TATAPAN LIAR IPAR (5)
Pukul empat sore. Dimas pulang lebih awal dari biasanya. Karena hari ini ia tidak lembur. Di teras rumah ia melihat Sarah sedang menyirami bunga-bunga dalam pot. Istrinya memang rajin. Sejak ada Sarah, teras rumah Dimas menjadi sedap dipandang mata. Aneka bunga mawar berjajar rapi dalam pot.
"Mas, sudah pulang?" tanya Sarah seraya tersenyum. Dimatikannya keran, lalu menggantungkan selang di pengait.
"Iya, hari ini nggak ada lembur."
"Alhamdulillah. Jadi bisa banyak waktu sama-sama di rumah."
Sarah tersenyum senang. Namun tidak dengan Dimas. "Habis ini aku mau pergi," ujarnya datar.
Dimas duduk di teras. Membuka sepatu.
"Pergi?"
"Iya. Ada janji sama temen. Nggak usah banyak tanya dan protes."
Belum juga Sarah bertanya, tapi Dimas sudah melarangnya. Raut wajah Sarah seketika berubah sedih. Sikap suaminya masih tak berubah. Ketus dan dingin padanya.
Usai membuka sepatu, Dimas bangkit dari duduk. Berlalu pergi begitu saja. Mengacuhkan Sarah. Ia bahkan meninggalkan sepatu dan tas kerja tergeletak sembarangan di teras rumah.
Untuk yang kesekian kali, hati Sarah berdenyut nyeri. Perlakuan Dimas seolah tak menghargai ia sebagai istri. Di balik jendela ruang tamu, tanpa sepengetahuan Sarah, diam-diam Angga memperhatikan. Menatap prihatin dan kasihan.
*
"Angga?"
Dimas memanggil adiknya itu saat sudah tiba di ruang tamu. Langkah yang tadinya hendak menuju kamar. Kini berbelok ke sofa ruang tamu. Dimas menghampiri Angga. Duduk tepat di sampingnya.
"Iya, Mas?"
"Nggak kerja hari ini?"
"Enggak. Sengaja tutup dulu."
"Oh, begitu. Gimana bisnisnya? Lancar?"
"Lancar nggak lancar, sih. Namanya juga dagang. Kalau lagi rame, rame banget. Kalau lagi sepi, ya, sepi banget."
"Jalani aja. Semoga dimudahkan semuanya. Mas lihat beberapa kali produk yang kamu jual masuk di urutan terlaris."
"Iya, Mas. Alhamdulillah."
Angga tersenyum kaku. Ia memang jarang bicara dengan Dimas. Meski memiliki hubungan darah, tapi kedua orang itu memiliki sifat dan karakter yang berbanding terbalik.
"Sarah, tolong buatkan minuman dan bawa cemilan ke sini. Mumpung ada Angga. Mas mau ngobrol dulu sama dia."
Dimas menyeru pada Sarah saat melihat istrinya itu melewati ruang tamu sambil menenteng tas dan sepatu kerja miliknya.
"Baik, Mas."
Sarah mengangguk. Ia bergegas cepat. Meletakkan sepatu dan tas ke tempatnya lalu menuju dapur. Menyiapkan minuman untuk suami dan Angga.
Sejauh ini Angga dan Sarah sama-sama bungkam pada Dimas. Tentang masa lalu mereka dan hubungan yang pernah terjalin sebelumnya.
Di dapur, Sarah memperhatikan isi kulkas. Jemarinya terampil mengambil kotak es batu yang berisi balok-balok kecil. Tak lupa Sarah mengambil sebotol sirup rasa jeruk. Dicampurkannya kedua bahan itu ke dalam teko bening, lalu ditambahkan air hingga penuh.
Setelah siap, Sarah mengambil sebungkus biskuit kemasan. Menuangnya ke atas piring cekung lalu membawanya bersama teko berisi air sirup ke ruang tamu.
Sarah meletakkan piring berisi biskuit dan teko sirup ke atas meja. Tak lupa menuangkannya dengan hati-hati ke dua buah gelas kosong berwarna bening.
"Ini, Mas," ujar Sarah.
"Makasih."
"Sama-sama."
Sarah membalik badan hendak berlalu meninggalkan ruang tamu. Geraknya yang cepat itu, tanpa sengaja membuat nampan yang ia pegang justru menyentuh tangkai gelas.
