part 8




Menjadi pahlawan di keluargaku, adalah harapan terbesarku. 

"Nilai tanah itu menghabiskan seluruh gaji Zulfa selama lima tahun di Taiwan."  Suara Bapak, tegas dan terasa menggelegar.

"Berarti, uangmu masih sisa gaji satu tahun. Bisa dong aku pinjam."

"Allahu Akbar." suara Ibu terdengar syok.

"Aku ini mau pinjam, mbak yu. Penjenengan kok begitu histeris, sepertinya aku ini mau merampok  sampai menyebut Allah segala."

"Maaf paklik, uangku memang sudah habis. "

"Kamu takut aku tidak bisa mengembalikan?"

"Seratus juta memang banyak, Paklik. Wajar bila aku takut tidak dikembalikan...."

"Naaahhh.... benar kan dugaanku. Kamu itu kacang lupa kulitnya, Zul. Kamu dulu juga sama miskinnya seperti saya. Sekarang setelah kamu kaya....tidak mau menolong Paklikmu sendiri. Lha penjenengan kok yo sama dengan anakmu. Mbakyu, apa memang kamu yang mengajari Zulfa supaya perhitungan sama saudara, ingat ya kita ini saudara, walaupun kamu kaya, uangmu banyak,  tanahmu laksana merak  terbang,  tidak akan bisa mengelak ikatan tali persaudaraan kita."

"Sik tho. Maksudmu piye Le, Zulfa kamu tuduh kacang lupa kulitnya itu yang mana ? Aku kok ora ngerti karepmu." Ibu mulai tersulut emosi. Aku mendengarkan dari balik pintu dengan dada yang berdebar. 

"Anakmu itu kau ajari kikir? Kau ajari pelit ?"
Kau ajari tutup mata  tutup telinga, menyaksikan kesusahan saudaranya. Jangan mentang-mentang sudah kaya dak bakal butuh saudara, dak bakal butuh tetangga. Ingat mbakyu, walaupun kekayaannya tak habis dimakan tujuh turunan, tetap tidak bisa hidup sendiri. Sudah mati saja masih butuh orang lain. "

"Lha iya tho, mana ada orang mati berjalan sendiri ke kuburan, tapi kamu itu wong atase mung arep utang lha kok pakai marah. Kalau sudah dibilangi dengan jujur, kok masih mengorek,  terus maumu itu apa ?"

"Paklik,  duduk saja dulu. Biar Zulfa yang menjelaskan. Memang gaji Zulfa yang lima tahun sudah habis untuk membayar tanah yang biasa bapak kerjakan itu."

"Iya, bapakmu sudah katakan."

"Ya sudah. Berarti tidak ada masalah lagi kan. Intinya Zulfa tidak bisa membantu, paklik."

"Dhuk. Cah ayu. Aku bukan orang bodoh lho. Kalau memang kamu mau membantu Paklikmu ini, gajimu kan masih sisa sstu tahun, aku cuma mau pinjam sebentar, paling satu bulan. Nanti setelah mantu tak kembalikan, tak kasih bunga. Dah...paham ? Ngerti tho ?"

"Saya minta keihlasan hati Paklik, dengan kerendahan hati, sungguh sangat menyesal karena uang yang dimaksud Paklik itu sudah tidak ada.

Tolong dengarkan saya bicara, agar Paklik mengerti dan tidak salah faham."

"Ya...saya dengarkan."

"Benar, memang nilai tanah yang saya beli hanya menghabiskan gaji saya selama lima tahun. Yang satu tahun, bila Paklik ingin tahu.
Tentu aku gunakan untuk menyenangkan hati orang tuaku, saudaraku dan menyenangkan hatiku, agar merasakan bahagia, sesuai standar kebahagiaan kami. Bolehkan bila saya ingin membahagiakan keluargaku ?

Sekarang uang yang Paklik maksud sudah habis. Kalau Paklik tidak percaya, boleh melihat buku tabungan saya yang sekarang dipegang Bapak. Semuanya terperinci, aku tidak bohong bahwa gajiku langsung tsk transfer ke Bapak, aku hanya memakai uang lembur dan bonus dari majikan."

"Oo... begitu tho, Dhuk. Maaf bila Paklikmu ini ngotot ingin pinjam uangmu."

"Dak apa-apa, Paklik. Semoga Paklik mendapat pinjaman dari orang lain."


*****

Saat tiba acara pernikahan di rumah Paklik Robi, tak satupun keluargaku yang menghadiri acara tersebut.

Bukan karena keluargaku tidak mau datang, tapi  karena memang tidah ada yang diundang. 

Malu memang, tetangga kiri kanan semua diundang ke resepsi pernikahan saudara sepupu, kami yang saudara dekat tidak ada yang datang. 

"Sudah, tidak apa. Jangan dijadikan beban pikiran. Kalau datang ketempat orang yang ditimpa musibah, kita tidak perlu diundang, wajib segera datang. Tapi kalau ketempat saudara yang mengadakan pesta, tidak pantas kita datang tanpa diundang, walau itu saudara sendiri."  Bapak membesarkan hati kami.

Bahkan, hari itu. Sehari penuh keluargaku tidak keluar rumah. Bapak tidak ke kebun, ibu juga tidak jualan nasi uduk. Kami hanya menghabiskan  waktu dengan duduk-duduk dirumah, masak, makan, nonton tv.


Uang memang selalu menjadi sumber masalah.

Tak ada uang juga jadi masalah. ada uang juga mendatangkan masalah.

Apakah uang menjadi segalanya?

"Tidak Nay, uang bukan segalanya. Tapi tanpa uang semuanya tak bisa berjalan. Karena itu kak Zulfa akan segera balik bekerja agar mendapatkan uang, kau lanjut kuliah. Alhamdulillah kita sudah punya lahan sendiri, jadi Bapak tidak harus banting tulang  peras keringat untuk membiayai kamu kuliah."

"Tapi kak, aku juga ingin seperti kakak, keluar negeri, dapat uang banyak..."

"Uang bukan segalanya. Ingat itu. Nurut sama kakak."

"Hhiiihhhh. !" Kuinjakkankan kakiku dengan keras ke lantai. Aku tunjukkan kemarahanku. Tapi kak Zulfa malah tertawa terpingksl-pingkal.

"Baru kali ini aku melihatmu semarah ini, tapi kamu itu adik manis, wajahmu tidak pantas kau buat bengis begitu. Wajahmu terlalu manis, Nay...." 

*****

"Terimalah takdirmu, menemani bapak dan ibu dirumah, melanjutkan kuliah walau hanya di kota kecil ini,  raihlah titel Sarjana, syukur-syukur bila pendidikanmu hingga S 2. Aku akan bangga padamu ."

Setelah itu kak Zulfa berangkat lagi.

Komentar

Login untuk melihat komentar!