PART 6 // KECURIGAAN

      🌺   HAPPY  READING   🌺

* Kala senja menyapa
  Ingin ku berlabuh kesana
  Singgah dan menatap sendu
  Sebuah senyum dibalik pilu *

Amei begitu penasaran mendengar cerita Feby hingga tak dapat memejamkan mata. Pikirannya melayang mencari jawaban tapi tak ia dapatkan.

Ia coba memancing pertanyaan ke Yeyen untuk mendapatkan informasi namun nihil. Dirinya di kelabui oleh akal licik Yeyen yang begitu halus.

"Haruskah aku bertahan dengan pria misterius seperti dia," guman Amei lirik di kamarnya.

Lamunan Amei buyar saat ponselnya bergetar. Perlahan ia raih ponsel dan menggeser layarnya.

Aling
"Amei, aku ngak bisa tidur mikir siapa ibu Yeyen sebenarnya."

Amei
"Apalagi aku, Ling. Aku barusan berpikir apa aku harus bertahan dengannya."

Aling
"Tanya gimana hati kamu lah! Siap ngak jauh dari dia."

Amei
"Itu dia! Hatiku saja kacau, tapi aku merasa perhatian dan sayangnya itu begitu nyaman. Aku bingung, Ling."

Aling
"Itu berarti kamu belum siap jauh sama dia. Ya sudah jalani saja dulu. Tidur yuk?"

Amei
"Katanya ngak bisa tidur, aneh kamu."

Aling
"Mataku sudah mau lengket nih. Malam, Amei."

Tut tuh tut
"Yiah! Sudah mati. Dasar Aling kalau sudah ngantuk ngak peduli gempa."

Malam semakin larut menenggelamkan pikiran gelisah dengan sebuah keraguan.

***

"Ma, besok kita pindahkan mama Lili kerumah saja ya?" ucap Yeyen saat menikmati sandwins sarapan paginya.

"Kenapa sayang?"

"Ngak apa-apa. Biar mama ngak harus bolak balik ke rumahsakit."

"Tapi ...."

"Entar Yeyen yang nyari izin beserta peralatan medis buat mama Lili dan dokter khusus."

"Kalau begitu mama baru setuju." jawab mama Linda sangat antusias.

Sambil berjalan menuju ruang depan Yeyen mendekati pak Dadang dan berbisik. "Pak Dadang, entar siang kita ketemu lagi di kantor."

Seperti sebuah isyarat, pak Dadang hanya tersenyum dan menganggu.

Yeyen mengambil tas dan kunci ninja kesayangannya. "Yeyen berangkat dulu, ma," teriaknya saat keluar rumah.

Tak selang lama di ikuti langkah pak Dadang yang hendak berangkat ke kantor. 

"Pak, tunggu." teriak mama Linda penuh curiga.

Panggilan itu menghentikan langkah pak Dadang. "Ya, bu."

"Aku perhatikan kalian seperti merencanakan sesuatu. Boleh tahu apa itu?"

"Maaf, bu. Semua ini hanya kuasa mas Yeyen, dan saya tak ingin melanggar sebuah kepercayaan." jawab pak Dadang begitu tegas.

"Dari dulu bapak ngak berubah. Kesetiaan bapak memang membuat aku salut. Ya sudahlah! Ku hanya berharap Yeyen tidak melakukan hal yang merugikan untuk dirinya sendiri." ucap mama Linda pasrah.

"Boleh saya pergi, bu." tanya pak Dadang meminta ijin.

Melinda dengan isyarat tangan mempersilahkan pak Dadang pergi.

Kembali rumah itu terasa sunyi. Rumah sebesar itu hanya ditempati Yeyen dan mama Linda serta beberapa asisten rumah tangga saja.

Mama Linda mengambil sebuah foto figura yang terpampang di sudut ruang tamu.

"Yen, mama harap kamu ngak salah paham dengan semua ini," ucap Melinda sembari memegang foto keluarga.

***

"Hallo sayang." Yeyen memeluk Amei dengan kecupan mesra di kening.

Amei pun bermanja dalam pelukan Yeyen, dan menyandarkan kepalanya di bahu Yeyen.

"Maaf ya kemarin ngak bisa ngajak kamu keluar."

"Ngak apa-apa kok sayang. Tapi entar bisa kan?"

"Bagaimana kalau malam entar aku jemput, sebagai ganti maaf aku kemarin."

"Janji."

Yeyen menganggukkan kepalanya. "Ayo masuk, sudah jam kuliah nih." dengan mesra Yeyen menggandeng Amei.

Mata kuliah cuma lima jam, tapi yang namanya belajar pasti terasa jemu juga. Apalagi buat Yeyen yang terlalu banyak rencana di otaknya. Serta urusan kantor yang mulai ia tekuni.

Seperti kemarin seusai jam kuliah Yeyen pulang dengan terburu-buru.

"Maaf sayang." Yeyen kabur begitu saja.

"Yeeen! Yiah cepet banget sih larinya. Bikin curiga saja nih orang." Amei ngomel-ngomel sendiri.

