"Beneran cuma sebentar? Nanti malah ngelayap kemana- mana." Yuni mendelik, istri baruku yang cantik langsung menyemprot tajam. Seolah menyangsikan diriku yang ingin sekedar menghisap udara segar di luar.
"Iya, sebentar. Papa mau merokok di luar. Nanti balik lagi." Aku menjelaskan hati- hati. Cara Yuni menatapku yang penuh curiga membuatku harus berhati- hati agar tidak keseleo lidah dan salah menggunakan intonasi kalimat. Perempuan yang aku nikahi lima tahun lalu itu begitu cerewet.
"Kalau Yuna dan Pino nanyain?" Yuni yang sore ini tampil trendi dengan riasan make up cerah terlihat enggan. Istriku yang jelita ini memang malas jagain anak apalagi di arena bermain seperti ini.
"Bilangin, Papa nunggu di luar." Aku menunjuk ke luar, dimana masih ada beberapa bangku buat pengunjung yang ingin menikmati masakan khas kafe, sejenis ramen yang banyak varian rasanya dan aku rasa kurang cocok dengan lidahku, tempat ini familiar buat rekreasi keluarga karena menyatu dengan wahana permainan anak yang terletak di salah satu sudut dan di lantai dua gedung ini.
"Baiklah. Jangan lama- lama." Yuni merengut. Seolah akan menunaikan tugas berat, padahal arena bermain ini indor. Dia tinggal duduk memperhatikan Yuna dan Pino. Tapi begitulah Yuni, istriku ini memang manja luar biasa. Jangankan kerjaan rumah yang semuanya dikerjakan Asisten rumah tangga , hanya untuk menemani bermain anak pun begitu enggan. Hari- harinya begitu sibuk diisi acara dengan gank sosialitanya, shoping dan perawatan di salon mewah langganannya.
Aku menghela napas sedikit berat. Dulu, lima tahun lalu aku bahkan harus mentalak Alifia saat ingin mendapatkannya. Tapi...bukankah Alifia berselingkuh? Bukankah bukti perselingkuhan nya begitu banyak? Tapi mengapa setelah lima tahun Alifia pergi, ada sisi hatiku yang diam- diam selalu mengatakan kalau penilaian ku tentang Alifia salah. Ada sudut jiwaku yang selalu ragu.
Sudahlah, Dipta, Cukup. Alifia sudah mendapat karmanya, harusnya kau puas dan tertawa. Hatiku gemuruh. Betul, aku memang tertawa bersama Yuni, wanita cantik yang dipilihkan keluargaku. sayang, tawaku hambar.
Aku bernapas lega. Bisa juga melepaskan diri dari Yuni yang cerewet dan ribetnya sikap anak-anak yang terus minta dibimbing bermain. Yuna dan Pino tak henti- hentinya berlarian ke sana ke mari minta ditemani Papa.
Aku tidak duduk di depan kafe seperti janjiku pada Yuni. Entah mengapa aku malah membawa mobil untuk berhenti di alun- alun kota yang jaraknya dekat dan hanya butuh beberapa menit dari Ramen Iguana, tempat Yuni dan anak- anak berada.
Ada perasaan rindu pada tempat ini.
Berkali aku menghirup napas lega. Alun- alun belum lama berganti wajah, lebih asri dan moderen. Aku duduk di sudut timur di bawah pohon rindang.Mataku sejenak menatap beberapa anak laki- laki yang sedang bermain bola, usianya sekitar sepuluh tahun dan tujuh tahun, pasti seusia Afgan dan Raizan anak- anakku dari Alifia.
Ya Allah, sedang apa anak- anakku? Apakah kalian menatap hari- hari kalian dengan warna yang cerah? Atau haruskah kalian melewati hari sendirian dan suram saat ibu kalian berpindah dari satu pria ke pria lainnya? Aku mendengus pelan.
"Alifia, kau hanya butuh mengakui segala perbuatanmu dan minta maaf. Aku memaafkanmu." Aku melempar lima lebar foto Alifia yang tengah dipeluk pria tidak dikenal di sebuah sudut perbelanjaan yang sepi.
" Ini kan punyamu? Mau membantah apa lagi?" bentakku, murka. Kulihat wajahnya memucat. Dengan wajah keheranan dia memunguti foto yang aku lempar, sejenak tertegun dengan bibir gemetar
"Ini bukan aku."
Aku tertawa mengejek.