'Pranggg!'
Seketika gelas berisi air sirup tumpah dan pecah hingga belingnya berserak di bawah meja.
"Sarah!"
Dimas membentak. Celana dan kakinya terpercik oleh tumpahan air sirup. Beruntung Dimas sigap, menarik kaki hingga tak terkena pecahan beling.
"Dasar ceroboh! Nggak hati-hati! Belum juga diminum! Sudah pecah, kan!"
Dimas mudah sekali tersulut emosi. Ia meledak-ledak hanya karena gelas yang jatuh.
"Maaf, Mas. Nggak sengaja."
"Halah! Alasan!"
Sarah cepat-cepat mengambil lap kain yang tersedia di kolong meja. Ia mengelap bekas air dan mengumpulkan pecahan beling. Dimas tak terima. Dicubitnya lengan sang istri yang ia nilai ceroboh.
"Lain kali hati-hati! Untung nggak kena kakiku!" teriaknya.
"Iya, Mas. Maaf."
"Dasar ceroboh! Istri nggak guna!"
"Sudah, sudah Mas. Masalah sepele. Nggak usah berlebihan."
Angga yang sedari tadi bungkam akhirnya membuka suara juga. Gerah hatinya melihat Sarah dimarahi Dimas. Apalagi dicubit berulang kali hanya karena masalah sepele.
"Nggak usah ikut campur, Ngga! Ini caraku mendidik istri! Biarkan saja. Biar Sarah juga nggak ceroboh. Bisa-bisanya menumpahkan gelas. Ditaruh mana itu matanya!"
Sarah tak bicara. Ia merunduk dan fokus pada pekerjaannya. Meski diam saja, tapi Angga dapat merasakan. Betapa sakitnya hati Sarah sekarang. Dimaki di depan adik iparnya sendiri.
Keterlaluan.
*
[Hari ini nggak jadi pergi, Mama sama Papa aku datang ke apartemen. Nggak mungkin aku tinggalin mereka. Maaf ya, Dimas. Lain kali aja kita jalan-jalannya.]
[Kalau aku yang ke apartemen, gimana?]
[Jangan, entar Mama sama Papa mikir aneh-aneh. Besok aja, ya. Janji deh. Kita pasti ketemuan kok.]
[Ya sudah. Salam aja buat Mama sama Papa kamu.]
[Salam sebagai apa, nih?]
[Apa aja boleh haha.]
[Beneran ya. Entar aku salamin dari calon mantu.]
Dimas menggelengkan kepala sambil tersenyum. Terbayang wajah Rissa yang cantik dengan dagu lancip dan lehernya yang jenjang. Gadis itu lama-lama mampu menggoda Dimas. Bahkan beberapa kali Rissa hadir dalam mimpinya.
Tadinya malam ini Dimas ingin ketemuan dengan Rissa di cafe, tapi gadis itu membatalkannya tiba-tiba dengan alasan Papa dan Mamanya datang ke apartemen.
"Tok! Tok!"
Sarah mengetuk pintu kamar dari luar. Membuat Dimas cepat-cepat memasukkan ponsel ke saku. Meski sudah resmi menjadi istrinya, tapi Dimas membuat peraturan khusus untuk Sarah. Harus selalu meminta izin lebih dulu saat akan masuk ke kamar.
"Iya, kenapa?" tanya Dimas dari balik daun pintu. Teriakannya begitu keras, karena ada pintu sebagai pembatas.
"Dipanggil sama Mama, Mas."
"Mama sudah pulang?"
"Iya."
"Ya sudah, tunggu di bawah sana. Entar aku turun!"
Sarah mengangguk paham. Pintu kamar masih tertutup rapat. Sudut hati Sarah terluka. Ia merasa sebagai istri yang tak dihargai.
Dengan perasaan sedih Sarah meninggalkan pintu kamar. Berlalu hendak turun menemui mama mertua di ruang makan.
Cklak!
Pintu kamar Angga yang terletak di dekat kamar Dimas tiba-tiba saja terbuka. Lelaki itu tanpa permisi menarik tangan Sarah. Menyeret paksa iparnya itu ke dalam kamar.
Brakkk!
Ditutupnya pintu dengan sangat rapat. Angga gerah. Jemarinya menggeser slot kunci. Ia mulai cari masalah.
Bersambung ….
Login untuk melihat komentar!