Amei meraih tasnya dan berjalan meninggalkan ruangan dengan langkah lesu.

"Hai." tepukan di pundak Amei dari belakang mengangetkannya.

"Apa sih." jawab Amei murung.

"Lesu banget kenapa?"

"Seperti kemarin, Ling."

"Langsung kabur tak bilang kemana gitu?"

Amei menganggukkan kepala dan sedikit manyun.

"Ikuti lagi ke rumahsakit gimana?"

"Aku takut, Ling."

"Terus! Berdiam diri nunggu dia cerita."

"Gimana lagi."

"Yang pasti dia ngak bakalan cerita. Misterius banget kalau aku lihat," saut Feby yang tiba-tiba muncul.

"Kenapa kamu bisa berasumsi begitu?"

"Secara tak ada sedikitpun yang dia ceritakan ke Amei. Siapa dia, orangtuanya, tinggal dimana? Aneh bukan?" ucap Feby dengan mengerutkan dahinya.

"Ya juga sih."

"Kalian sudah jalan hampir enam bulan lho, Mei. Ngak curiga pa kamu?" saut Aling.

Amei mengerutkan dahinya, terlihat sedang berpikir keras.

"Mei, mending kamu menjauh saja sama Yeyen. Aku takut terjadi apa-apa sama kamu." Aling merasa cemas.

"Ya, Mei. Aku juga takut." saut Feby.

"Tapi aku terlanjur sayang, gimana?"

"Hmmm." Aling dan Feby menghela napas bersamaan. "Berabe kalau sudah begini. Hati gaes ... hati."

"Kalian apaan sih."

"Ngak kok! Lagi bayangin film semalam ya, Ling," ucap Feby sambil ngedipin mata ke Aling.

"He em, seru ya, Feb?"

"Gitu kalian." Amei terlihat lesu.

"Makan yuk! Lapar nih." ajak Feby mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Aku juga," saut Aling.

"Tumben kamu, Ling. Urusan makan langsung nyaut," ucap Amei.

Aling nyengir sambil mengerutkan dahinya. "Hehehee."

***

"Pak Dadang, gimana saham perusahaan pak Zen, sudah mulai bisa kita pegang belum?"

"Baru langkah awal, mas."

"Ngak apa-apa, pelan asal pasti. Awas jangan ceroboh!"

"Ya, mas. Oh ya, mas, tadi mama Linda sempat curiga."

"Jangan sampai tercium oleh Mama Linda, bisa buyar rencana aku."

"Siap, mas."

"Tugas bapak menyelinap ke perusahaan pak Zen. Tugas aku ngurusi Amei. Dan ini rahasia kita!"

Pak Dadang menganggukkan kepalanya.

"Aku keluar dulu, pak. Ngurusi mama Lili."

"Ya, mas. Jaga mama Lili baik-baik. Dia sudah aku anggap seperti putriku sendiri."

"Ya, pak. Hanya bapak yang memiliki kasih sayang tulus buat mama Lili. Terima kasih, pak." Yeyen sambil memegang bahu Pak Dadang.

***

Dinner

"Malam sayang."

"Sayang ngak masuk dulu kenalan sama mama papa?"

"Boleh?"

"Ma ... pa ... kenalin ini Yeyen, cowok Amei."

Papa Zen menatap penuh tanya dari sorotan mata tajam Yeyen.

"Yeyen, om."

"Zen, papanya Amei."

"Sudah tau kok, om."

Semakin penuh selidik tatapan papa Zen ke Yeyen. Hati peka seorang ayah seperti mengalir di jiwa papa Zen.

Apa yang kau pikirkan, Zen.

Mama Sisi tersenyum ceria melihat putrinya begitu cerah. "Hati-hati dijalan ya, sayang."

"Ya, tante. Yeyen akan selalu jaga Amei kok."

"Amei berangkat dulu ya, ma pa?"

Papa Zen tersenyum. Ia rasakan aliran darah yang begitu hebat saat berjabat tangan dengan Yeyen.

"Paa, seneng mama melihat Amei tersenyum lepas. Lama mama ngak lihat Amei begitu ceria."

"Papa juga, ma."

Bapa perasaan apa yang ada dalam hatiku. Siapakah Yeyen ini, sepertinya aku begitu dekat dengannya.

"Papa, melamun ya?"

"Ngak kok, ma. Papa seneng saja melihat Amei."

"Masuk yuk, pa."

Dua insan dilanda asmara melewati malam bersama. Bercanda mesra dalam keheningan malam yang begitu indah. Makan malam romantis yang begitu membuat Amei bahagia.

Yeyen begitu pandai memikat hati Amei. Hingga sedikitpun tak Amei sadari maksud Yeyen mendekatinya.

Hai kak, makasih sudah mau mampir ke cerita aku.

Jangan lupa vomen nya ya, kak.

Maaf bila ada salahnya.

Semoga hari-hari kakak selalu ceria  ❤❤❤