🌟 HAPPY READING 🌟
Maaf ya, kak. Bila masih banyak typo nya. Jangan sungkan untuk tinggalkan krisan. Karena aku suka itu ❤❤❤
* Taman indah bunga mewarni
Menyiratkan wangi tertinggal sunyi
Hati membara bukan dengki
Namun teki yang datang tanpa permisi*
Amei terduduk lemas tak sanggup berkata. Matanya nanar menyimpan sembilu. Bak bunga layu dirinya tanpa tenaga.
"Aah!" teriak Amei memecah kesunyian ruang tengah.
Mama Sisi hanya bisa diam duduk terpaku. Belum hilang dari telingan pertengkaran kedua anaknya, kini melihat pemandangan ulah anak sulung yang menambah kepiluan.
"Aku capek, lelah dengan semua ini. Aku bencii!" kembali Amei berteriak meluapkan kekesalan hatinya.
Dari kecil yang tak pernah memikirkan beban secuilpun kini harus berupaya untuk hidupnya bahkan keluarga.
"Ma, Amei nggak lanjut kuliah saja ya?" ucap Amei setelah mulai mereda amarahnya.
"Kenapa sayang?"
"Uangnya buat berobat papa saja dan bisa untuk menopang hidup kita," lirih Amei.
"Tapi sayang! Kuliah kamu tinggal sejengkal lagi," sergap mama Sisi.
"Justru yang sejengkal itu biayanya melambung tinggi, ma," jelas Amei.
"Kita kan masih ada pemasukan dari perusahaan walau kecil sayang," papar mama Sisi.
"Itu nggak akan mencukupi untuk biaya hidup kita, ma!"
"Nggak! Mama nggak setuju. Kemarin Yeyen sudah kasih tahu kita tentang biaya kuliah kamu kan?"
"Tapi, ma! Amei nggak mau berpangku tangan apalagi berhutang budi tentang semua itu," bantah Amei.
"Bukankah dia mau menikahimu, nak. Dan itu wajar dilakukan oleh calon suami?"
"Amei masih belum tahu betul tentang keluarganya, ma."
Sejenak mama Sisi terdiam sambil menghela napas. "Terus apa yang akan Amei lakukan?"
"Amei pingin bekerja saja."
Mama Sisi melotot tersontak kaget. Bagaiman putrinya akan bekerja sedang dia tak pernah melakukan apapun dirumah. Bagaimana nanti dia diluar sana.
"Mau kerja apa kamu sayang?" tanya mama Sisi lemas.
Amei hanya diam membisu dan melamun. Tak mungkin dirinya akan bekerja disekitar Solo ataupun di Jawa. Yang pasti pendapatan tak akan sesuai yang ia harapkan dan tak akan memenuhi kebutuhan hidup papa mama.
Satu persatu asisten rumah telah diberhentikan karena tak sanggup memberikan gaji yang layak. Mobil kesayangannya yang mungkin bisa buat membayar kuliahnya hingga lulus kini sudah dibawa kabur kak Syan entah kemana.
Sedang berobat papa memakan banyak biaya. Dan rumah tempat tinggal akan kah tergadaikan juga. Tidak! Bila itu terjadi akan semakin membuat mama terpukul.
Hari berganti hari, minggu pun juga berlalu. Amei sengaja mematikan ponselnya dan mengurung diri dalam rumah. Kuliah ia abaikan, bahkan Yeyen dan sahabat-sahabatnya pun tak dihiraukan.
Amei yang dulu serba berkecukupan namun sekarang harus memulai hidup dengan apa adanya.
***
Ting tong
Bel rumah berbunyi membuat mama Sisi beranjak dari lamunannya untuk membuka pintu.
"Firman, ada hal apa yang membuatmu kesini?"
"Maaf, bu. Saya hanya ingin melihat keadaan ibu sekeluarga terutama bapak," jawab Firman.
Mama Sisi tersenyum melihat masih ada orang yang peduli mengunjunginya. "Mari masuk," ajak mama Sisi.
Sungguh pedih hati Firman melihat keadaan pak Zen yang makin memburuk. Bukan karena perobatan yang macet tapi pikiran yang kacau membuatnya semakin lemah.
"Pak, bagaimana kabarnya?" sapa Firman.
"Ba-baik, Fiiir," jawab Pak Zen terbata-bata.
"Doain Firman ya, pak. Bisa mencari dalang atas perbuatan licik terhadap perusahaan bapak," ucap Firman menenangkan hati pak Zen.
