TATAPAN LIAR IPAR (6)
Pintu kamar Angga yang terletak di dekat kamar Dimas tiba-tiba saja terbuka. Lelaki itu tanpa permisi menarik tangan Sarah. Menyeret paksa iparnya itu ke dalam kamar.
Brakkk!
Ditutupnya pintu dengan sangat rapat. Angga mulai cari masalah.
"Apa yang kau lakukan?!"
Sarah mendesis. Menyentak kasar pegangan tangan Angga. Ia bergegas meraih gagang pintu, tapi Angga lebih sigap. Ia berhasil mencekal pergelangan Sarah lebih dulu. Menariknya mundur. Menjauh dari pintu.
"Berapa kali kubilang, jangan kurang ajar!"
"Aku tidak kurang ajar. Dengarkan dulu! Urusan kita belum selesai, Sarah!"
Angga menatap tajam. Dipandanginya Sarah tanpa kedip. Memunculkan rasa takut sekaligus tanya. 'Ada apa denganmu, Angga?'
Saat di dapur tadi sikap Angga begitu lembut, tapi sekarang justru berbanding terbalik. Kasar sekali. Bahkan cekalan tangannya membuat sakit.
"Urusan apa lagi? Tolong jangan menggangguku."
"Aku tidak mengganggumu. Aku hanya butuh penjelasan."
"Bukankah sudah jelas semuanya? Aku iparmu, istri dari--"
"Stop!" Angga memotong cepat. "Bukan hubungan sekarang, Sarah, tapi hubungan kita yang belum usai!"
"Belum usai? Berpikirlah waras Angga. Kita sudah selesai sejak lama."
"Oh, ya? Siapa yang mengakhirinya? Katakan!" Angga membentak. Cekalan tangannya semakin erat karena Sarah berontak.
"Saat itu kau pergi. Hilang tanpa jejak. Sudahlah, tak perlu diungkit. Kita bukan anak kecil lagi, Angga. Aku sudah bersuami. Lupakan. Anggap tak pernah terjadi apa-apa antara kita."
"Menghilang? Tanpa jejak? Tunggu, tunggu, sepertinya ada salah paham."
"Salah paham apanya? Ah, sudahlah. Tidak perlu dibahas lagi. Tidak penting."
Sarah mengakhiri percakapan. Namun lagi-lagi Angga membantah.
"Semudah itu kau melupakan semuanya? Lalu pernikahanmu sendiri. Bukankah kau juga tak bahagia?"
Angga memiringkan senyum. Ia mendekatkan wajah. Mengamati manik mata Sarah yang jernih. Mencari jawaban sendiri.
"Siapa bilang? A-aku bahagia dengan pernikahanku. Mas Dimas pria yang baik."
"Dusta!" Angga memotong.
"Aku berkata apa adanya, Angga. Sudahlah! Lupakan! Aku ingin hidup nyaman. Jangan menggangguku lagi. Kita sudah--"
Tok! Tok! Tok!
Ketukan di pintu seketika membuat Sarah membisu. Kedua bola matanya membulat sempurna.
"Ngga? Kenapa ribut-ribut di dalam?"
Degh!
'Mas Dimas?! Bagaimana jika ia melihatku di sini bersama Angga?'
Jantung Sarah berdegup kencang. Ia membatin resah. Sementara Angga justru tersenyum penuh kemenangan. Dilepasnya cekalan di lengan Sarah. Seakan ini adalah momen yang ia rencanakan.
"Jangan dibuka!"
Sarah menggelengkan kepala. Tangannya refleks memegang tangan Angga, menahan saat adik iparnya itu hendak membuka pintu.
"Oh, kau masih ingin main-main denganku?" tanya Angga.
"Bukan begitu, tapi, momen seperti ini tidak tepat. Mas Dimas pasti berpikir macam-macam tentangku!"
Wajah Sarah pucat pasi. Kepikiran yang tidak-tidak. Termasuk penilaian Dimas padanya. Ia tak ingin dicap sebagai istri yang buruk. Kedapati berdua-duaan di dalam kamar ipar.
Melihat itu Angga ingin tertawa. Ia menikmati sekali ekspresi Sarah yang ketakutan.
"Biarkan saja, biar Mas Dimas berpikir macam-macam," sinis Angga.
"Angga, please."
Sarah mengiba. Bertambah semakin panik lah ia saat mendengar gedoran di pintu semakin kencang.
"Angga! Hey! Ada apa di dalam?!"
Dimas berteriak dari luar. Sayup-sayup ia mendengar suara gaduh seperti ada orang bertengkar.
'Angga sedang bersama siapa?
Apakah bersama Sarah?
Ah! Tidak mungkin!
Atau jangan-jangan, Angga membawa perempuan ke dalam rumah tanpa sepengetahuan Mama?'
Beragam tanya dan praduga memantul dalam benak Dimas. Meski sepintas menduga ada Sarah, tapi cepat Ia menepis sendiri, meyakini bahwa tidak mungkin istrinya itu masuk ke kamar Angga.
Di mata Dimas, Sarah selau menjaga diri dan kehormatannya.
Duakh! Duakh!
"Angga! Buka pintunya!" Dimas berteriak lagi. Lebih kencang dari sebelumnya. Tak sabar melihat ada apa di dalam kamar adiknya itu.
