Fitnah Media

Aku turun dari kasur dan berdiri menghadap Pak Farel. Arum juga masih di sini, terlihat sekali dia sama bingunhnya denganku karena kemunculan bos suaminya yang tiba-tiba.

“Apa yang Anda inginkan?” tanyaku waspada.

“Tidak ada,” sahutnya santai sambil memasukkan tangan ke saku, mengamatiku.

“Lalu, mengapa Anda di sini?”

Tubuh lelaki itu bergerak maju dua langkah. 

“Ada hal yang perlu kuselesaikan, dan tadi kebetulan aku melihatmu masuk kamar ini.” 

Dia kemudian mendengus pendek, masih sambil mengamatiku. 

“Bagaimana rasanya melihat orang yang kaucintai menghianatimu?” Senyum licik terbit di bibir lelaki itu.

Aku meradang mendengarnya. Bisa-bisanya dia berkata demikian. “Anda mengejek saya?” tekanku seraya menahan gejolak di dada.

Pak Farel tertawa kecil, bersedekap. “Aku hanya ingin tau aja, soalnya aku belum pernah merasakan patah hati.”

“Itu tidak lucu, Tuan. Kalau tidak ada hal penting yang ingin Anda bicarakan, lebih baik Anda angkat kaki sekarang juga. Saya butuh ketenangan!”

Kutunjuk pintu dengan tanganku namun lelaki itu malah terbahak. Apa maunya, sih?

Aku dan Arum saling tatap tak mengerti. Sahabatku jelas tak bisa membantu apa-apa karena takut berefek pada kerjaan suaminya.

"Kukira aku akan menemukanmu dalam keadaan tak bernyawa, gantung diri, atau nyebur ke laut … Tapi ternyata, kau masih baik-baik saja. Nggak seru, nih, jadinya!”

Hampir saja tanganku reflek menamparnya, tapi utung bisa kutahan. Orang ini benar-benar sedang mengejekku!

“Baiklah, sampai jumpa!” katanya lagi sebelum aku sempat melontarkan kalimat pedas untuknya.

Dia kemudian berlalu, meninggalkanku yang geram sendiri.

Arum mengikutinya, mengantar hingga pintu.

Dasar orang aneh!

“Mau apa, sih, dia?” tanya Arum begitu wanita itu kembali ke sampingku.

“Mana kutau ...” Aku mengedikkan bahu. Belum juga pikiran ini tenang, tiba-tiba kedatangan tamu tak diundang yang membuat otakku makin panas.

“Sekarang, apa rencanamu, Cit?”

Aku mendesah berat, menggeleng.

Tiba-tiba saja ponsel di kasur berbunyi san nama Mas Galuh muncul di layar.

“Jawab, tuh!” tunjuk Arum dengan dagunya.

Aku mendengkus. “Paling mau minta maaf," sahutku malas seraya mengambil ponsel dan merejectnya. “Aku ingin di sini dulu, Rum. Tapi kita pindah hotel, ya?”

“Yakin? Nggak langsung pulang aja?” Arum tampak ragu.

Kepalaku kembali menggeleng. “Daripada pulang terus ketemu Mas Galuh di rumah, mending aku jalan-jalan dulu, sekalian nenangin pikiran ...”

Sahabatku itu mengangguk-ngangguk paham. “Baiklah, kita pergi sekarang?" ajaknya.

Aku mengangguk kecil.

Kami pun segera bersiap. Barang-barang yang semalam dibongkar ditata kembali ke koper. Arum mengusulkan untuk menginap di hotel yang dekat dengan Merlion Park. Masa bodoh dengan pilihannya, yang penting jauh dari hotel ini.

Kulihat gawaiku berdering lagi, Mas Galuh kembali menghubungi.

Merasa terganggu, aku memilih menonaktifkan benda pipih itu dan memasukkanya ke tas.

***

Sekitar dua puluh menit perjalanan, kami tiba di salah satu hotel mewah di Singapura.

Sengaja Arum memilih hotel yang dekat dengan sungai Singapura karena letaknya strategis. Selain dekat dengan pusat kota, juga dekat dengan icon negara ini.

Staf pekerja di sana menyambut ramah saat kami tiba.

Kami pun menuju reseption desk dan memesan kamar untuk dua orang.

