Perlawanan Fisik thd penjajah dgn spirit Islam
Perlawanan Fisik Terhadap Penjajah Dilakukan dengan Semangat Islam



Islam mengajarkan kita untuk berani membela hak
dan kebenaran. Dan Allah menjamin siapa pun yang
berjuang di jalan-Nya akan mendapatkan kemuliaan di
akhirat nanti.


Ketika orang menyatakan diri sebagai muslim maka
mereka telah berikrar bahwa tidak ada yang boleh
ditakuti kecuali Allah, tidak ada manusia yang lebih mulia
kecuali karena ketakwaannya.


Kesadaran Islam inilah yang pada akhirnya membuat
penjajah Eropa sulit menaklukkan Indonesia di berbagai
tempat. Butuh waktu ratusan tahun hingga akhirnya
penjajah Eropa (baca: Belanda) bisa menguasai seluruh
Nusantara karena pertempuran demi pertempuran harus
mereka hadapi di berbagai front.


Di atas kertas, dengan senjata yang modern saat
itu, sebetulnya mudah sekali bagi Belanda untuk
menaklukkan seluruh Nusantara. Akan tetapi, yang
mereka hadapi adalah pejuang yang mempunyai spirit
Islam dan semangat jihad. Sejarah mencatat umat Islam dan ulama menduduki peran utama dalam gerakan politik dan militer. 

Semua bersukma dari seruan jihad,
perang suci.


Ketika bangsa Portugis, yang awalnya mendarat
di Maluku pada tahun 1511 dengan damai, mulai
menggunakan senjata untuk memaksakan kehendaknya,
maka perlawanan pun terjadi.


Pada tahun 1533, Sultan Ternate menyerukan kepada
seluruh rakyat Maluku untuk mengusir Portugis. Pada
tahun 1570, rakyat Ternate yang dipimpin oleh Sultan
Hairun kembali melakukan perlawanan terhadap bangsa
Portugis, namun dapat diperdaya hingga akhirnya tewas
terbunuh di dalam Benteng Duurstede.


Selanjutnya, perlawanan terhadap penjajah di Ternate
dipimpin oleh Sultan Baabullah pada tahun 1574. Sultan
Baabullah berjihad melawan Portugis dan akhirnya
berhasil mengalahkan dan mengusir mereka dari Maluku.


Pada tahun 1527, armada Demak di bawah pimpinan
Fatahillah/Falatehan dapat menguasai Banten, Sunda
Kelapa, dan Cirebon. Dan pada tanggal 22 Juni 1527
atau 22 Ramadhan 933 Hijriah, armada Portugis dapat
dihancurkan oleh Fatahillah. 

Ia kemudian mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta (Jakarta), yang
artinya kemenangan besar gilang-gemilang atau fathan
mubina, yang terilhami dari Al-Qu’ran surah Al- Fath (48)
ayat pertama.


Pada tahun 1521, Adipati Unus memimpin armada dari
Demak dan Cirebon melawan orang-orang Portugis di
Malaka. Unus terbunuh dalam pertempuran. 

Kemudian Trenggono naik tahta menjadi Sultan Demak.
Kemudian pada tahun 1613-1645 perlawanan terhadap Belanda–dalam hal ini diwakili VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie)–dilakukan oleh Sultan
Agung Hanyokrokusumo yang dekat dengan ulama
dan menyatukan kalender Jawa dengan kalender Islam,
sehingga berhasil menyatukan golongan abangan
dengan golongan santri dan ulama di Jawa. 

Sultan Agung juga berperang bersama pahlawan dari tanah Pasundan,
yaitu Adipati Ukur dari Tatar Ukur.


Setelah perang Sultan Agung melawan VOC selesai,
terjadilah perang Kesultanan Banten melawan VOC di
bawah pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan Ageng
dibantu ulama besar Syekh Yusuf Al-Makassari yang
sekarang menjadi pahlawan nasional di dua negara, yaitu
Indonesia dan Afrika Selatan.


Sultan Ageng Tirtayasa juga membantu membiayai
pemberontakan Trunojoyo, seorang santri sekaligus
bangsawan Madura, dalam melawan Amangkurat I dan
VOC. 

