PART 11// TAK HABIS PIKIR


🌼   HAPPY  READING   🌼

*  Tangan menggenggam hati pilu
    Kaki melangkah tenaga hampa
   Sorot tajam menembus luka
   Nanar tapak jalan dalam duka *

Pandai mencari celah untuk bisa masuk ke kandang lawan tanpa harus berperang. Itulah kelincahan Yeyen. Perlahan Ia masuk kedalam kupangan masalah keluarga Amei.

"Kamu yakin ingin bicara dengan mamaku, Yen," tanya Amei untuk kesekian kalinya.

"Harus berapa kali sih sayang, aku jelasin," jawab Yeyen memelas.

Bukan tak percaya tapi rasanya tak pantas membawa orang lain masuk dalam urusan konflik keluarga. Amei mencoba berpikir berulang-ulang, namun sorot mata Yeyen selalu membuatnya bungkam.

Siang itu Amei ajak Yeyen ke rumah bertemu dengan nama Sisi.

"Ma, kenalin teman Amei," ucap Amei ke mama Sisi.

"Kenapa teman sih sayang," protes Yeyen.

Amei tersenyum tipis, " Maaf."

"Tu kan protes cowoknya," saut mama Sisi.

"Kasihannya aku tak diakui," canda Yeyen sambil tersenyum tipis.

"Maafin Amei ya. Dia kadang suka bercanda," tangkas mama Sisi.

"Nggak apa-apa kok, Tan, Yeyen sudah apal sifat dia."

"Siapa tadi namanya?" Tanya mama Sisi sambil mengerutkan dahinya.

"Yeyen, tante."


Diruang tamu itu mereka berbicara hal yang agak serius. Membuat suasana serasa tegang. Tiba-tiba mereka dikagetkan oleh sebuah suara.


"Braakk!"


Suara begitu keras membuat semua menoleh ke Sumber suara.


"Kak Syan, apa-apa sih!" teriak Amei saat melihat kakaknya datang dengan membanting pintu.


"Syan kenapa kamu, sayang," lirih mama Sisi mengendalikan emosi karena sungkan dengan Yeyen.


Syan yang baru datang dari Singapura terlihat begitu kesal dan emosi. "Papa bodoh! Nggak pecus kerja, bikin aku menderita!" teriak Syan.


"Plaaakkk!"


Tamparan  mama Sisi mendarat cepat di pipi Syan.

"Mamaa! Beraninya  tampar Syan hanya untuk membela lelaki itu!" teriak Syan penuh emosi.


Riuh, kacau, pertengkaran pun tak bisa terelakkan.


"Kakak yang tak tahu diri! Berani mengumpat papa. Apa kamu hebat! Bahkan lebih jelek dari seorang pelancur!" umpat Amei membabi buta.


Syan semakin emosi dan hendak menampar Amei. Tapi dengan cepat tangan itu ditangkis oleh Yeyen.


"Hai! Siapa kamu berani menghadang aku!" sergap Syan.


"Kalau kamu cowok tak akan menampar wanita apalagi dia adikmu sendiri!" bentak Yeyen.


"Beraninya kamu membentak aku!"


"Untuk pria seperti kamu, aku bahkan lebih berani untuk melakukan apapun," tegas Yeyen.

"Sudah! Sudah! Hentikan ini semua," teriak mama Sisi dalam isak tangisnya.


Amei yang pusing melihat pertengkaran itu berlari ke kamar sambil menangis. "Aku benci kalian semua," teriaknya.


Sebuah pemandangan yang luar biasa, dan tak terpikirkan oleh Yeyen bisa menyaksikan kejadian seperti ini.


"Berdebatlah kalian sekeras mungkin. Ini belum sepadan dengan apa yang mama ku alami," batin Yeyen. "Rasanya tak perlu juga aku mengurusi mereka, mending pulang saja."


Tanpa pikir panjang Yeyen menyambar tasnya. "Tante, Yeyen permisi dulu. Maaf bila sikapku berlebihan," ucap Yeyen sambil melangkah keluar rumah.


"Maafin anak tante ya, nak," jawab mama Sisi.


"Cuiihh!" Syan memalingkan muka saat Yeyen berjalan di depannya.

"Selamat berperang sobat," bisik Yeyen yang berhenti sesaat disebelah Syan.


Yeyenpun lajukan Ninja kesayangan menuju rumahnya.


"Hahaha ... sejengkal lagi aku berhasil," teriak Yeyen tertawa lepas sesampai di rumah.


"Yeyen! Apa yang kamu ditertawakan," tanya mama Linda penasaran.

Mama yang membesarkan dirinya, tahu persis bagaimana watak anaknya merasa curiga.

"Nggak ada apa-apa, ma," jawab Yeyen berlalu menuju kamar.

"Kenapa aku sampai lupa kalau mama ada dirumah, bisa mampus kalau ketahuan," guman Yeyen.


Mama Linda mengerutkan dahinya seakan sedang memikirkan sesuatu. "Perasaanku aneh, sepertinya ada yang tak beres. Tapi bagaimana aku menyelidiki, tak mungkin pula aku tinggalkan Lili," lirih mama Linda bingung.


***


Amei merasakan kepiluan yang mendalam. Bahkan otaknya serasa buntu tak tahu harus berbuat apa. Hampa dan kosong pandangannya menerawang jauh menembus langit-langit kamarnya.


Sejenak ia mulai diam dalam isak tangisnya, tapi airmata itu tak mau berhenti.


Kring kring


Pandangannya beralih saat mendengar ponselnya berbunyi.
Aling sahabatnya sedang menelpon.

