PART 5 // SEBUAH RAHASIA

🌸 HAPPY READING 🌸

🍂 Sepi menghantui
Dingin mencekam
Menusuk tajam
Panas bara hati 🍂

Senyum lepas terpancar di wajah Yeyen. Bahagia ia rasakan bisa melihat senyum mama Lili. Sejenak ia terlupa akan inginnya.

Ia lalui hari-hari di rumahsakit bersama mama Lili. Bahkan ia terlupa akan Amei.

Memang di kampus mereka bertemu namun Yeyen terlihat agak dingin. Yang membuat Amei sedikit curiga. Tapi sahabat selalu mengisi hari-hari sepinya.

"Sabar, Mei. Mungkin Yeyen lagi sibuk ngurusi perusahaannya," ucap Aling.

"Ya, Mei. Lagian kalian kan ngak berantem." saut Feby.

"Tapi aku kangen bersama dengannya."

"Ya, kami paham. Yang lagi mabuk cinta," ledek Aling.

Amei mencibirkan bibirnya dengan lesu. "Main yuk?"

"Shopping mau aku."

"Jangan tanya Feby kalau shopping, pasti antri paling depan." goda Aling.

"Macam kamu tidak saja. Alesan bilang lagi bokek." bela Feby.

"Siapa pula yang biasa minta traktir." protes Aling.

"Feby." jawab Amei spontan sambil tersenyum kecut.

Feby mencibirkan bibirnya terlihat lesu.

"Ada yang ngambek nih." goda Aling.

"Biarin saja ngambek, entar sampai mall juga girang sendiri."

"Amei, beneran ngak ada senyum nih anak. Jangan-jangan sudah ngak napas nih."

"Pegang saja mulutnya pakai kaos kaki."

"Ihh, kalian jorok."

Amei dan Aling saling pandang. "Hahahhh." Serentak mereka tertawa.

"Syukurlah masih hidup dia."

"Entar kalau mati bakalan menghantui kalian," goda Feby ketus.

"Ih takut! Tapi lau bawa mas Arjuna ngak apa-apa deh," 

"Mas gosong adanya!"

"Hahahh." Amei dan Aling terbahak lihat reaksi wajah Feby.

"Jalan dong Mei, biarin yang sebel. Asal sampai mall lihat makanan pasti senyum dia."

Perlahan Amei menjalankan mobilnya.
Keributan kecil biasa terjadi diantara mereka. Biasa bumbu persahabatan biar asyik.

Memang usia tak remaja lagi namun apa salahnya memanjakan diri.

Berkeliling sampai pegel kaki pun mereka lakukan. Suara gaduh dilihat orang mereka acuhkan.

Diem, ya diem saat makanan ada didepan mereka.
"Bushet, laper banget aku."

"Gila kamu! Pesen berapa macam makanan." protes Aling saat melihat meja penuh makanan. 

"Bodo ah! Perutku sudah mau nangis."

"Tu kan apa aku bilang. Yang ngambek kalau lihat makanan pasti lupa manyunnya."

"Mulai kamu ya, Ling. Diem dulu biarin dia makan, entar kalau jadi singa mampus kamu hahhh." goda Amei.

"Puas-puasin ngledek aku, tunggu saja entar."

"Ya tunggu kaburnya setelah kenyang."

"Terusin-terusin, jangan bilang. Feb, bantuin nyalin tugas dong." ledek Feby.

"Oh! Jangan tinggalin aku ya Feb. Aku padamu kok."

"Aku juga lho, Feb."

"Ngak usah memelas. Ngak doyan rayuan aku."

Ketiga sahabat itu pun saling berpandangan, "Hahahhh." tawa mereka pecah seketika.

Perut kenyang, mata lelah dan kaki pun sudah pegal. Berputar dan berputar tanpa membeli apapun hanya mengacau mall. Mungkin bukan hanya mereka, kita pasti kadang juga begitu.

Dalam perjalanan pulang tanpa sengaja Aling melihat motor Yeyen melintas di seberang jalan.

"Mau kemana dia?"

"Siapa?" tanya Feby.

Feby yang duduk disebelah Amei menoleh melihat Aling. Dan Aling hanya memberi kode dengan mulut komat-kamit.

"Macam dukun saja kamu, Ling, mulutnya. Emang siapa sih yang kalian lihat?" Amei penasaran.

"I ... iittuu." Aling tak meneruskan kalimatnya malah menutup mulutnya sendiri.

"Bilang dong! Jangan bikin aku makin penasaran."

"Cowok kamu," saut Feby.

Seketika juga Amei memperlambat jalan mobilnya. "Kearah mana dia?"

Tangan Aling mengarah kejalan seberang.

"Ok, kita putar balik."

"Amei, yakin kamu mau buntuti dia." Aling.

"Kenapa tidak! Tanpa bilang mau kemana? Juga ngak ada WA." jawab Amei ketus.

Tanpa pikir panjang Amei nekad buntuti Yeyen. Dia tak takut bila Yeyen akan marah.
Sedikit penasaran dan amarah bercampur dibenak Amei.

"Mei-mei, pelan-pelan dong." teriak Feby yang duduk di sebelahnya.

