PART 9// TURUN TANGAN


🏝 HAPPY READING 🏝

🌱 Mata sayu senyum kelu
Menatap fajar menjadi kelabu
Hati mencoba tegar dan tegap
Namun rapuh datang menghadap 🌱

Kacau, berantakan tak dapat memegang kendali. Seakan kepala mau meledak tak tahu apa yang harus dilakukan. Menangispun tiada guna.

Langkahnya gontai menyusuri koridor kampus, tanpa senyum apalagi candaan.

"Mei, kamu kenapa!" tanya Aling bingung melihat dia dengan tatapan kosong.

"Mei! Kamu ngak sakit kan?" saut Feby bertanya.

"Papaku mendadak stroke," jawab Amei lemas.

"Apa!" Aling dan Feby bersamaan kaget.

"Kenapa bisa mendadak sakit, Mei," tanya Feby penasaran.

"Jatuh kah? Atau kenapa, Mei?" timpal Aling.

"Keadaan perusahaan yang down dan ada perselisihan dengan perusahaan lain, membuat papa kaget dan jatuh stroke." Amei meneteskan airmata.

"Mei, yang sabar ya,"

"Aku tak tahu harus bagaimana, bingung, bener-bener bingung. Aaahh!" teriak Amei mengangetkan teman-temannya.

"Mei, jangan menangis." Aling memeluk Amei erat menenangkannya.

"Ayo-ayo kita pindah tempat dulu," ajak Feby sambil menarik Aling.

Tak menghiraukan jam kuliah, mereka bertiga mencari tempat yang nyaman untuk menenangkan Amei.

Yeyen yang didalam ruang kuliah celingukan mencari Amei tapi tak nampak batang hidungnya.

"Kemana tuh anak tumben ngak masuk.
Moga saja tak terjadi apa-apa, tapi malah kenapa aku memikirkan dia," batin Yeyen.

Perasaan aneh menelusuri relung hati Yeyen. "Sadar, Yen, sadar," gerutunya.

"Pagi, semua," sapa pak Harsono saat memasuki ruangan.

"Pagi, pak," jawab serentak mahasiswa.

"Ada yang tak hadir hari ini?"

"Amei, pak." Yeyen kelepasan.

"Yeee, yang merasa jadi cowoknya," ledek salah satu temannya.

"Kamu apakan semalam dia, Yen," gurau lainnya.

"Hahaha, kecapean berdua kali," saut lainnya.

"Sudah-sudah!" teriak pak Harsono.

Mata kuliah paling menjemukan. Kenapa dosen seperti dia tak diganti saja, yang lebih muda gitu, seksi dan cantik pasti mata mahasiswa lebih fress.

Namanya juga kampus, semakin padi mengguning semakin berisi. Itu pula sebutan untuk para dosen.

Mata kuliah pak Harsono hampir selesai tapi bayangan Amei bener-bener tak nampak.

Sementara ditempat lain Amei dan sahabatnya dengan santai menikmati makanan. Aling dan Feby berhasil membujuknya makan setelah dari kemarin tak makan sesuatu terbawa pikiran yang kalut.

"Hmm gitu dong Mei, daripada kamu lemes ngak bisa mikir mending makan biar otak ngak ikut kalut," ucap Aling sambil menyodorkan jusnya.

Amei mendelik melihat jus Aling. "Punyaku perut bukan karung!"

"Hahaha, bisa bercanda juga dia akhirnya," suara Feby terkekeh.

Amei tersenyum kecil dan memandang satu persatu sahabatnya, "Makasih ya, kalian selalu ada buat aku." ucap Amei sambil memeluk mereka.

"Kami akan selalu ada untukmu, Mei," dekap Aling dan Feby.

Harta kekayaan, kemewahan, kedudukan dan tahta tak akan ada artinya bila tanpa sahabat sejati. Kalau hanya untuk bersenang-senang teman akan datang sendirinya. Tapi diwaktu susah baru kita tahu mana yang akan menetap memeluk erat.

Keheningan sesaat membuat mereka merasakan betapa pentingnya arti sahabat.

Dyyaar!

Suara itu mengagetkan mereka hingga membuat Amei memegang tangan Aling. Membuatnya meringis sedikit kesakitan.

"Apa-apaan sih kamu! Bikin jantung orang kaget saja!" teriak Feby seketika.

"Yeyeenn! Bikin tanganku sakit tahu!" timpal Aling.

Yeyen menggaruk kepalanya yang tak gatal sambil mengerutkan dahinya tersenyum nyengir. "Maaf."

"Maaf-maaf, push up dulu buat nebus!" saut Feby dengan garang.

"Ih! Galak banget. Aku kan cuma iseng," bela Yeyen.