"Aku tidak mengenal pria ini. Aku memang pernah ada di tempat ini, ada yang mendorong dan aku ditolong pria dalam potret ini." Alifia menerangkan dengan suara terbata
"Alasan." Aku membentak murka. " Setelah banyak saksi dan bukti, masihkah kau berteriak mengakui sebagai wanita suci? Masihkah bibir penipumu sanggup berucap tentang kesetiaan? Non sense." Aku mendengus.
"Saksi? Saksi siapa?" Alifia makin gemetar.
" Mbak Nindi, Mbak Ayu dan ...Yuni. mereka yang sering mendapatimu keluar masuk hotel di saat aku tidak ada," cecarku tanpa ampun.
" Masih mau membantah apalagi? Tiga saksi lebih dari cukup untuk menyatakan kalau kau wanita jalang yang murahan, Alifia." Aku menggebrak meja. Mata Alifia langsung berkaca. Menatap dua orang kakak Perempuanku yang berdiri dengan pandangan dingin dan beku.
"Kalian tega membuat persaksian palsu atas dosa yang tidak pernah kulakukan?" Alifia menatap tidak berkedip ke arah dua orang kakakku.
"Jangan munafik. Kami menyaksikannya dengan mata kepala sendiri. Mau ngeles dan menghindari tuduhanmu, itu hakmu. Mana ada maling ngaku. Cuih." Mbak Nindi kakak tertuaku menatap tajam penuh kebencian.
"Astaghfirullah." Alifia tercekat kala itu. Menatapku memohon pembelaan.
" Mas. Aku...aku tidak pernah merasa mengkhianatimu. Demi Allah."
"Dusta. Gak usah dipercaya." Mbak Ayu membentak kasar.
" Alifia, kau tahu hatiku hancur. Tapi demi anak- anak kita, aku hanya minta kau mengakui kesalahanmu. Kau hanya perlu memohon ampun pada Allah, kau sudah melakukan dosa besar dengan menyerahkan kehormatanmu pada pria selainku." Suaraku tertahan. Hatiku benar- benar hancur. Rasa murka, benci dan tidak berdaya karena dari rahim Alifia telah lahir tiga buah cintaku menjadi satu. Aku kacau.
" Ayo, ngaku aja. Kalau kamu sudah berz* na...."
Astaghfirullah. Alifia terus- terusan beristighfar. Memuakan sekali. Sok suci.
"Mengakui dan minta maaf atau tidak?" Tanyaku menggelegar. Kulihat Alifia tergugu.
"Jawab, Alifia "
" Aku tidak akan mengakui dan meminta maaf atas dosa yang tidak kuperbuat." Ia bersikukuh. Keras kepala sekali
"Kamu...kamu tidak bersedia minta maaf padaku? Hanya minta maaf? Demi anak- anakmu.Demi rumah tangga kita." Suaraku bergetar .
" Maaf kan, jika aku tidak bisa."
"Kenapa tidak bisa?"
"Aku tidak mampu mengakui. Sesuatu yang tidak pernah aku lakukan." Alifia bertahan meski matanya penuh air mata.
"Sombong. Perempuan angkuh bahkan hanya sedikit membungkuk demi bahagiaan putra- putrimu," bentakku ketus.
" Mereka tidak akan bahagia jika menganggap aku seorang pezina. Aku tidak mau, mereka merasa dilahirkan dari perempuan yang tidak pantas dipanggil Ibu."
" Cukup. Alifia. Pergilah, bawa semua keangkuhanmu."
Aku menghela napas. Mengapa bayangan itu tidak pernah pergi dari hatiku? Mengapa episode saat aku mengusir Alifia, membakar semua surat berharganya termasuk ijazah dan semua bajunya masih menggores begitu dalam? Apakah karena mata Alifia yang berkaca dan menyimpan luka begitu membekas? Apakah karena dia tersedu saat aku berhasil meyakinkan keluarga besarnya kalau dia istri durhaka dan tak pantas untuk memiliki tempat kembali?
Alifia terduduk lunglai. Perempuan itu hancur dan kalah. Dalam sisa kekuatannya, dia tidak lagi mampu membela diri dan tidak pula punya tempat kembali.Satu- satunya kata yang keluar dari bibir pucatnya, dia meminta ketiga anakku dan sialnya aku setuju, asal dia pergi jauh dari hidupku. Dan...Alifia memang pergi jauh dari hidupku, Alifia tenggelam laksana di telan bumi. Tapi perasaan sangsi dan sepi itu tidak juga pergi. Kini lima tahun perempuan itu lenyap dalam hatiku, perlahan rasa kosong dan sunyi itu kian mendera. Mataku berkali menatap bocah laki- laki seusia Afgan dan Raizan yang masih berlari riang menendang bola di halaman rumput di depanku.