Setelah membereskan barang, kami bersantai sejenak. Aku memilih tiduran sedangkan sahabatku itu teleponan dengan suaminya. Mendadak muncul rasa bersalah karena sudah merepotkannya.

Jika saja kedatanganku ke sini untuk bulan madu, pasti suasana hati ini akan berbeda. Kamar hotel yang mewah tak kan terasa biasa saja.

Kembali kuaktifkan ponsel dan muncul notifikasi missed call hingga lima puluh kali.

Itu dari suamiku. Dia tidak menyerah. Mungkinkah ingin meminta maaf, atau malah ingin membicarakan perceraian kami?

Beberapa notifikasi pesan pun muncul kemudian, menyusul notifikasi missed call tadi. 

Aku menggeser layar kaca, membuka aplikasi hijau.

[Dek, kamu di mana?] pesan pertama, terkirim setengah jam yang lalu.

[Mas, mau bicara …] pesan kedua, terkirim sepuluh menit setelah pesan pertama.

[Oke, kalau udah tenang, segera hubungi, ya … Mas mau balik ke Indonesia. Kutunggu di rumah.] pesan ketiga, lima menit yang lalu.

Aku mendengus kasar, menyimpan ponsel di bawah bantal. Tunggu saja sana sampai kamu lumutan!

***

Usai Maghrib Arum mengajakku jalan-jalan. Melewati pinggiran sungai, menyeberang jembatan, dan sampai pada taman kecil dengan pohon-pohon akar tunggang.

Beberapa kali kami mengambil selfie, atau meminta orang lain untuk memfoto kami di tempat-tempat keren dengan gaya yang berbeda. Tentunya Arum saja yang bisa bergaya, sedangkan aku hanya berdiri tegak seperti patung karena sama sekali tak berselera.

Lima menit kemudian kami tiba di dekat patung Merlion. Arum sibuk video call dengan Irfan, memamerkan perjalanan wisata mendadaknya.

Aku lebih memilih menyingkir dari keramaian, duduk di bangku panjang yang menghadap ke lautan lepas. Gedung-gedung di sekitar kami memancarkan lampu indah, menghiasi kegelapan sekitarnya.

Angin malam mengembus, menerpa wajahku yang sembab karena kebanyakan menangis.  Langit tampak cerah dan semakin manis karena bulan sambit menggantung indah.

Sayang, keindahan malam ini tak berpengaruh pada hatiku, yang masih terasa sakit dan ngilu karena penghianatan orang yang sangat kucinta.

“Cit, foto, yuk!” ajak Arum lagi tapi aku menolak. “Ayolah, mumpung di sini!” Dia menyeret paksa dan aku tak bisa menghentikannya.

"Excuse, me. Could you take some picture for us!" Ujarnya pada seorang bule dengan bahasa Inggris yang belepotan.

Orang berambut pirang itu mengangguk dan mengambil ponselnya.

Kami pun berdiri berdampingan, berfoto dengan background patung singa bertubuh ikan di belakang kami yang sedang menyemburkan air dari mulutnya.

“Pulang, yuk!” ajakku setelah Arum mengambil beberapa gambar lagi.

“Baru sebentar masa’ udah mau pulang ...” Arum keberatan, mengerucutkan bibir. “Eh, aku beli es krim dulu, ya … kamu tunggu di sini!” katanya kemudian dan meninggalkanku begitu saja.

"Hei, tunggu!" Kesalku namun tak digubris. 

Dasar, tukang seenaknya!

Sambil menunggu wanita itu kembali, aku duduk di bangku yang berbeda dari yang tadi, menghirup napas sebanyak mungkin agar sesak di dada berkurang.

Kurasakan seseorang mendekat, ikut duduk di bangku ini. Tanpa menolehnya, aku pun menggeser tubuh, menjaga jarak. Namun, orang itu juga ikut menggeser tubuhnya, mendekatiku.

Merasa ada yang aneh, aku pun menoleh ke samping.

“Kau belum pulang?” tanya orang itu begitu kami bertatapan.

“Tuan Abi? Ngapain di sini?” reflekku seketika. Mata ini melirik kanan kiri, mencari para bodyguard yang selalu menyertainya seperti biasa tapi aku tak menemukannya. 

Apa dia datang sendirian?