Aling melotot seakan ingin menerkam Yeyen, "Push up ngak!"

Sedikit lesu Yeyen menuruti perintah cewek-cewek itu.

"1,2,3, ... 20, sudah ya."

"Sepuluh lagi," teriak Feby.

"Kok nambah," protes Yeyen.

"Kita kan bertiga, jadi entar pas sepuluh-sepuluh hahahhh," saut Aling sambil terkekeh.

Amei tersenyum melihat Yeyen dikerjain. Tawanya sedikit melupakan kegundahan hatinya.

Terkulai lemas, Yeyen rebahkan tubuhnya diatas rumput. Tak peduli bila pakaiannya kotor. Ia sunggingkan sedikit senyum,Yiaah! Senyum mencari sesuatu dibalik bolosnya Amei.

"Sayang, kenapa kamu bolos? Ngak kasih tahu pula," rengek Yeyen.

"Laki-laki dilarang ikut ngrumpi," canda Feby.

"Ya! Laki-laki menjauh dulu sana. Hussh!" saut Aling.

"Yang aku tanya ngak jawab, malah diusir orang aku. Percuma dong push-up tadi," gerutu Yeyen.

Feby dan Aling bermain mata memberi kode. Bukan tak ingin cerita tapi serasa belum saatnya bercerita ke Yeyen. Bukan apa-apa namun ini menyangkut masalah keluarga Amei yang rumit.

Dan ingat! Pacar bukan segalanya. Ada kalanya harus menyaring mana yang pantas diceritakan, latihlah jiwa menjadi sedikit dewasa.

Mata Yeyen tak kalah jeli dengan permainan mata mereka. Ia bisa membaca kalau ada hal aneh yang lagi disembunyikan.

"Ok, deh! Aku nyerah dan berarti cabut dulu ya. Bye! Oh ya sayang, jangan lupa telepon." Yeyen mengedipkan sebelah matanya ke arah Amei.

Amei pun membalas kedipan mata Yeyen dengan senyum di pipi.

***

Seminggu papa Zen dirawat akhirnya boleh dibawa pulang. Dalam keadaan seperti itu tak akan bisa menghendel perusahaaan dengan maksimal.

Mama Sisi berpikir keras mencari jalan keluarnya. Keahliannya dibidang bisnis banyak yang tenggelam karena lama tak terjun dan menekuni.

Semenjak menikah dengan Ye zen, ia memilih menjadi ibu rumahtangga tulen. Dan melupakan kariernya.

"Pa, papa istirahat dulu ya? Biar mama saja yang ke kantor," pinta Sisi.

"Ta-tapi ma,"

"Pa, sudah menjadi kewajiban mama mengantikan posisi papa. Dan seperti apapun keadaannya nanti, mama siap kok. Oh ya, jangan mikir ini salah papa, semuanya sudah takdir kita harus menjalani seperti ini." Mama Sisi dengan bijaknya.

Papa Zen hanya bisa menghela napas panjang. Tak pernah terlintas dibenaknya akan mengalami sakit dalam keadaan seperti ini. Seperti ditusuk sembilu menghunus jantungnya.

"Ma, Amei ikut ke kantor ya?"

"Untuk apa sayang,"

"Boleh ya?" pinta Amei memohon dengan wajah memelas.

Mama Sisi memandang Amei teduh, ada sisi ia merasa bangga dan sedih. "Baiklah sayang."

Pemandangan yang membuat papa Zen semakin terpukul. Kini istri dan anaknya berjuang sendirian. Dan anak laki-laki yang harusnya menjadi pegangan tak bisa diandalkan. Sedih dan terpuruk.

***

Amei yang jarang ke kantor papanya masih terasa canggung saat mata karyawan menyambut kedatangan mereka.

"Cantik ya putri bos," lirik seorang karyawan.

"Dilihat juga tenang wajahnya seperti bos, lain dengan kakaknya," saut lainnya.

Amei yang sedikit mendengar gosipan mereka melirik sambil tersenyum.

"Hust-hust," timpal lainnya.

Amei mengikuti langkah mama Sisi menuju ruangan papa berkerja. Matanya masih celingak-celinguk sepanjang ruangan.

"Firman tolong berkas-berkas bawa masuk," ucap mama Sisi saat melewati sekretarisnya.

Dengan cepat Firman menyiapkan semua berkas termasuk berkas yang sudah di acc papa Zen.

Dengan cermat mama Sisi mempelajari satu persatu namun otaknya belum mampu menembus masalah yang rumit itu. Bagaimana dengan Amei yang tak paham sama sekali dengan urusan kantor.

Mampukah mama Sisi memegang kendali atas perusahaan?

Terima kasih kakak-kakak meluangkan waktunya untuk cerita aku.

🙏😊🙏