"Kopinya, Pak." Tiba- tiba sebuah suara pelan perempuan yang menawarkan kopi sekaligus membuyarkan lamunanku yang mengembara begitu jauh.
"Bapak, mau kopi?" Perempuan itu bertanya ulang. Aku sedikit kaget, dengan reflek mengarahkan pandanganku pada sosok wanita yang sedang berjongkok tak jauh dariku.
"Boleh. Bikinkan satu..." Belum selesai aku menjawab, mataku bertemu mata perempuan yang tadi menawarkan kopi. Jiwaku berdebar, bibirku bergetar saat tak kuasa mengucap sebuah nama.
"A-alifia?"
"Mas Dipta?" Wajah itu tidak kalah kaget.
"Kamu Alifia?" Aku mengulang tanya, ada perasaan campur aduk menjadi satu. Kemana rasa benciku yang pernah begitu membara untuk wanita yang kini tampak tergagap di hadapanku. Kemana perasan murka yang dulu pernah begitu berkobar sampai tega mengusirnya dengan lantang dan tanpa ampun?
Mengapa aku mendapati sosok Alifia yang tampak kurus, pucat dan lelah? Mengapa aku tidak mendapati sosok cantik yang glamour dan wah seperti sangkaanku yang menganggap Alifia menjadi petualang cinta dan hidup bergelimang kemanisan dunia? Mengapa aku tidak mendapati Alifia yang necis dan wangi? bahkan perempuan itu, bukan hanya tidak berubah, tapi sangat jauh dari yang aku bayangkan. Alifia hanya mengenakan gamis panjang yang sangat biasa kalau tidak bisa dibilang lusuh?
"Kamu menjadi penjual kopi asongan Alifia?" tanyaku antara tak percaya dan iba.
Perempuan yang kupanggil Alifia hanya terdiam, sesaat menghela napas.
"Apa yang salah jika aku menjual kopi asongan? Ijazahku sudah kau bakar, keluargaku pun sudah kau hasut habis- habisan agar mengusir dan menolakku?" Jawab Alifia pelan.
"Kenapa kau tidak ...?"
"Menjual diri seperti tuduhan keluargamu, sehingga aku bisa hidup makmur dan mewah?" Alifia tersenyum getir. Mengangsur secangkir kopi yang sudah diseduhnya.
"Aku sudah hancur dan terbuang Tak ada gunanya aku menjelaskan padamu." Alifia tersenyum getir. Tanpa di duga mantan istriku itu bangkit dan menyodorkan secangkir kopi panas yang sudah diseduh, harumnya menguar lembut, mengingatkan aku pada sosok istri penuh pengabdian bertahun silam. "Silahkan Pak, ini kopinya. Nama Alifia sudah lama mati. Tolong jangan sebut nama itu lagi." Suara perempuan yang kusadari sepenuhnya adalah Alifia yang pergi lima tahun lalu terdengar dingin dan datar.
" Maksudmu?"
"Tak ada lagi yang perlu dibicarakan tentang Alifia dan masa lalu. Oh ya, harga segelas kopinya tiga ribu, silahkan bayar dengan uang pas." Alifia menjawab pelan. Wajahnya melengos ke arah lain. Ada genangan air mata yang tak mampu dia sembunyikan dari wajah lelahnya yang terluka. Hatiku berdesir lirih, Wajah Alifia masih wajah yang dulu, meski terlihat lebih tirus, wajah itu masih sangat cantik dan teduh.
"Alifia tolong jelaskan ...kenapa kau memilih hidup yang keras seperti ini?" Aku tak sanggup menahan rasa penasaran dan juga...iba. Setengah tak sadar, Kuulurkan yang pecahan lima puluh ribu.
"Hidupku keras atau tidak, bukan urusanmu. Ini kembaliannya, terimakasih." Tanpa diduga. Wajah Alifia begitu datar saat memberikan uang kembaliannya.
" Alifia, tunggu..."
Entah mengapa aku lagi- lagi tak sadar ingin meraih tangan perempuan yang sejujurnya tidak mau pergi dari hatiku, saat Alifia mengibas dan menatapku dengan tatapan dingin.
