrrrtt! Drrrtttt!


Dilihatnya sekilas layar yang menyala. Seketika senyum terbit. Awalnya Dimas pikir itu pesan dari Sarah, ternyata bukan. Itu adalah pesan masuk dari Rissa. 


[Lagi sibuk, nggak?] tanya Rissa.


[Enggak, emang kenapa?]


[Nggak papa, nanya aja. Hari ini suntuk banget. Beni bilang rapatnya habis istirahat. Entar bareng, ya?]


[Oke. Sekalian makan siang bareng, yuk.]


[Asik, mau nraktir nih?]


[Iya. Apa sih yang enggak buat kamu.]


[Eciyeeee jangan gitu entar aku terlope lope.]


[Hahaha, bisa aja.]


[Aku serius, Dimas.]


Dimas dan Rissa saling berbalas pesan. Keduanya larut di balik layar ponsel. Rissa tak tahu status Dimas yang sudah beristri. Dimas sendiri sengaja merahasiakan dari teman-teman kantor.


Pernikahan yang digelar bersama Sarah waktu itu memang dadakan dan rahasia, karena permintaan almarhum sang ayah yang saat itu sedang kritis. 


Sarah sendiri tak banyak menuntut. Karena pernikahan yang ia jalani, hanya sebagai ganti balas budi. Pelaksanaan resepsi mewah tak pernah terbesit dalam benak. Sebab Sarah sadar diri. Ia hanyalah seorang pengantin pengganti.


Padahal Sarah pun sudah menentukan calon sendiri yaitu Angga.  Harapan dan cita-cita mereka terpaksa kandas di tengah jalan. Sarah yang malang. Ia sendiri tak tahu bahwa Angga adalah adik Dimas, lelaki yang kini menjadi suaminya. 


*


Di dalam kamar, Sarah menangis sesenggukkan seorang diri. Merasai hati yang rapuh dan sakit. Sesak mengimpit dada. Seolah ada batu besar yang menekannya. 


Wajah Sarah sembab oleh air mata. Tangisnya pilu, meratapi takdir hidup yang terpaksa harus ia jalani. Menikahi lelaki yang tak dicintainya saja membuat ia terluka, ditambah kehadiran Angga sebagai adik ipar, membuat Sarah semakin menderita. 


Ini masalah hati. Pergolakan yang tak bisa diterima dengan mudah. Remuk redam sudah hati Sarah. Merasai pahit yang hanya ia telan seorang diri. 


Tak lama berselang, ponsel Sarah memekik nyaring. Cepat-cepat ia mengusap air mata di wajah, meninggalkan bekas kemerahan karena kulitnya yang putih bersih. 


"Hallo, Mas?" ucap Sarah menjawab panggilan telepon. Barusan Dimas menghubungi. 


"Hallo, Mas. Hallo." Sarah kembali memanggil. Namun lagi-lagi tak ada jawaban. "Sepertinya nggak sengaja kepencet," gumam Sarah lalu menekan tombol gagang telepon berwarna merah. Mengakhiri panggilan sepihak. 


Dilihatnya jam di layar. Sudah hampir tengah hari. Sarah mengatur napas. Ia bergegas menuju dapur. Setengah was-was masih menggelayuti hatinya. Karena hanya ada dia dan Angga saja di rumah. 


Setibanya di dapur. Sarah membuka isi kulkas. Mengamati rak berisi aneka sayur. Dilihatnya sebentar ponsel di saku baju. Berharap pesan yang dikirim pada Dimas sudah mendapat balasan. 


Sarah merasa sedih. Pesan yang dikirim sudah berubah centangnya menjadi biru, tapi masih tak ada balasan. Jika saja ia berani untuk menelpon langsung. Pasti sudah dilakukan sejak dulu. Namun Dimas sudah memberinya larangan. Tidak boleh menelepon saat ia sedang bekerja karena khawatir mengganggu konsentrasi. 


Sebenarnya itu hanya alibi saja. Sebab Dimas tak ingin pernikahan rahasianya terbongkar di kantor. Ia belum siap untuk itu. 


Sarah menjatuhkan pilihan pada wortel dan kentang. Hari ini ia berniat untuk memasak sambal goreng hati sapi, kentang dan wortel. Ia sibuk mengupas kulit umbi-umbian itu. Tak ada beban. Sarah menjalaninya dengan hati bahagia. 


Sejak kecil Sarah terbiasa mandiri. Tak susah baginya jika berurusan dengan segala macam yang ada di dapur. 


"Sarah."


Degh!


Sarah menghentikan gerakannya mengupas kentang. Ia menoleh cepat. Lagi-lagi Angga datang menghampiri. 


"Kamu mau apa lagi?"


"Jangan galak. Aku nggak ganggu." 


Angga mendekat. Di tangannya ada segelas air dan sebotol obat tetes. 


"Bibirmu pecah, pasti sakit sekali bukan? Ini ada obat biar lukanya cepat sembuh. Khawatir jadi infeksi. Ikuti petunjuk pemakaian. Bisa diteteskan ke air untuk berkumur, atau juga dioleskan saja sedikit-sedikit." 


Angga meletakkan gelas berikut obat tetes di meja dapur. Ia sama sekali tak menatap Sarah. Tanpa berkata apa-apa lagi, Angga berlalu pergi. 


Sementara Sarah, ia masih terpaku.


*


Ragu-ragu Angga berusaha ingin mendekat lagi. Menyelami hati gadis masa lalunya itu, meski pembatas begitu jelas. Angga belum bisa berpikir waras.


Di dekat ambang pintu dapur. Kedua mata Angga tak berkedip. Langkahnya ragu. Mengamati Sarah yang mematung menatap gelas berisi air dengan dua mata yang sudah basah.


'Kau masih mencintaiku, kan?' batin Angga pedih.


Bersambung ….



Komentar

Login untuk melihat komentar!