※ HAPPY READING ※
🍂 Senja menghampiri gelap
Dalam remang berlabuh harapan
Namun malam hadir tanpa sinar
Membuat nyawa seakan sirna 🍂
Malam larut namun mata tak terpejam. Entah pikiran atau hati yang berkelana. Raga seakan tak berdaya dalam kegelisahan yang amat dalam. Bayangan mama Sisi menerawang akan sebuah kehancuran.
Airmata tak terasa menetes namun bibir kelu untuk berbicara. Dalam remang cahaya kamar, ia hanya bisa memandang suaminya yang tak berdaya. Suaranya dia bungkam dalam-dalam. Pada siapa akan bercerita sedang dirinya hanya memiliki keluarga kecil ini.
Bukan mama Sisi tak memiliki saudara namun kesedihan tak mungkin banyak orang yang akan menopangnya. Inilah hukum alam.
Pasrah dan berdoa yang bisa ia lakukan. Mungkin tabungannya hanya bisa menopang hidup mereka untuk beberapa bulan saja. Dan anak-anak pasti akan putus dalam kuliahnya.
Hati ingin menjerit, menangis sekencang-kencangnya bahkan memaki siapa saja. Tapi apa guna semua itu. Semakin kita berontak semakin sengsara itu terasa.
Perlahan mata lelah dalam bayangan itu terlelap dalam mimpi sesaatnya. Namun di lain kamar, anak gadis itu menangis dalam sunyi.
"Ma-pa, Amei ngak akan biarkan kalian menderita. Apapun akan Amei lakukan untuk kalian," lirih Amei dalam isak tangisnya.
Perlahan Amei bangkit dari duduknya mengambil sebuah album keluarga. Ia buka lembar demi lembar dari masa kecil yang lucu hingga ke gede sekarang.
Begitu banyak ceria yang Amei dapatkan dari mama papa. Dan sekarang waktunya ia ganti berjuang untuk mereka.
"Kasih sayang kalian sudah cukup untukku berjuang. Maa paa, walau Amei tak tahu apa-apa tapi aku punya tenaga yang bisa aku gunakan untuk bekerja," gumannya lirih.
Tanpa terasa mata itu terpejam dalam tangisan sambil memeluk album foto.
***
"Bagaimana berkasnya, Bu? Sudah bisa dipahami belum?" tanya Firman.
Mama Sisi menghela napas panjang dan menaruh bokongnya di kursi dengan lesu."Aku nyerah, Fir. Semua juga sudah terlambat," keluhnya.
Firman yang mendengar jawaban mama Sisi menundukkan kepala. "Terus apa rencana ibu selanjutnya?" Firman mencoba membuka percakapan.
"Kita tunggu kedatangan mereka dan ikuti permainan, serta pertahankan karyawan, bagaimanapun karyawan banyak berjasa buat perusahaan ini," tegas mama Sisi.
"Baiklah, Bu. Kita simpan rahasia ini dulu. Kasian karyawan kalau tahu, pasti bisa buat mereka resah," tegas Firman.
"Cemerlang juga ide kamu," salut mama Sisi sambil menepuk pelan punggung Firman.
"Tentang keadaan keluarga ibu bagaimana nanti?" ucap Firman kwatir.
"Jangan pikirkan kita, mungkin sudah suratan kami harus begini," jawab mama Sisi lirih.
"Bu, kalau perlu bantuan jangan sungkan hubungi saya. Walau tak seberapa mungkin bisa membantu," tawar Firman.
Firman teringat akan kebaikan pak Zen disaat ayahnya sedang terbaring tak berdaya di rumahsakit. Berkat pak Zen kini ayahnya bisa dibilang jauh lebih baik keadaannya.
"Terima kasih, Fir, doain kami saja bisa melalui ini semua," jawab mama Sisi. "Oh ya, hubungi aku sewaktu-waktu bila pihak perusahaannya ngajak bertemu."
Firman menganggukkan kepala, tak terpikir oleh dia juga, perusahaan yang menampungnya bekerja selama hampir sepuluh tahun mengalami peristiwa seperti ini.
Mama Sisi melangkah gontai meninggalkan perusahaan, ia cermati setiap celah yang dilewati. Batinnya menjerit dengan apa yang terjadi.
***
"Meii! Tunggu!" teriak Yeyen saat melihat Amei hendak menghindarinya.
Terpaksa Amei hentikan langkahnya dan membalikkan badannya. Wajahnya yang lesu sangat terlihat jelas.
"Kamu kenapa menghindari aku?" tanya Yeyen.
"Maaf, aku hanya ada urusan saja kok,"
"Mata kamu berkata lain, cerita ya?" bujuk Yeyen.
"Macam paranormal saja kamu nebak-nebak," canda Amei.
"Aku tahu kamu ngak bisa berbohong, apalagi didepanku," ucap Yeyen.
Amei menghela napas dan membalikkan badan hendak pergi. Tapi dengan cepat tangan Yeyen meraihnya hingga membuat Amei jatuh dalam pelukannya.
"Lepasin, Yen," berontak Amei.
"Sebelum kamu cerita aku tak akan lepasin!"