“Abi? Baru kali ini ada yang memanggilku begitu.” Dia mengulum senyum manis. “Tapi aku suka kau memanggilku seperti itu ...” tambahnya untuk kemudian terkekeh.

Apa-apaan, nih, orang?

Aku kembali menghadap ke depan, tidak menghiraukan keberadaannya. Anggap saja dia angin lalu.

“Ngomong-ngomong, sejak kapan kau tau suamimu selingkuh dengan istriku?” tanyanya kemudian.

“Dua bulan lalu,” jawabku pendek dan tetap tidak menolehnya.

Aku nggak berniat membahas masalah ini sekarang.

“Oh, telat sekali, padahal mereka sudah berhubungan sejak setengah tahun yang lalu.”

“Apa?!” tanyaku dengan nada lumayan keras dan kembali menatapnya.

Orang-orang memandang heran ke arah kami tapi aku tak peduli. 

“Jangan mencoba membohongi saya, ya!” tekanku seraya berdiri dan menudingnya dengan jari telunjuk.

Lelaki itu menyeringai. “Aku tidak bohong.” Dia ikut berdiri dan menatapku serius. “Aku akan segera membongkar penghianatan Calista ke publik ... Bersiaplah, mungkin karier suamimu juga akan hancur!” 

Aku yakin, ucapannya itu tak bisa dianggap main-main, terlihat dari pandangannya yang tajam. 

“Meski aku tidak mencintai wanita itu, tapi aku tak akan membiarkannya berbuat seenaknya di belakangku," tambahnya lagi. "Dia pantas diberi pelajaran!"

Mendadak kepalaku jadi pening memikirkan masalah ini. Tanganku pun langsung berpegangan pada besi pembatas saat tubuhku mulai hilang keseimbangan.

“Hei, kau kenapa?” Pak Farel terdengar cemas. Dia menangkap tubuhku saat hampir terjatuh. Kalau saja dia tidak cekatan, mungkin aku sudah kecebur ke laut. “Are you okey?” tanyanya lagi seraya menggoyang-goyangkan tubuhku.

“Aku cuma sedikit pening,” ujarku lemah dan pandangan ini mengabur saat bertatapan dengannya.

Beberapa saat kemudian, kegelapan menyelimuti sekitarku.

***

Aku terbangun di rumah sakit dalam keadaan yang sudah lebih baik. Arum duduk sampingku, menggenggam erat jemari ini.

“Aku kenapa?” tanyaku saat mata kami saling beradu.

“Pingsan,” sahut sahabatku pendek. Dia membantuku duduk, menyuguhkan air putih. “Bagaimana keadaanmu?” tanya Arum lagi saat air di gelas tandas.

Aku mengangguk. “Lumayan.” Mata ini mengedar ke sekeliling ruangan, mencari keberadaan seseorang.

“Pak Farel baru saja pergi, tadi dia yang membawamu ke sini ...”

“Tapi aku belum mengucapkan terima kasih padanya,” selaku.

“Sudah kuwakilkan," jawab Arum cepat. Dia kemudian mendesah panjang, menatapku serius.  “Citra, kalau nanti kamu pulang dan bertemu dengan Galuh, apa kamu akan memaafkannya?”

Keningku berkerut dalam. Kenapa dia tiba-tiba bertanya seperti itu? “Kok, kamu nanyanya gitu, sih? Sudah jelas, kan, aku mau minta cerai, titik!” tegasku padanya.

Dia mendesah lagi. “Mungkin kamu akan berubah pikiran, Cit …”

“Kenapa mesti berubah?” potongku cepat. Jelas-jelas kami sudah sepakat bila dia berselingkuh lagi, maka kami akan cerai. Dan itu mutlak, nggak bisa diubah. Aku nggak mau terus-terusan disakiti, apalagi hidup dengan lelaki yang membagi dirinya dengan perempuan lain yang bukan muhrim.

“Kamu hamil, Cit.”

Kalimat Arum barusan membuatku menegang. 

“Ap-apa?” ucapku patah-patah.

“Kamu hamil,” ulangnya. “Pikirkan lagi tentang perceraianmu itu … Jangan sampai bayimu lahir tanpa seorang ayah yang menemaninya. Aku sudah pernah merasakannya, dan itu sangat sakit, Cit.”

