🦄 HAPPY READING 🦄
* Henti langkah membungkus harapan
Tertatih menggapai angan dihati
Sejenak terpaku dalam sebuah angan
Sadar akan sebuah misteri *
Tok tok tok!
Aling dan Feby telah berdiri didepan pintu rumah Amei.
Langkah pelan seakan tak ada semangat itu membuka pintu dan menyunggingkan sebuah senyum palsu. Dia lah mama Sisi yang mencoba tetap tegar demi buah hati.
"Eh Aling dan Feby, lama kalian nggak main kesini ya," sapa mama Sisi.
"Ya, tan. Gimana keadaan tante dan om?" jawab Aling.
"Tan, maaf ini ada sedikit buah buat om," saut Feby.
"Kalian kenapa repot-repot pakai bawa buah segala."
"Nggak apa, tan. Maaf cuma sedikit," jawab Feby.
"Oh ya, tan. Amei nya ada?" saut Aling.
"Ada kok, sampai lupa ngajak kalian masuk. Langsung saja ke kamar ya, Amei ada didalam kok," ucap mama Sisi.
Aling dan Feby tersenyum. "Ya, tan. Makasih," jawab mereka bersamaan.
Agak sedikit rasa lain yang mereka rasakan saat bertemu mama Sisi. Tapi niatnya ingin bertemu Amei, rasa itupun mereka abaikan.
"Ameeii!" panggil Aling dan Feby bersamaan.
Sejenak tanpa ada jawaban yang mereka tunggu.
Mereka pun memanggil kembali, "Ameeii."
Lagi, lagi tak ada jawaban. Membuat Aling dan Feby saling menatap.
"Buka pintu saja," ucap Feby yang tak sabar.
"Tapii ...." jawab Aling merasa takut.
"Hmm," ucap Feby sambil menghela napas dan membuka pintu kamar Amei.
Kembali Aling dan Feby saling menatap bahkan saling mengangga saat melihat Amei didekat jendela dalam tatapan kosong.
"Meii! Ameeii!" teriak Aling dan Feby bersamaan sambil berjalan mendekati Amei.
Aling pun memegang pelan pundak Amei, "Amei," sambil menggoyangkan sedikit badan Amei.
Sekejap membuat Amei kaget dan tersadar dari lamunannya, "Kalian," Amei pun berdiri dan memeluk sahabatnya.
Pecahlah tangis Amei melihat sahabat-sahabatnya datang menjenguknya.
"Maafkan a-aku tak ngasih kabar kalian huuwaa," ucap Amei sambil menangis.
Melihat Amei dalam keadaan seperti itu dan menangis membuat mereka pun ikut menangis. Batin seorang sahabat ikut merasakan kepedihan sahabatnya.
"Sudah, Mei, jangan sedih lagi ya," ucap Feby sambil menghapus air matanya.
Perlahan Aling menghapus airmata Amei, "Ya, Mei. Kami ada untukmu."
Mungkin bukan materi yang bisa mereka bantu tapi sandaran pundak amatlah berarti untuk sejenak melepaskan kesedihan.
Amei pun mulai bercerita dari awal hingga akhir yang keluarganya alami.
Seakan tak percaya Aling dan Feby mendengarnya. Kalau kak Syan tega dengan keluarganya sendiri.
"Gila banget kak Syan," teriak Feby ikut emosi. "Mikir apa sih bisa melakukan hal seperti itu."
"Bukankah dia begitu sayang sama kamu, Mei? Aku nggak habis pikir kalau kak Syan setega itu," saut Aling ikut-ikutan panas.
"Entahlah! Itulah kenapa aku menjadi terpuruk seperti ini," ucap Amei lemas.
"Rencana kamu sekarang apa, Mei," tanya Feby.
Aling paham kenapa Feby bertanya seperti itu. Mereka ingin tahu kemana arah Amei melangkah. Seperti apapun mereka tak ingin sahabatnya hancur dalam keterpurukan.
"Aku ingin bekerja, tapi tak tahu kemana dan bekerja apa. Setidaknya bisa membantu mama meringankan beban. Bagian dari perusahaan hanya cukup untuk papa berobat," papar Amei.
Aling mengerutkan dahinya seakan sedang berpikir sesuatu.
Feby yang melihat gaya Aling berpikir menjadi geli. "Gaya kamu, Ling, seperti profesor berpikir saja pakai muter-muterin mata," ledeknya.
"Apaan sih! Aku lagi mikir beneran nih," protes Aling, "Bentar-bentar bagaimana kalau kerja ikut papaku saja."
"Amei kan lain jurusan oon," saut Feby.
Aling tersenyum nyengir sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Bener juga ya, lupa aku."
