POV Author
Alifia merangkul tubuh mungil putranya, yang tampak kecewa saat dirinya mengembalikan amplop berwarna kuning berisi uang pecahan seratus ribu yang entah berapa jumlahnya. Mungkin banyak karena Alifia tahu, Dipta bukan pria miskin yang kekurangan uang. Pria itu memang sempurna. Tampan, mapan, datang dari keluarga terpandang. Pria penyayang yang dulu meminta dirinya sebagai permaisuri dalam hidupnya, pria good loking itu menawarkan kisah cinta yang indah ibarat pangeran dari negri dongeng.
Sikapnya yang santun, tutur katanya yang sopan dan tatapannya yang dalam dan teduh, bukan hanya menghipnotis dirinya tapi juga Ibu dan Abah. Dipta, pria penyayang yang diawal pernikahan mereka, memandikan dirinya dengan bunga cinta dan kasih sayang yang manis laksana madu. Alifia menghela napas yang terasa berat.
Sungguh Alifia tidak menyangka, kalau pernikahan yang terasa begitu indah tanpa cela, harus berakhir dengan cara yang bukan hanya menyakitkan tapi juga menghinakan. Bukan hanya melemparkan nya dari singgasana bernama mahligai pernikahan tapi melemparkannya pada lembaran kisah hidup yang teramat pahit .
Alifia tidak akan lupa saat malam itu dia pergi membawa bukan hanya hatinya yang berdarah tapi juga statusnya sebagai janda dengan tiga orang balita. Sia- sia dia bersujud memohon pengertian dan kesempatan untuk membuktikan kalau dirinya tidak bersalah, pria yang telah lima tahun menjadi imamnya begitu murka
Tatapannya menghujam dan tanpa belas kasihan. Di hadapan dirinya yang bersimpuh tak berdaya, di saksikan Yuni, Nindi dan Ayu, Dipta membakar semua foto pernikahan mereka, membakar baju dan juga semua surat pentingnya.
Alifia yang menjerit dan meraung histeris tak sanggup meluluhkan hati pria yang diamuk amarah itu. Bahkan dengan wajah membesi laki- laki itu menghubungi kedua orang tuanya dengan lantang mengatakan dirinya pengkhianat cinta.
Tanpa uji digital forensik, tanpa Tabayyun dan tanpa memberinya kesempatan membela diri, di hadapan Ibu yang tengah sakit keras dan Abah yang berwatak keras, dia berteriak kalau dirinya seorang pezina diiringi Ayu, Nindia dan Yuni bersaksi dengan wajah penuh kemenangan di hadapan kedua orang tua Alifia.
Sampai di sini Alifia tersedu. Ibu yang sakit keras langsung pingsan dan Abah pria baik hati namun keras itu pun termakan hasutan keluarga suaminya yang bersaksi dengan nama Allah. Seperti juga Ibu, Abah pun ambruk dalam sesal dan kemurkaan.
Langit Alifia runtuh. Akting kedua kakak iparnya dan Yuni yang mampu mengelabui Abah dan Ibu, mengubah hari- hari Alifia menjadi kelabu.
" Fia, mohonlah ampun atas dosamu. Bersujud lah di kaki suamimu, akui semua kesalahanmu...bertobatlah." Suara ibu tersendat. Wajahnya berurai air mata. Meski hanya via panggilan telepon tapi Alifia tahu Ibu sangat terpukul.
" Fia, betul kata ibumu. Mohonlah ampun atas semua dosa dan khilafmu."
" Tidak bisa, Abah. Aku tidak melakukan semua yang dituduhkan." Alifia sesenggukan membela diri.
" Sombong. Bahkan setelah semua bukti dan tiga orang saksi kamu masih mau berkilah?" Nindi menyela.
" Pak, apa perlu kubawa juga pria selingkuhannya di hadapanmu? Alifia, putrimu hanya butuh satu kata untuk kembali ke rumah ini. Maaf. Hanya maaf...kalau dia masih tidak mau, berarti dia keterlaluan." Nindi menyerocos Panjang pendek, tidak memberi kesempatan pria senja di depannya berpikir jernih.
" Alifia, tolong...segeralah bertobat dan minta maaf. Atau, Abah tidak akan maafkanmu. " Suara Abah bergetar. Tiga orang saksi palsu, foto dan video yang di perlihatkan Yuni mengelabui hati di usianya yang telah renta.
Alifia membisu. Susah payah dia menyeka air mata dan menggeleng. Fitnah Nindi, Ayu dan Yuni begitu dahsyat.