Sementara Dimas diliputi rasa penasaran. Di dalam kamar, Sarah justru kebat-kebit. Sekujur badannya kebas dengan telapak tangan yang dingin.
"Angga, please. Aku akan jelaskan semuanya nanti, tapi tolong sekarang jangan sedikitpun buka suara pada Mas Dimas."
*
Dubh! Dubh! Dubh!
Jantung Sarah berdegup kencang. Ditahannya napas sendiri dengan menutup menggunakan telapak tangan kanan. Ia sedang bersembunyi di dalam lemari baju Angga. Aroma parfum yang sangat ia kenal terendus hidung.
Dalam persembunyiannya, Sarah bergelung dengan memori. Ia teringat masa lalu saat bersama Angga. Kala keduanya menautkan janji untuk saling menunggu satu sama lain.
Perih kembali hadir. Tak terasa membuat Sarah menitihkan air mata.
'Jika saja kau bisa datang lebih cepat, Angga. Mungkin jalan ceritanya tidak akan seperti ini …'
*
Dimas nyelonong masuk begitu Angga membuka pintu kamar. Rasa penasaran dalam hatinya menuntut untuk dipuaskan.
"Tadi aku mendengar suara gaduh. Ada siapa?" tanya Dimas.
"Nggak ada siapa-siapa. Tadi ada telepon. Yah, panggilan telepon."
"Masa? Kamu nggak lagi nyimpen orang di kamar, 'kan?"
"Nggak ada lah, Mas. Masa iya aku nyimpen orang di kamar."
Dimas tak percaya. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh kamar Angga. Ia pun mengecek ke belakang pintu. Kosong. Tak ada apapun.
"Sudahlah, Mas. Nggak ada siapa-siapa. Cuman ada aku aja di kamar ini."
Angga mulai resah sebab Dimas tak menggubrisnya. Lelaki itu yakin dengan apa yang ia dengar tadi. Meski samar, tapi Dimas yakin bahwa Angga sedang bicara dengan seseorang.
"Cari apa, sih, Mas? Dibilangin nggak ada apa-apa masih aja nggak percaya!"
Angga bernada ketus. Kesal karena privasinya terganggu. Dimas tak peduli, ia menggeledah seluruh sudut kamar Angga. Bahkan memeriksa kamar mandi.
Kosong!
Tidak ada apapun.
Dimas berjalan lagi menuju ranjang. Ia menundukkan kepalanya, mengintip tepat di bawah kolong. Mencari-cari sesuatu.
"Mas hentikan. Nggak ada apa-apa!"
Angga menghentikan langkah Dimas. Arahnya bergerak menuju lemari baju. Tempat Sarah sedang bersembunyi.
"Telingaku masih normal, Ngga. Tadi ada suara."
"Suara? Itu perasaan Mas saja. Tolong dong, aku punya privasi. Jangan main geledah begini."
Saat Angga dan Dimas sedang berdebat. Dari ambang pintu kamar terdengar seseorang memanggil. Perempuan berusia setengah abad lebih dengan kerudung berwarna merah bata. Nani, dia adalah perempuan yang melahirkan Dimas dan Angga.
"Kalian ini berisik-berisik ada apa, sih?"
Angga dan Dimas menoleh ke arah sumber suara.
"Ah, enggak ada apa-apa, Ma." Angga menjawab.
"Kamu ngapain di sini, Dimas? Sarah nggak bilang apa kalau Mama nunggu kamu di bawah?"
"Sarah?"
Dimas seketika ingat pada istrinya.
"Iya. Sarah sudah menunggu di bawah. Mama sama dia ngobrol dari tadi. Nungguin kamu sampai jamuran. Ayo ikut Mama sekarang. Kita bicara hal penting."
"Tapi, tadi--"
"Apa? Ayo ikut Mama sekarang. Kita bicara hal penting."
Dimas menatap kedua mata Angga. Rasa penasarannya belum terjawab. "Urusan kita belum selesai," ucap Dimas pelan. Terdengar jelas di telinga Angga, tapi tidak dengan Mama.
"Ini anak kenapa lama sekali, ya? Ayo Dimas! Sarah sudah menunggu di bawah. Kasihan dia sendiri."
"Ya, ya. Baik, Ma."
Dimas berjalan menuju ambang pintu. Mengabaikan misi menggeledah lemari adiknya itu.
Sementara Angga sendiri masih terpaku mendengar penuturan mamanya tadi.
'Apa aku tak salah dengar? Mama ngobrol sama Sarah di bawah? Bukankah sejak tadi Sarah bersamaku? Dia bahkan sekarang bersembunyi di dalam lemari.'
"Angga." Mama memanggil. Membuat pertanyaan di benak Angga seketika menghilang.
"Iya, Ma?"
"Jangan lama-lama selesaikan urusannya. Mama tunggu juga di bawah. Kita makan malam bersama."
"I-iya."
Angga melihat ke arah sang Mama. Tatapannya penuh arti. Seakan mengatakan bahwa mama tahu sesuatu. Tentang hubungan Angga dan Sarah. Termasuk saat ini, di mana Sarah bersembunyi dalam lemari kamarnya.
Bersambung …
Login untuk melihat komentar!