Seorang Guru Besar Sejarah dari Monash University,
Australia, M.C. Riklefs, mengatakan bahwa pasukan
Trunojoyo merupakan pasukan yang kuat keislamannya
dan menegakkan jihad fi sabilillah.


Selain mendapat bantuan dari Sultan Ageng, Trunojoyo
juga mendapat bantuan dari Sultan Hasanuddin, dari
Makassar, dan dari kalangan ulama, yaitu Kiai Kadjoran
beserta santrisantrinya. Bahkan Trunojoyo juga
mendapat bantuan dari salah seorang Walisongo, yaitu
Sunan Giri.


Di Makassar saat itu juga terjadi perlawanan dari
Sultan Hasanuddin terhadap VOC pada tahun 1655 dan
tahun 1657. Sultan Hasanuddin juga dekat dengan ulama.
Saat itu di Makassar tarekat-tarekat sangat kuat dan memiliki pengaruh di Kesultanan Goa di Makassar.


Dari perdagangan Nusantara, Sultan Hasanuddin
membantu pembiayaan da’wah yang dilakukan gerakan
sufi (tarekat). Ketika VOC melakukan monopoli, maka
pemasukan (cashflow) perdagangan di kalangan
pedagang Islam terganggu dan pembiayaan da’wah
pun terputus. 

Maka saat itu VOC sudah layak diperangi
karena menghambat da’wah dan islamisasi di Sulawesi
yang saat itu sedang berlangsung gencar.


Begitu juga dengan Perang Padri yang terjadi pada
tahun 1803-1838 di Minangkabau, Sumatera Barat,
adalah jihad yang dipimpin oleh ulama. Bisa dilihat, nama
Perang Padri menunjukkan perang ini adalah perang
keagamaan. 

Kata padri berasal dari kata Padre, artinya
pendeta atau pastur. Nama perang ini diberikan Belanda,
meskipun Belanda memberi penafsiran yang salah bahwa
pejuang-pejuang itu adalah pendeta. Perang tersebut
berlangsung selama 16 tahun. 

Selama itu bentrokan terjadi di kalangan ulama: kaum tua dengan kaum muda
dan golongan adat dengan kaum muda. Bentrokan ini
dimanfaatkan Belanda untuk mengadu domba, namun
gagal. 

Akhirnya, kedua kubu yang berselisih itu bersatu
dan bersama melawan Belanda.


Di Jawa juga meletus perang besar yang sering
disebut Perang Jawa pada tahun 1825-1830. Perang ini
merupakan pemberontakan di bawah pimpinan Pangeran
Diponegoro terhadap Belanda. Sewaktu Pangeran
Diponegoro memanggil relawan untuk berjihad melawan
Belanda, maka kebanyakan mereka yang tergugah
adalah para ulama dan ustadz dari pelosok desa.


Sayangnya banyak penulisan sejarah yang berusaha menutupi semangat Islam Pangeran Diponegoro dan menggambarkannya sebagai orang yang berjuang
karena alasan materi dan kekuasaan semata, seperti
tanah miliknya dipatok Belanda, wilayah keraton yang
menyempit, serta hal lain yang bersifat duniawi.


Padahal menurut Adian Husaini, dosen pascasarjana
Universitas Indonesia, tujuan Pangeran Diponegoro
berperang adalah jihad fi sabilillah. Husaini dalam hal
ini berpegangan pada buku yang ditulis F.V.A. Ridder de
Stuers, Gedenkschrift van den Oorlog op Java (1847).
Sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara juga
berpendapat bahwa tujuan Pangeran Diponegoro
berperang adalah Perang Sabil atau jihad fi sabilillah.
Islam yang diyakini Pangeran Diponegoro mengajarkan
untuk memerangi kedzaliman atau ketidakadilan di
muka bumi, yang dalam hal ini dilakukan oleh Belanda.


Belanda juga mulai menularkan maksiat ke lingkungan
Keraton Jawa. Belanda juga merampas wilayah Islam,
dalam hal ini Kesultanan Yogyakarta. Jadi, alasan sudah
sangat cukup untuk berjihad mengangkat senjata
melawan penjajah Belanda.


Di Aceh juga muncul banyak perlawanan yang muncul
dengan semangat Islam. Pada tahun 1554 hingga
tahun 1555, Portugis berupaya menguasai wilayah
Aceh, namun usaha tersebut gagal karena Portugis
mendapat perlawanan keras dari rakyat Aceh. 