"Gaya mikir saja seperti ok-ok bener, tapi nggak nyambung!" sergap Feby didekat telinga Aling.
"Jangan nyolot dong, budek telinga aku entar," gerutu Aling sok imut.
Sedikit tersenyum wajah Amei mendengar perdebatan sahabat-sahabatnya."Aku nggak ingin kerja di Jawa."
"Hah!" jawab Feby melotot.
"Terus mau kemana, Mei?" Tanya Aling.
Amei hanya menggelengkan kepalanya sambil mengangkat tangannya tanda tak tahu.
"Yeyen!" saut Aling dan Feby bersamaan sambil mengangkat telunjuknya.
"Tapii ...." jawab Amei.
Aling mendekatkan duduk nya disebelah Amei. "Itu tugas kami bicara sama Yeyen."
"Ya, Mei, siapa tahu dia punya masukan buat kamu."
"Pernah sih, dia mau ngasih bantuan tapi aku nggak suka itu. Karena belum bertemu dengan nama nya, itu yang jadi alasanku," jelas Amei.
"Begini saja. Bagaimana kalau kamu terima tawaran dia tapi minta pekerja sama Yeyen, kan berarti bukan bantuan cuma-cuma," usul Aling.
"Tumben otak kamu encer, Ling," saut Feby.
Aling memukulkan buku yang dia pegang ke punggung Feby. "Serius ini ya!"
Feby pun nyengir kesakitan walau nggak sakit banget sambil mengelus-ngelus punggungnya. "Ya tahu, nyonya!" ledeknya.
"Sudah, Feb, jangan bercanda ah. Kasian Amei nih bingung."
"Ling, usul kamu ok juga. Tapi bagaimana aku bilang ke Yeyen," jawab Amei.
Feby berdiri dari duduknya dan menatap keluar jendela. "Dari jendela kau pandang keluar berharap ada yang datang menolong. Izinkan kami bicara ke Yeyen ya?"
"Wah! Sok puitis dan berwibawa kamu, Feb, tapi kaku gaya kamu," ledek Aling tertawa.
Plluuk!
Feby melempar bantal ke arah Aling. "Awas kamu ya ngatain aku!"
Akhirnya Amei pun bisa tertawa. Meraka bercanda, bercerita tanpa terasa petang mulai tiba. Aling dan Feby pun pamit pulang.
Ceria! Itulah yang dibutuhkan saat pikiran kalut agar bisa berpikir jernih. Tapi hal itu memang susah dilakukan apalagi oleh orang yang bener-bener lagi dalam keadaan depresi.
***
Lain dengan Yeyen yang tertawa lepas dengan pak Dadang. Ia bersulam untuk merayakan kemenangannya yang mulai nampak. Perusahaan memang sudah ditangan. Tapi belum membuat Yeyen puas.
"Terima kasih, pak, sudah membantu Yeyen mendapatkan ini semua," ucap Yeyen sambil menjabat tangan pak Dadang.
"Ini belum seberapa, mas, dibanding pengorbanan yang mama Lili berikan untuk keluarga saya," jawab Pak Dadang.
Pak Dadang terdiam sesaat dan menyandarkan tubuhnya di sofa. "Dulu mama Lili pernah mencarikan donor ginjal untuk istri saya, dan semua biaya ditanggung oleh beliau tanpa sepengetahuan kakek mas," papar pak Dadang yang tanpa sadar menetes air matanya.
Yeyen yang mendengar begitu kaget, tak menyangka mamanya rela membantu orang sedang dirinya dalam keterpurukan terpisah dengan putranya.
"Mama Lili orang baik dan lemah lembut, berbeda jauh dengan kakek mas yang keras kepala. Itu mengapa mama Lili selalu nurut akan perintah papanya," timpal pak Dadang.
Yeyen semakin merasa sayang dan takut kehilangan mama Lili. Untuk menyelamatkan dirinya beliau rela menahan sakit jauh dari putranya.
Pengorbanan seorang ibu memang luar biasa untuk melihat anak-anaknya bisa bahagia dan merasakan kedamaian dalam hidup.
Tapi entah setan apa yang membuat Yeyen masih ingin menyiksa pak Zen.
Rencana nya makin buruk untuk membuat keluarga itu menderita. Jauh menderita saat dia harus dibesarkan oleh orang lain. Sedang kasih sayang mama Linda sudah penuh layaknya seorang ibu yang menyanyangi putranya.
* Adakah hal yang lebih menderita selain jauh dari orang tua. Perlu kamu tahu! Hal itu tidak menderita tapi hati picikmu yang tak bisa menjalani dengan Ikhlas *
by; Amei.