"Jangan menyentuhku. Apapun tentang Alifia telah lama mati, Alifa telah mati lima tahun yang lalu, saat dengan tega engkau menuduhnya berzina, mentalak, menghancurkan harga diri, mengubur masa depan dan mencampakkan dirinya tanpa rasa iba. Dengar, sekali lagi Alifia sudah lama mati ...permisi."
Tanpa di duga. Alifia berdiri dan bergegas pergi.
" Tunggu." Aku mengejar tubuh mantan istriku yang kini tampak kurus.
" Alifia."
" Alifia."
Aku terus memanggil, tak kuhiraukan beberapa pasang mata yang menatapku heran. Alifia tidak menjawab apalagi melirik, membuat langkahku terus mengikutinya.
Angin dingin di seputaran taman kota ini tak mampu meredam gejolak hatiku yang bergemuruh. Langkah Alifia begitu cepat sampai berhenti, di pojok taman kota yang sepi, aku segera bersembunyi di balik sebuah pohon yang tumbuh agak jauh dari Alifia. Di depan sebuah bangku taman yang tampak catnya sebagian sudah memudar, perempuan itu berhenti dan berjongkok di hadapan tiga orang bocah kecil yang tampak girang melihat ibu mereka datang. Menyambut ibu mereka yang tidak henti menyeka air mata.
Dadaku berdebar luar biasa. Kali ini aku ibarat pria mabok yang baru siuman. Alifia memeluk buah hatiku Zahra, putri kecilku yang kini usianya sudah lima tahun lebih. Dulu saat pergi Zahra masih dalam buaian. Wajah Zahra begitu cantik dan lucu.
" Afgan, Raizan, bawa kereseknya, Nak. Sebentar lagi senja mau selesai. Kita solat Maghrib di rumah saja. Ya." Suara lbut Alifia menelisik begitu lembut.
" Mama, aku ingin beli seragam baru. Kata teman- teman, masak seragam ku bertahun- tahun tidak ganti." Afgan mengeluh. Alifia membelai lembut kepala putra tertuaku. Afgan sudah tumbuh besar, usianya hampir sepuluh tahun. Wajahku terpatri nyata dalam wajahnya.
"Sabar, ya, Nak. Mama janji akan berjuang lebih giat lagi, biar bisa beli seragam buat Afgan. Tersenyumlah, Allah suka dengan anak yang sabar dan tersenyum."
Aku menelan ludah. Suara itu ..suara yang sama lima tahun yang lalu. Begitu teduh, begitu menenangkan. Dengan perasaan kacau balau, Kembali kupandangi sosok Alifia dan anak- anakku. Tak sedikitpun jejak pengkhianatan di raut wajahnya yang lembut dan teduh. Aku terus memandang tubuh kurus anak- anakku yang tampak kurang gizi dengan dada bergetar.
Rabbi, benarkah tuduhanku lima tahun lalu padanya? Hatiku resah. Senja makin merah, langit Garut , sebuah kota kecil di Priangan tempat aku berlibur akhir pekan bersama Yuni istri baruku yang manja dan glamour, kini mendadak hampa. Di balik pohon tempat aku berada, hanya mampu memandang sosok Alifia yang dengan senyum lembut menuntun anak- anakku berlalu jauh.
"Kakak, sekarang yang jadi imam." Suaranya terdengar samar diterbangkan angin.
"Boleh, Ma. Aku juga sudah hapal satu juz penuh bulan ini."
"Eneng sudah hafal suara Al-Qoriah, Ma." Kini Zahra yang melapor, suaranya terdengar riang.
"Hebat. Allah sayang sama anak- anak yang cinta Al- Qur'an."
Celoteh Alifia dan anak- anakku terdengar menjauh. Langit makin merah, saat aku ambruk di trotoar alun- alun kota. Ada air mata yang merembes di sudut mataku, ada rindu yang tidak mampu lagi aku tukar dengan perasaan benci. Di sini di sudut kota yang kian sunyi dan sepi, disaksikan langit yang kian merah. Aku merasakan kesangsianku makin besar atas perselingkuhan Alifia.
Ya Allah, jangan- jangan apapun tentang pengkhianatan Alifia, fitnah adanya. Dadaku berdebar tidak karuan, rasa ragu dan bersalah itu kian mendera seiring kumandang Adzan Maghrib yang terdengar syahdu dari pengeras suara mesjid Agung di sebrang tempat aku berdiri dengan hati yang tiba- tiba... terasa begitu hampa.