Pak Zen menganggukkan kepalanya dan berusaha tersenyum walau agak susah. Airmata itu tak terasa membasahi pipi, apa daya bibir ingin berbicara tapi susah untuk digerakkan.
Firman mengobrol sebentar dengan bu Sisi sambil mengasihkan uang bagian dari hasil perusahaan.
"Terima kasih, Fir. Walau ibu sudah tidak terjun ke perusahaan tapi masih kau selipkan bagian kami," jawab Bu Sisi.
"Ini sudah bagian ibu dan wajib untuk ku memberikan hak ibu. Maaf bila aku kasih kan secara langsung bukannya di transfer biar bisa sekalian menjenguk bapak," papar Firman.
"Sungguh keberuntungan buat kami, masih tersisa orang baik seperti anda," jawab bu Sisi.
"Bukan baik, bu. Ini hanya bentuk terima kasih saya karena pertolongan pak Zen dulu ke keluargaku. Oh ya, bu, izin pamit dulu. Sekali-kali tengok kantor karena ibu masih punya hak disitu," papar Firman.
"Hanya sebagian kecil saja dan akan membuat teriris saat melangkah kesana. Jujur batinku belum siap," saut bu Sisi.
"Saya memaklumi bagaimana perasaan ibu, semoga ada titik terang dalam masalah ini," ucap Firman sambil melangkah kakinya ke luar rumah bu Sisi.
Bu Sisi menatap kosong kepulangan Firman, demikian dengan pak Zen.
***
Tempat yang tak pernah sepi selain hari libur itu di penuhi berbagai bentuk manusia dengan bermacam-macam watak. Lalu lalang mahasiswa membuat mata bingung bila memandang.
Dibawah pohon rindang masker Amei dengan sahabatnya hanya ada Aling dan Feby dengan wajah sedih. Bukan karena masalah mereka tapi sahabatnya yang lagi di rundung problem.
"Ling, sudah ketempat Amei belum kamu?" tanya Feby mencoba memecah keheningan diantara mereka.
"Bagaimana kesana. Telepon Amei off dan tak ada kabar. Dan apakah mereka masih tinggal disana atau nggak akupun tak tahu," jelas Aling.
Feby mengerutkan dahinya seakan memikirkan sesuatu. "Bagaimana kalau nanti kita mampir dulu. Sudah satu minggu lebih lho nggak kelihatan batang hidungnya."
"Ok! Tapi entar bawa apa?"
"Kok bawa apa?"
"Mulai kumat otak kamu nggak nyambung,"
ketus Aling.
"Kan main! Terus kenapa bawa-bawa?" lirih Feby yang nggak paham maksud Aling.
"Dodol-dodol!" Aling sambil memukul kepala Feby pelan. "Mikir sedikit kenapa?"
Feby yang bener-bener belum nyambung arah pembicaraan Aling hanya cengar-cengir sambil memutarkan bola matanya.
"Kebanyakan baca novel kamu jadi banyak halu dan nggak nyambung kehidupan nyata," protes Aling.
"Lah! Apa hubungannya dengan novel?" gerutu Feby.
Aling semakin greget melihat sikap Feby. Kali ini bukan Aling yang seperti anak kecil tapi kebalik. Sedang sifat paling keras dimiliki si Feby.
Aling pun merapatkan duduknya sambil memegang telinga Feby. "Dengerin ya dodol, sekarang Amei kan mulai pendiam dan nggak care seperti dulu. Nggak mungkin juga kan kita tiba-tiba kita datang tanya berbagai hal dan tanpa dia memulai duluan untuk bercerita. Maksud aku bawa oleh-oleh buat pura-pura saja kalau kita kesana mau jenguk papanya. Gitu dodol."
Feby pun mengangguk-nganguk kan kepalanya sambil tersenyum tapi senyumnya berubah saat Aling kembali memukul kepalanya.
"Pelihara tuh novel!" sergap Aling.
"Ya-ya nyonya!"
"Nyonya mu apa! Nikah saja belum dipanggil nyonya. Kagak sudi aku. Hemm!" gaya Aling sambil memalingkan muka.
Setelah kesepakatan dimulai mereka pun masuk ke ruangan masing-masing melanjutkan jam kuliah yang masih tersisa beberapa jam. Niat pingin bolos mereka tinggalkan mengingat waktu kuliah yang tak lama lagi.
Masakan tanpa garam akan terasa hambar dan hidup tanpa masalah tak akan membuat perubahan. Dimana setiap orang akan mengalami titik paling rendah di suatu masa. Dan itu nyata.
By: Amei
🥰🥰🥰