"Bentar-bentar! Bukankah ini jalan menuju rumahsakit Dr. Oen," ucap Aling.

Amei yang terlalu fokus sampai ngak merhatiin jalan mana yang dia lalui, perlahan ia memperlambat laju mobilnya.

"Dia pernah bilang ada keluarga yang sakit ngak?" tanya Aling.

Amei menggelengkan kepala sambil mencari tempat parkir.

"Feb, perhatiin kemana Yeyen berjalan?" pinta Amei.

"Ok, bos!"

"Gaya kamu, Feb."

Feby keluar mobil duluan layaknya seorang detektif dengan kacamata hitam dan topinya mengikuti Yeyen.

***

Ruang Vip melati

"Sore, ma. Gimana keadaan Mama Lili hari ini?"

"Dia kembali memejamkan mata dari pagi tadi." jawab mama Linda.

"Maa, ini Yeyen. Apakah mama ngak ingin melihat Yeyen lagi?" Yeyen gelisah.

"Ma dan mama. Kenapa bisa ada dua mama? Trus siapa mama Yeyen sebenarnya?" Feby yang menguping menjadi bingung.

"Mama kalau mau pulang dulu ngak apa-apa, biar Yeyen yang jaga mama Lili."

Mama Linda menggelengkan kepalanya. "Rasanya mama ngak ingin pergi dari sini, Yen."

"Mama juga butuh istirahat, Yeyen ngak mau mama ikut sakit entar."

"Mama ngak apa-apa kok sayang. Entah kenapa kaki mama berat banget ninggalin tempat ini." perasaan Mama Linda serasa ngak menentu.

Yeyen menghela napas dan merebahkan badannya di sofa. "Hati Yeyen terasa seperti gelisah banget kenapa ya, ma?" pandangan Yeyen kosong.

"Bushet, mereka bicarakan apa sih? Siapa yang sakit? Parahkah sakitnya terus ...."

"Mbak ngapain berdiri disitu?" suara suster tiba-tiba mengagetkan Feby.

"Ngak sus, saya salah kamar maaf-maaf." Feby langsung berlari takut ketahuan Yeyen.

Yeyen yang mendengar suara bising diluar kamar langsung berlari membuka pintu, "Ada apa, sus?"

"Tadi ada cewek berdiri didepan pintu, mas."

Yeyen keluar sambil tengak-tengok mencari tapi tak ia temukan sesosok pun disana. "Siapa yang buntuti aku?" guman Yeyen geram sambil mengerutkan dahinya.

"Ma, Yeyen keluar bentar ya?"

"Kemana, Yen?"

"Bentar kok, ma."

Yeyen berjalan sambil tengak-tengok barangkali ada seseorang yang mencurigakan. Dia raih ponselnya, "Pak, aku minta seorang pengawas untuk jaga didepan kamar Mama."

"Siap, Den." Jawab Pak Dadang di ponsel Yeyen.

"Sialan! Siapa yang nguping pembicaraan aku tadi." ucap Yeyen sebal.

Feby yang berhasil sembunyi dari kejaran Yeyen tersenggal-senggal napasnya. "Aman-aman."

Kring kring ...

"Haduh! Ini ponsel pakai bunyi segala, ngak tahu lagi ada macan didepan aku huft!"

"Diem dulu entar aku balik situ baru cerita." jawab Feby kilat dan mematikan ponselnya.

"Dimatiin, Mei."

"Jangan-jangan ketahuan Yeyen, dia, mampus!"

"Tidak! Bisa ikut mampus aku, Mei." Aling ketakutan.

"Apalagi aku, Ling. Dia kalau sudah marah serem banget tahu."

"Kamu sih! Cari gara-gara pakai buntuti dia segala."

"Aku penasaran, Ling. Dia itu ngak pernah cerita apa-apa tentang keluarganya tapi dia tahu betul siapa aku!"

Aling melongo tak percaya mendengar apa yang Amei ucapkan.

"Terus selama ini kamu ngak pernah di kenalin sama keluarganya?"

Amei menggelengkan kepalanya. "Setiap aku tanya, dia marahi aku." suara Amei lirih.

Feby yang datang dengan napas tersengal-sengal sangat ketakutan. "Buka pintu, Mei."

"Gimana, Feb!" Amei penasaran.

"Sabar dong! Capek aku." Feby sambil menata napasnya.

"Ya sudah kita pergi dulu dari sini biar aman."

"Cepetan jalan, Mei. Aku takut." Feby cemas.

Amei menjalankan mobilnya keluar parkiran. Tanpa mereka sadari mobil itu terlihat oleh Yeyen.

"Hmm, kamu ya sayang." senyum Yeyen sinis dari kejauhan.

Melihat dia dibuntuti Amei membuat Yeyen teringat akan tujuan awalnya.
"Bernapaslah dulu sayang, tersenyumlah sebelum senyum itu berubah duka."

Hai kak, terima kasih sudah mau mampir di cerita aku.

Jangan lupa krisannya ya.

Selamat menjalani hari ceria kakak, semoga semua lancar dan sukses 🥰

Bukan duka yang datang cuma senyum yang tertunda ...
Bukan naas yang ada tapi sebuah cerita yang akan melanda ...

💓💓💓