Aku tak bisa berkata sesaat. Perasaanku bercampur antara senang, sedih, juga takut.

Arum benar, tapi egoku mengatakan bahwa aku harus tetap berpisah.

***

Kami memutuskan pulang keesokan harinya, mengambil penerbangan pagi.

Kurang lebih dua jam mengudara, kami tiba di Indonesia.

Arum memaksa membawakan koperku meski aku tak ingin. Walau sering berbuat menyebalkan, sahabatku ini protektif juga. Dia tak mau aku yang sedang mengandung ini kelelahan. Sungguh, aku bersyukur dikaruniai sahabat-sahabat yang baik.

Kami berjalan beriringan menuju pintu keluar dalam diam.

“Kenapa, sih, orang-orang pada ngeliatin kita?” bisik Arum saat kami sudah di luar, menunggu taksi.

Aku ikut menyapu sekeliling dan melihat orang-orang menatap kami sinis. Entah apa yang terjadi?

“Udah, ah, biarin aja!” Aku melambaikan tangan. Taksi berhenti tepat di depan kami.

Ketika kami bersiap masuk ke dalam kendaraan itu, tiba-tiba seseorang mencekal lenganku dari belakang.

“Tunggu! Ini dengan Mbak Citra, kan?”

Aku menoleh dan mendapati  wanita berambut pendek, berpakaian rapi, sedang menodongkan mikropon ke arahku.

Di dada kanan wanita itu terdapat tanda pengenal sebagai salah satu wartawan stasiun tivi swasta.

Aku mendadak gelisah, ada apa sebenarnya? Aku bukan politikus terkenal, model, apalagi artis sinetron yang lagi booming.

Di belakang wanita itu kameramen merekam gambar kami.

“Iya, saya Citra. Ada apa, ya?” Aku belum paham mengapa ada wartawan menodong kami di jalanan. 

Apa mereka salah tangkap orang, mengira aku ini Citra istrinya Rezky Aditya. Tapi bukankah wajah kami berbeda meski aku tak kalah cantik juga?

Arum mendekat ke sampingku, sikapnya tampak waspada.

“Bisa minta waktu sebentar, Mbak?” tanya wanita asing itu lagi.

"Eh, untuk apa, ya?"

Belum juga kami menyadari apa yang sedang terjadi, mendadak ada belasan orang berlarian ke arahku sambil berteriak memanggil namaku.

Aku dan Arum saling tatap dan kuwalahan karena dikerubungi para wartawan. Kilatan cahaya mengarah pada kami, bersama dengan berbagai pertanyaan yang terlontar dari mereka.

“Mbak Citra sejak kapan punya hubungan dengan Pak Farel?”

“Mbak benar-benar selingkuhannya dia?”

“Apa kalian saling mencintai?”

“Mbak, kan, udah punya suami … lalu mengapa masih merebut suami orang?”

Kami terdesak. Arum pun menyeret tanganku dan mendorong tubuh ini memasuki taksi. Dia mencoba menghalau wartawan yang ingin menyerobot masuk, sebelum akhirnya dia sendiri berhasil duduk di sampingku.

“Mbak, tunggu … Mbak tolong beri kami jawaban …” Dua orang wartawan mengetuk-ngetuk kaca jendela taksi.

“Pak, cepat pergi dari sini!” Titah Arum pada supir.

Supir langsung tancap gas meninggalkan bandara.

Aku mendesah lega, mencoba menenangkan debaran yang menggejolak di dada setelah kami cukup jauh.

“Cit, liat ini!” Arum mengarahkan ponselnya kepadaku.

Mataku seketika membelalak melihat fotoku dan Pak Farel yang terlihat sedang berpelukan.

Itu foto kami semalam saat lelaki itu sedang menolongku yang hampir terjatuh. Terlihat intim memang, tapi kenyataannya kami tidak seperti yang diberitakan.

 “PENGUSAHA FAREL ABIMAYU WIRAWAN TERCIDUK SELINGKUH DI NEGERI TETANGGA!”

Begitu headline yang tertulis di artikel online tersebut. 

Jelas, ini fitnah!

 ***

Tap ❤️, jangan lupa subscribe buat yang belum, ya! 😊


Komentar

Login untuk melihat komentar!