POV Author
Alifia mengayunkan langkahnya menyusuri jalanan becek di seputar kontrakannya menuju jalan raya. Akhir- akhir ini jualannya lebih sepi dari kemarin. Ada yang mengembun di sudut matanya.
Alifia berharap kali ini dia bisa menunaikan janjinya untuk membelikan Zahra makanan kesukaannya. Tiga hari ini, entah mengapa, Zahra bersikeras ingin dikirim donat kekinian yang dijual di swalayan tak jauh dari alun- alun tempatnya berjualan, dan lagi- lagi Alifia gagal menunaikan janjinya pada Zahra. Uang yang dibawanya hanya cukup buat membeli seliter beras, seikat kangkung dan jajan esok hari saat Afgan dan Raizan pergi sekolah.
"Mama, aku mau yang rasa coklat dan ada kacangnya." Celotehnya penuh harap saat melihat Alifia menenteng jualannya.
"Doakan, semoga dagangan Mama laris." Alifia mencium puncak kepala putrinya. Harusnya Zahra sudah masuk TK, tapi sekolah di TK terasa mahal bagi dirinya yang hanya mengais rezeki sebagai pedagang kopi dan sekali- kali berdagang keliling menjajakan kue kecil buatan tangannya dan sebagian dia mengambil dari orang.
Alifia pernah berpikir kerja di pabrik atau di mana saja, tapi apa yang bisa dilakukan tanpa selembar ijazah? Lagi pula kerja sebagai buruh atau apapun itu mengharusnya kerja full time. Artinya dia harus meninggalkan anak- anaknya juga meninggalkan murid- murid ngajinya yang pada hari- hari tertentu, selepas ashar rutin mengaji di rumahnya.
Kenapa aku tidak memilih pulang ke Jakarta? Pikiran Alifia menerawang. Bukankah dia bisa mengurus ijazah yang terbakar ke kampus? Insyaallah bisa, yang tidak bisa Alifia lakukan adalah, bertemu kawan- kawan nya di Jakarta, bahkan ada beberapa yang menjadi staf tata usaha di kampus dan juga ada beberapa yang menjadi dosen. Apa yang harus kukatakan dengan ijazah itu? Apa yang harus kuceritakan tentang kemelut rumah tangganya? Alifia selalu tidak cukup mental buat bertemu siapapun. Kasusnya cukup viral karena dengan kejamnya Nindi dan Ayu mengunggah foto dirinya di grup What's App almamater tempat Alifia menuntut ilmu dan keluarga besar mereka. Biadab.
Alifia menanggung sangsi sosial. Menanggung malu dan aib atas fitnah yang dituduhkan kedua kakak iparnya. Menanggung hukuman atas dosa yang sama sekali tidak diperbuatnya.
Kadang terlintas keinginannya untuk menyerah dan mengakui saja bahwa dia memang pernah berzina agar bisa kembali ke pelukan Dipta, toh bertahan dan menyangkal pun tak ada guna. Namanya sudah hina dan tercoreng. Keinginan itu kadang hadir di saat Alifia lelah dengan kerasnya hidup, tapi wajah polos dan bening tiga anak- anaknya menghalangi dirinya mengakui sebagai pezina.
Alifia tidak sanggup kalau sepanjang hayat anaknya, menganggap bahwa ibunya adalah perempuan hina yang pernah berbuat nista. Alifia juga tidak sanggup melihat Ibu dan Bapak harus rela menelan pil pahit kalau putri mereka adalah wanita tidak bermoral. Aku tidak bisa tersenyum di atas dusta dan kehinaan, bisik hatinya sendu.
Biarlah dia jalani hidup yang pahit asal dia tetap memiliki harga diri. Bukankan Selalu ada harga buat kemuliaan. Selalu ada pengorbanan untuk bertahan dalam kebenaran. Alifia tahu itu. Sejak kesadaran itu hadir, perempuan itu tidak pernah menyesali lagi pilihan hidupnya. Sejak saat itu juga Alifia merasa hatinya lebih ringan, melewati harinya di sebuah kota kecil yang bukan hanya terasa tenang buat dirinya, tapi juga tidak seorang pun tahu tentang masa lalunya.
Afgan yang tumbuh lebih dewasa di usianya yang baru genap sepuluh tahun. Selepas sekolah, bocah itu membantunya mencari nafkah sebagai penyemir sepatu dan ojek payung. Afgan juga selalu juara satu di kelas, siswa teladan dan salah satu penghafal alQuran terbanyak di sekolahnya. Sekolah dasar swasta yang letaknya tidak begitu jauh dari tempatnya mengontrak rumah. Sebuah rumah bedeng dengan tarip tiga ratus lima puluh ribu sebulan. Cukup mahal kadang Alifia rasakan. Beruntung Afgan dan Raizan adalah siswa yang mendapat beasiswa penuh, sehingga untuk saat ini , urusan sekolah bakan lagi masalah besar untuk Alifia.
Bukankah Allah tidak pernah meninggalkan hambaNya yang ikhlas dan berserah diri? Di sini meski dalam segala keterbatasan, Alifia merasa jauh lebih baik dan bahagia. Dirinya yakin suatu saat kebenaran itu akan terungkap. Alifia yakin suatu saat Ibu dan Bapak akan tahu bahwa dirinya tidak bersalah. Bukankah Allah tidak pernah tidur? Suatu saat Allah akan melunak kan hati keras Bapak dan mempercayai dirinya. Ingat Bapak, mata Alifia berkaca. Pria berhati keras itu aslinya baik, hanya saja kadang Bapak terlalu keras menghukum anak- anaknya.