Pada saat
Sultan Iskandar Muda berkuasa, Kerajaan Aceh pernah
menyerang Portugis di Malaka, pada tahun 1615 dan
1629.


Ketika Belanda masuk ke Aceh, Tengku Cik Di Tiro
melakukan perlawanan sengit terhadap Belanda. Apa yang dilakukan oleh Tengku Cik Di Tiro, Teuku Umar, dan diteruskan oleh Cut Nyak Dhien dari tahun 1873-1906
adalah jihad melawan kape-kape (kafir-kafir).
Belanda yang menyengsarakan umat Islam dan rakyat
Aceh. 

Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan
perang kepada Aceh dan mulai melepaskan tembakan
meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van
Antwerpen.
Perang Aceh pertama adalah perang frontal berhadaphadapan.
Medan perang utamanya adalah di Kutaraja
(Banda Aceh) yang menjadi pusat pemerintahan.
Perang ini dipimpin langsung oleh Sultan Aceh
Mahmud Syah dan Panglima Polim. Dalam waktu tidak
sampai sebulan Kutaraja jatuh.
Kemudian terjadilah Perang Aceh kedua, masih di
bawah pimpinan Sultan Mahmud Syah dan Panglima
Polim. Perang ini masih berupa perang frontal di
mana kesultanan masih mapan walaupun ibu kotanya
berpindah-pindah. Kepemimpinan perang ini dilanjutkan
secara estafet sampai akhirnya pemimpin perang terakhir
yaitu Cut Nyak Dhien tertangkap pada tahun 1904, dan
berakhirlah Perang Aceh.
Di Sumatera Utara, Raja Batak saat itu yang beragama
Islam yaitu Sisingamangaraja XII (lihat: Sisingamangaraja
XII Seorang Muslim) juga melakukan perlawanan
terhadap Belanda pada tahun 1878-1907.
Ketika Perang Aceh masih berkobar, Belanda kesulitan
mengalahkan Sisingamangaraja. Tapi ketika akhirnya
Perang Aceh selesai, Belanda bisa berkonsentrasi pada
Perang Batak.
Di Lampung terjadi perlawanan terhadap Belanda yang dipimpin oleh Raden Imba Kusuma tahun 1832-1833
dan dilanjutkan oleh putranya Raden Intan II tahun 1856.
Di Banjarmasin terjadi Perang Banjarmasin antara
Kesultanan Banjarmasin pimpinan Pangeran Hidayatullah
melawan Belanda dan perjuangan ini dilanjutkan oleh
Pangeran Antasari, yang kemudian dilanjutkan lagi oleh
Muhammad Somad.
Pada tahun 1817 terjadi perlawanan terhadap
Belanda di Maluku yang dipimpin oleh Kapitan Ahmad
Lussy, seorang muslim taat yang lebih dikenal sebagai
Pattimura.
(Lihat: Pattimura Itu Muslim Taat).
Lima Tahun setelah meletusnya Krakatau, terjadi
pemberontakan petani di Banten yang dilakukan oleh
Tarekat Qadiriyah Naqhsabandiyah (baca Agung Pribadi,
“Bencana Alam dan Proses Radikalisasi” dalam Koran
Tempo 26 Maret 2006).
Tahun 1919 juga terjadi pemberontakan SI Afdeling
B di Garut yang menolak kebijakan tanam paksa oleh
Belanda. Pemberontakan ini dipimpin oleh Haji Hasan
pimpinan Sarekat Islam Garut.
Para ulama juga memimpin pemberontakan terakhir
yang terjadi pada tahun 1927 di pantai barat Sumatera.
Belanda mencap semua pemberontakan melawan
pemerintahan adalah komunis atau PKI.
Pemerintahan Orde Baru juga mengataka`n demikian,
sehingga hari ini kita temui dalam buku sejarah bahwa
pemberontakan tahun 1927 di Sumbar itu adalah PKI.
Padahal itu dilakukan oleh Sumatera Thawalib. Memang
ada sebagian anggota Sumatera Thawalib yang kemudian
menjadi anggota PKI, tapi itu hanya sebagian kecil saja (Lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia).
Itulah rangkaian panjang perjuangan bersenjata dari
ulama dan santri di Indonesia dalam melawan Bel