"Bahkan orang tuamu memintamu hanya mengakui dan berlutut pun kau abaikan, Alifia? Kesombongan macam apa yang kau miliki?" Ayu menggelegar. Kakak kedua suaminya menatap tajam ke arah kamera ponsel di mana ada wajah Bapak Alifia dan Ibunya yang tampak sangat shock.
" Pak, bahkan putrimu rela mengelabuimu dengan tetap menggeleng dan menolak sedikit merunduk, walau demi ketiga anaknya?"
" Alifia ..." Ibu kembali memohon.
" Tidak ibu, aku tidak akan meminta maaf dan mengakui semua fitnah yang mereka tuduhkan."
" Katamu fitnah? Semua maling akan mengatakan hal yang sama, Pak." Nindi tersenyum sinis.
" Alifia? Kau bersikeras?" Abah tampak kecewa.
" Kalau memang kamu tidak mau memohon ampun dan mengakui atas dosa yang telah kau perbuat, haruskah pintu rumah Abah dan Ibu terbuka untukmu?"
Alifia ambruk. Setelah Dipta, pintu hati orang tua nya pun tertutup sudah.
Malam itu, gerimis mulai deras. Tapi bagi Alifia, pergi dikala hujan akan lebih baik. Bukan hanya menghapus sedikit luka hatinya melainkan dibawah hujan dia bisa menyembunyikan air matanya.
" Mama." Goyangan ditangan Alifia membuyarkan lamunannya. Alifia terhentak, di hadapannya Afgan tengah menatapnya dengan rasa khawatir.
" Mama menangis?" Jemari kurus Afgan terulur. Menyeka pipinya yang makin hari makin tirus.
" Mama jangan menangis. Betul kata Mama, kalau pria sejati tidak menerima kebaikan karena rasa kasihan. Afgan mau bekerja keras dan belajar lebih rajin. Agar kelak Mamah bangga."
Rabbi...Alifia tersedu. Dipeluknya tubuh putranya dengan sejuta doa yang melangit. Semoga kelak, segala luka yang terpaksa dia sematkan di hidup anak- anaknya berganti dengan kebahagiaan.
"Maafkan. Mama. Maafkan Mama yang menarik kalian dalam pusara luka." Alifa menyeka ujung matanya dengan hijab.
"Sayang, mungkin aku ibu dan perempuan egois yang bersikeras membawamu dalam kesengsaraan. Tapi membiarkanmu hidup dengan manusia penipu dan biadab, aku tidak sanggup." Hati Alifia berbisik lirih.
Langit terasa mulai panas. Angin kering terasa menampar lebih keras kali ini. Alifia bangkit. Hari ini dirinya akan berjualan sampai setengah hari. Tatapan pria masa lalu yang masih berdiri tanpa sepatah kata membuat Alifia merasa harus segera pulang.
Alifia tersenyum kecut,sekilas menolah Dipta yang masih berdiri tegak dengan tatapan penuh iba. Tenangkan hatimu, Alifia. Tatapan itu bukan tatapan memohon ampun atau menyadari segala kekeliruan dirinya lima tahun silam, tatapan itu hanya sebatas rasa ragu dan kasihan karena dirinya hanyalah sosok wanita miskin yang bahkan untuk menghidupi anak- anaknya harus dengan cara yang mungkin tidak pernah terlintas di benak pria kaya itu.
"Kita pulang dulu. nak. Mamah teringat Raizan dan Zahra, mereka pasti lapar dan menunggu kita." Suara Alifa perlahan. Tapi cukup jelas di telinga Dipta. Mengoyak nalurinya sebagai ayah yang lima tahun buta dan tuli atas keberadaan anak- anaknya dari Alifia. Bahkan Dipta tidak yakin, kalau Raizan dan Zahra bisa makan kenyang setiap harinya. Duh.
" Alif...." Dipta menelan lagi kata- katanya. Bukan hanya takut Alifia tidak menoleh, melainkan dia merasa belum pantas mengucapkan kata itu.
Diikuti Afgan yang mengekor, Alifia perlahan melangkah. Tak sedikitpun wajah itu melirik ke arah mantan suaminya. Dipta baginya adalah masa lalu dan mungkin akan tetap menjadi masa lalu, saat hatinya telah bertekad untuk mengubur apapun tentang pria itu selamanya.
Dipta hanya menghela napas berat. Melihat dengan sedih pada sosok putranya yang seolah tak ingin lagi melirik ke arahnya . Afgan tampak sudah lupa dengan peristiwa pemberian amplop yang dikembalikan Mamanya. Dengan hati riang bocah itu berjalan di atas rumput dengan sendal barunya. Sendal plastik seharga tiga puluh ribu itu, bukan hanya barang mewah baginya tapi juga yang terbaik yang pernah dia miliki.