"Mama, cepat pulang ya..." Suara Zahra yang terdengar sudah agak jauh di telinga Alifia dan lambaian tangan mungil Zahra membuyarkan lamunannya yang cukup lama mengembara.
"Iya, Nak. Mama insyaa Allah cepat pulang. Eneng baik- baik ya di rumah, tunggu Abang pulang." Alifa kembali memberi pesan sambil balas melambai.
Hari ini. Alifia memutuskan berjualan ke tempat lain. Di alun-alun, dia dua kali bertemu Dipta. Ada rasa berat kalau harus melangkahkan ke sana. Entahlah, Alifia tidak tahu, mengapa Dipta ada di sana. Mungkin mantan suaminya tengah berlibur di salah satu destinasi wisata dengan istri barunya atau sedang mencari lokasi strategis buat mengembangkan salah satu usahanya di bidang properti. Entah. Bagi Alifia apapun tentang Dipta sudah tidak berarti. Apapun tentang pria itu telah berakhir lima tahun yang lalu.
"Hayu, Teh. Bade Ka pasar?"
Beberapa angkot yang lewat di hadapannya mengajak Alifia agar naik dengan logat Sunda yang khas. Alifia menggeleng. Dia harus mengambil beberapa jenis kue dulu ke tempat Bu Idah. Kalau naik angkot harus bayar tiga ribu lima ratus, sayang kan, karena masih bisa jalan kaki. Tiga ribu lima ratus, bisa buat jajan Afgan dan Raizan sekolah agama.
Langkah Alifia gegas menyusuri trotoar sebelah timur alun-alun. Melintasi deretan kios penjual aneka barang. Rumah Bu Idah masuk gang tak jauh dari swalayan tak jauh dari tempatnya berada.
Rabbi, semoga dagangan hari ini lebih laris. Alifia terus berdoa. Ingin rasanya kalau pulang membawakan kue pesanan Zahra.
"Tit...."
"Astaghfirullah."
Sebuah mobil jenis SUV tiba- tiba muncul dari belakang Alifia dan hampir menyerempet tubuhnya. Alifia sedikit gemetar, menyadari dirinya berjalan sedikit ke tengah karena melamun. Akhir- akhir ini Alifia sedikit banyak pikiran.buat seseorang seperti dirinya, hidup kadang tidak mudah.
"Jalan itu di pinggir, bukan di tengah. Lagian jalan itu jangan sambil melamun. Dasar. Eh ..Ka-kamu?" Perempuan yang duduk di samping pria yang sedang menyetir dan sangat dikenal Alifia sejenak menghentikan makiannya . Perempuan yang tampil cetar itu tampak sangat terkejut. Tapi hanya sebentar, sesat melihat wajah letih Alifia, perempuan itu melengkungkan garis senyum yang mengejek.
"Alifia, Papah itu Alifia kan?" Perempuan dengan alis dilukis dan mata bersoftlens abu- abu itu sibuk menunjuk ke arah dirinya.
"Kamu Alifia bukan? Wanita yang lima tahun diusir suamiku?" Yuni terkekeh membuat paras Alifia berubah merah. Bagaimanapun Alifia hanyalah wanita biasa. Peristiwa malam pengusiran itu adalah malam paling kelam sekaligus tidak terlupakan.
"Betul, akulah Alifia." Alifia menjawab perlahan. Tapi suaranya begitu jelas di telinga Dipta, jauh menjangkau lubuk hatinya hadirkan begitu banyak kisah cinta Dan kenangan indah.
"Akulah Alifia, perempuan yang kau fitnah lima tahun yang lalu," lanjut Alifia dingin. Kini wajahnya lurus ke arah dua orang yang duduk di dalam mobil. Dua orang yang telah menggores luka begitu dalam untuk hidupnya.
Berbanding terbalik dengan Yuni yang tidak menduga pertemuan dengannya, Alifia terlihat begitu tenang. Wajahnya tidak berubah, pun tatapannya. Senyumnya datar saat pandangannya beradu dengan tatapan pria yang kemarin mengejarnya di alun- alun. Tatapan Dipta, tatapan pria yang namanya telah dia buang jauh- jauh seiring waktu yang mengajarinya tentang luka dan pengkhianatan.
"Stop, Pah. Parkirkan lebih pinggir. Aku mau turun." Yuni melirik suaminya. Dengan kepala tegak dan senyum mengejek Yuni keluar dan berdiri menantang di hadapan Alifia, berharap perempuan di depannya mengkeret ketakutan.
Sayangnya Yuni salah besar, Alifia tidak ketakutan apalagi gemetar, dengan langkah sangat tenang Alifia mendekati Yuni.
Senyuman Alifia yang dingin dan misterius, bukan hanya meruntuhkan keangkuhan Yuni, tapi seolah siap******segala kebohongan tentang dosa dan pengkhianatan dirinya, yang lima tahun lalu Yuni teriakkan, dan membuat hidup dan dirinya hancur.
"Kamu. Masih bisa mengangkat muka di hadapanku? Cih."
Yuni mendecih.
"Aku bahkan tidak punya alasan untuk menganggap dirimu sebagai manusia, Yuni."
" Apa?" Yuni melotot.