part 5


Sinar matahari menyengat panas ke muka bumi, dengan gagahnya memberi manfaat.
Dua perempuan bergandengan tangan melangkahkan kaki ke halaman rumah dengan ceria, diselingi canda ceria.

Bersama mengagumi indahnya suasana hati yang sedang diliputi bahagia.

"Assalamuakaikum." Ucapnya setelah mencapai pintu utama. Belum mendapat jawaban tapi keduanya sudah melangkah masuk karena dilihatnya seorang perempuan berlari dari dalam menyongsongnya.

"Waalaikum salam." Jawabnya dengan bahagia.
Mereka berpelukan melepas rindu. Selalu begitu.

Bukan karena mereka jarang ketemu, namun karena rindu mereka seakan tiada bertepi, cinta yang tiada bersyarat, membuihkan rindu yang tak pernah mati.

"Sepi amat, Nay ?"  Zulfa membuka obrolan setelah memindai ruangan yang luas.

"Kalau mau ramai ke depan, keseberang jalan, ke swalayan itu."  menjawab dengan tawa. Dia mendahului kedua perempuan yang datang untuk duduk di kursi kayu berukir yang ada ditengah ruangan.

"Dari mana saja?" Tanyaku.

"Dari rumah, sengaja. Janjian sama Laila untuk kesini. Kangen." 

"Bukan kangen. Kangeeeeeennnn sekali ." ceria  Laila, menimpali ucapan Zulfa. 

"Suamimu, dak ada ?" Tanya Zulfa lagi.

"Mestinya kakak tadi ketemu didepan, dia belum lama keluar."

"Ooohhhh. Ya udah dak penting juga."

"Iya, yang penting kan kita. Kakak tadi naik apa kok dak ada kendaraan ."

"Naik andong." Jawab keduanya bersamaan. Lalu tertawa. Terbayang waktu yang telah dihabiskan diatas andong dengan kepala yang mengangguk-angguk, terasa mengasyikkan, padahal jarak rumah kak Zulfa yang paling jauh, dua puluh kilometer, tujuh kilo meter kemudian melewati rumah kak Laila,  dari rumah ini.

"Bila saja bisa, ingin rasanya memutar kembali waktu.  Menikmati aroma padi menguning, berlarian, ditepian sawah, memetik sendiri sayur, tomat, lombok untuk dimasak bersama, menunggu bapak yang memanjat pohon kelapa, dan bapak akan selalu berteriak, 

"Jangan dekat-dekat, agak menjauh. !" Karena takut buah kelapanya menggelinding, atau bahkan jatuh mengenai kita. 

Pergi ke pasar kota naik andong, dan pulangnya kita makan soto atau rawon di depo ijo,  depot terkenal di kota ini, dulu." Kak Zulfa menerawang.

"Ih, kakak. Dak usah putar waktulah. Kita bisa eksekusi kenanganmu itu hari ini."  Aku berdiri, "Ayo." Ajakku.

Aku mendahului langkah mereka. 

Penuh suka cita, memetik sayur, tomat  lombok. Dan langsung  masak bersama. 

Sejenak melupakan keluarga, ceria berkumpul bersama saudara.

----
Dulu, selepas Zulfa Lulus Sekolah lanjutan atas, delapan tahun melakoni menjadi buruh migran Indonesia di Taiwan. Tiga petak sawah yang ada dibelakang rumah keprabon ini adalah bukti jerih payah Zulfa, agar bapaknya tidak menjadi petani penggarap lagi.

Delapan tahun menjadi bmi, pulang saat usianya dua puluh enam tahun, pada usia yang tidak lagi muda ia berangkat kuliah, atas paksaan bapak dan ibunya. Alhamdulillah, selesai kuliah ia bisa mengamalkan ilmunya, hingga ia menjadi Pegawai Negeri, kemudian menikah.

Mengenai Laila, lepas SMK ia juga menyusul kakaknya ke Taiwan, menjadi buruh migran juga. Ia juga berhasil membelikan  sawah tiga petak yang ada di belakang rumah, bersebelahan dengan sawah yang dibeli Zulfa.
Ia juga melanjutkan kuliah pada usia yang ke dua puluh enam.

Dulu, lima tahun yang lalu, sebelum orang tuanya meninggal, baik Zulfa ataupun Laila selalu mendapat pembagian dari hasil panen.
Tapi setelah kedua orang tuanya tiada, kedua saudaranya itu tidak pernah menanyakannya.
Yang mengolahnyapun tak pernah memikirkan.
Jadilah semua seperti sekarang ini, tidak transparan.

Mengapa bisa begitu ? Karena baik Zulfa ataupun Laila tidak menyinggung perihal sawah yang sebenarnya surat kepemilikannya ada padanya, juga atas namanya.

// Nah lho...Rizki, jangan belagu //

Rumah keprabon ini bisa bernilai jual yang tinggi, karena selain memang rumahnya unik, langka, tanahnya luas, juga ada lahan yang cukup luas dibelakang rumah, tembus ke jalan utama antar propinsi, yang di seberang jalannya terdapat perbukitan yang dijadikan tempat wisata.

------

Nah, wajar kan bila aku marah saat suamiku mengatai kak Laila " benalu" hanya karena dia punya hutang tujuh juta saja.

Lalu dia pergi, sudah tiga hari tak pulang tak memberi kabar juga. 

Memikirkannya? pasti.

Tapi ada rasa lain yang kusimpan yang ingin kuungkapkan nantinya.

*****

Komentar

Login untuk melihat komentar!