Semakin Amei berontak ingin menghindari Yeyen tapi semakin kuat cengkeraman tangan itu. Dan saat bergerak tanpa sengaja bibir Yeyen menempel di pipi lembut itu.
Amei memalingkan muka, "Kamu nyari kesempatan!"
"Kamu yang gerak terus membuatku semakin erat memelukmu," bela Yeyen. "Cerita nggak atau aku cium lagi."
"Apa-apaan sih kamu! Lepasin!"
Yeyen melekatkan wajahnya hingga membuat Amei tak bisa berkutik. Ia tempelkan bibirnya ke bibir Amei dengan tatapan teduh. Tak kuasa dengan tatapan itu, Amei pun memejamkan matanya.
"Apa kau pikir dengan menghindariku, kau akan selamat," lirih Yeyen menggetarkan hati Amei.
Belum sempat Amei menjawab, bibir mungilnya sudah larut dalam ciuman mesra Yeyen. Sesaat mereka tenggelam dalam desiran napas yang menggejolak.
Perlahan Yeyen lepaskan ciuman itu dan merenggangkan pelukannya.
"Gila kamu ya!" bentak Amei seketika.
"Bukankah kamu juga menikmati," ledek Yeyen.
"Kamu nambahi pusing aku saja," gerutu Amei manja.
Entah apa membuat Yeyen semakin ingin dekat dengan Amei. Bukankah cintanya hanya pura-pura. Ataukah ia mulai larut dalam butiran asmara yang nyata.
Yeyen kendalikan dirimu, kamu hanya butuh informasi bukan kecupan mesra bibir mungilnya. Aaah! Rasanya aku ingin mendekapnya. Biarkan aku menikmati sedikit dari dirinya.
Yeyen pun kembali meraih Amei dalam pelukannya.
"Lepasin aku, Yen. Ini kampus ya!" teriak Amei.
"Masa bodo! Mau di kampus atau di tempat umum sekalipun, tak peduli. Kamu tahu! Apapun bisa ku lakukan dan ingat! Aku benci dicuekin," sergap Yeyen.
"Aku tahu! Tapi kamu nggak berhak atas semua masalahku,"
"Masalah! Masalah apa, Mei? Cerita! Cerita ke aku," pinta Yeyen.
Amei terduduk lemas, "Memang rasanya percuma aku menghindari kamu."
"Terus! Apakah kamu masih nggak mau cerita?" bujuk Yeyen untuk beberapa kalinya.
"Perusahaan papa kini dalam kendali perusahaan lain, dengan curang dia membodohi papa," lirih Amei.
Senyum kemenangan sinis tersirat dari bibir Yeyen. Namun tak disadari oleh Amei.
"Ini yang ingin aku dengar dari mulutmu, sayang. Tapi maaf! Ini belum seberapa dan baru permulaan. Karena aku masih banyak rencana untuk kalian," batin Yeyen.
"Jangan sedih ya sayang? Aku ada untukmu," ucap Yeyen menenangkan Amei.
Amei langsung memeluk Yeyen dan meluapkan tangisnya. "Papa ku stroke, Yen," bisik Amei.
Yeyen sedikit terkaget tapi batinnya tertawa puas.
"Sabar ya, entar aku pikirkan jalan keluarnya. Mau ikut kuliah atau bolos nih?" canda Yeyen sambil membelai lembut rambut Amei.
"Aku sudah nggak konsen kuliah, Yen,"
"Kenapa?"
"Pikiranku sudah kacau sepertinya tak mungkin bisa meneruskan karena biaya," keluh Amei.
"Entar aku bantu, sayang,"
"Enggak, Yen. Aku nggak suka dengan bantuan cuma-cuma. Dan pasti mama melarangnya,"
"Hei! Aku pacar kamu dan akan menikahimu esok," ucap Yeyen menyakinkan.
"Dan aku bukan orang yang suka berpangku tangan!" sinis Amei.
"Ok-ok, aku antar pulang saja. Entar bicara baik-baik sama mama kamu. Tentang tawaranku, bagaimana?"
"Aku ingin bertemu dengan keluargamu saja," tanya balik Amei.
"Amei, mamaku belum pulang. Mama masih diluar jawa ngurusi perusahaan," alasan Yeyen.
"Kenapa sih, setiap kali aku ingin bertemu dengan keluargamu selalu saja ada alasan," ketus Amei kesal.
Yeyen menghela napas dan mengerutkan dahinya seakan berpikir sesuatu. "Entar kalau mama sudah pulang aku ajak kerumah kamu, sekarang kita selesaikan dulu urusan mu," ucap Yeyen.
Tak dapat berbuat apa, setiap kali mendengar ucapan lembut Yeyen membuat hati Amei luluh. Ia pun selalu nuruti kemauannya.
Melangkah lah walau dalam kerapuhan. Tersenyumlah untuk menenggelamkan duka. Karena jiwa tegar ada bersama hati yang kuat.
By: Li mei/Amei.
Hai kak, terima kasih sudah mau mampir. Jangan lupa vomen krisannya ya. Makasih ❤❤❤