"Hai, Mei. Apa kabarmu?" Aling

"Ya, Ling,"

"Suara kamu, nangis ya?"

"Aku bingung, Ling, keadaan semakin kacau," jawab Amei dengan sesenggukan.

"Mei, aku main kesitu ya?" bujuk Aling ingin menenangkan sahabatnya.

"Jangan hari ini ya? Besok saja ketemu di kampus," kilah Amei.

"Kamu yakin baik-baik saja,"

"Aku masih pingin sendiri, Ling,"

"Ya sudah, jangan lupa makan ya, bye Amei." Aling mengakhiri panggilannya.


Amei letakkan ponselnya dan kembali melambungkan tinggi angannya. Hingga tak terasa terlelap dalam tidurnya dan tak pedulikan perutnya yang kosong.


***


Hari berganti pagi berharap pikiran menjadi lebih tenang setelah semalaman berkelana dalam mimpi. Namun suara bising itu begitu menusuk hati Amei.


"Gara-gara papa yang tak pecus mengurus perusahaan, sekarang aku harus riset dari kuliah dan hidup di kampung," teriak Syan kembali memenuhi ruangan membuat Amei kaget.


Amei pun langsung berlari ke ruang tengah menuju sumber suara. Disana ia lihat papa yang duduk di kursi roda lagi dibentak-bentak Syan kakaknya.


"Kakak! Bisa diam nggak sih!" saut Amei.

"Hai anak manja tahu apa kamu!" bentak Syan.

"Apa kakak nggak manja! Kuliah nggak lulus-lulus suka hamburin uang," balas Amei.


"Itu kewajiban orang tua buat anaknya senang," jawab Syan seakan tak memiliki kewajiban sebagai seorang anak. "Dan kamu papa tak berguna, kenapa tak mati saja biar nggak nambahi beban."


Paakk!

 Tamparan Amei mendarat di pipi Syan.

"Adek kurang ajar berani menampar kakak,"

"Kamu anak kurang ajar tak menghargai orang tua," ketus Amei.

"Ma ... ma ... maafin papa, nak," ucap papa Zen terputus-putus.

"Apa kamu bilang maaf. Cuih!" Syan begitu sinis.


Amei menatap garang Syan dan menghampiri papa Zen. "Nggak, pa, papa nggak salah kok," ucap Amei menenangkan papanya.


"Semua ini salah papa!" kembali Syan berteriak dan meninggalkan mereka berdua.

"Pergi saja kakak dari sini, kakak anak laki-laki bukannya menjadi penolong tapi makin membuat keadaan ruyam," teriak Amei semakin keras.

"Ok! Aku akan pergi dari sini dan jangan mencariku," sergap Syan.

"Pergi saja! Ada pun juga tak ada guna," seruan Amei semakin lantang.

Air mata papa Zen menetes membasahi pipi. Batinnya terasa tercabik-cabik mendengar ucapan anaknya. Bahkan kedua anaknya bertengkar tapi ia tak dapat berbuat apa-apa.


"Papa ke kamar saja ya?" Amei mendorong kursi roda papanya.


Mama Sisi yang sedari tadi dikamar tak sanggup keluar mendengar pertengkaran anak-anaknya. Ia pura-pura masuk ke kamar mandi saat melihat Amei membawa papa Zen masuk kamar.

"Papa istirahat dulu ya?" Amei sambil menolong papanya merebahkan tubuhnya.

"Oh ya, pa. Amei pamit kuliah dulu ya?"

"Ha-ha-hati-hati ya, nak," jawab papa Zen terbata-bata.


Kembali dan kembali Amei meneteskan airmata melihat keadaan papa yang tak berdaya. Dengan cepat ia membalikkan badan agar papa Zen tak melihatnya menangis.


Di ruang tengah Amei kebingungan mencari kontak mobilnya. "Apa aku taruh kamar ya," gumannya sambil menuju ke kamar.

Ia pun mencari-cari di meja riasnya tempat dimana Amei suka menaruh sesuatu namun hasilnya nihil. Tak terlintas dibenaknya untuk mengecek garasi apakah mobilnya masih ditempat atau tidak.


Amei pun kembali menuju ruang tengah mencari, siapa tahu mata nya kurang jeli melihat, tapi tak ia temukan juga.


"Ma, lihat kunci mobil Amei nggak?" teriaknya.

"Mama nggak lihat sayang, coba cek di mobil barangkali masih tertinggal disana," jawab mama Sisi.

"Ya sudah, ma. Amei sekalian pamit berangkat dulu ya," ucap Amei.

"Hati-hati ya sayang,"

Amei pun menuju garasi, namun kaget bukan kepalang. "Maa! Mobil Amei nggak ada," teriak Amei berlari menghampiri mama Sisi.


Mama Sisi pun berlari mendengar teriakan Amei. Ia langsung mengecek kamar Syan. "Syan ... Syan," panggil mama Sisi didepan kamar Syan.

"Buka saja, ma," pinta Amei.

Mama Sisi pun membuka kamar Syan. Betapa terkejutnya saat melihat kamar Syan berantakan dan surat-surat kendaraan tak ada ditempatinya.


"Hilang ... semua hilang! Apa yang kau pikirkan Syan! Kemana kamu pergi," teriak mama Sisi terduduk lemas tak berdaya.


Amei melotot melihat apa yang terjadi, otaknya kembali merasakan pukulan keras melihat tingkah laku kakaknya yang menambah masalah makin membengkak.


Hilang berganti menembus luka, namun derita takkan berakhir tanpa dihadapi. Bangkit dan tatap dunia dengan berani.
By; Amei

Terima kasih dan  ❤❤❤