Bukan Saingan Biasa

Setelah kurang lebih lima belas menit menembus padatnya lalu lintas, aku tiba di sebuah restoran.

Sandra melambaikan tangan begitu melihatku muncul di pintu.

Aku balas melambai ke arah sahabatku. “Assalamu’alaikum, apa kabar, San?” sapaku dilanjutkan cipika-cipiki seperti biasanya.

“Alhamdulillah, aku baik, Ci. Kamu sendiri?”

“Baik juga,” dustaku untuk menutupi kesedihan yang mungkin terpancar dari bola mata ini.

“Sini duduk!” Sandra menepuk kursi kosong di sampingnya.

Aku senang bertemu dengan sahabat baikku ini. Dialah yang membantuku meniti jalan hijrah. Mengajariku mengaji, berjilbab, bahkan salat.

 Maklum, dulu aku anak kurang ajar. Jarang beribadah dan suka foya-foya. Mama dan papa sampai kesal dengan ulahku. Bahkan mereka sudah meruqyahku berkali-kali, tapi kenakalanku tak kunjung reda.

Aku berbeda sekali dengan Kiki yang dulu waktu SMA mau bersekolah sambil mondok. Kiki juga lebih pandai, dan tentunya banyak prestasi yang telah diraih. Orang tuaku begitu membanggakannya sampai kadang membuatku cemburu.

“Maaf, ya, aku gangguin kamu. Soalnya ini penting banget …” Sandra memulai percakapan.

Aku menggeleng kecil meski hati ini sudah deg-degan. Gerangan apa yang mau dibicarakan sahabat baikku ini?

“Nggak ganggu kok, emang ada apa? Tumben banget kamu minta ketemuan mendadak?” tanyaku penasaran.

“Jadi, gini …”

“Hei, gaes! Tega banget kalian selingkuh dibelakangku!” Suara cempreng yang sudah amat kami kenal itu memotong ucapan Sandra.

Kami menoleh serentak. “Aduh, Arum … ngagetin aja!” Aku melotot ke arah wanita yang berdiri di belakang kami.

Arum terkikik geli. “Habisnya, kalian ngumpul di sini nggak ngajak-ngajak, sih!”

Tanpa di minta dia duduk di depanku dan nyelonong meraih jus aplokat milik Sandra.

Aku dan Sandra bertatapan, mendesah pelan. Dari dulu Arum belum berubah, suka asal-asalan.

“Kamu ngapain di sini?” tanya Sandra setelah Arum sukses menghabiskan minumannya yang tadi tinggal setengah.

“Baru COD-an. Eh, malah ketemu kalian. Lagi acara apa, nih?”

“Kangen aja, pengen ketemu.”

“Kangennya berdua aja, nggak sama aku?” Arum mengerucutkan bibirnya.

Aku dan Sandra tertawa kecil. “Sama kamu juga … hanya saja, kali ini ada hal penting yang mau kita bicarakan,” jelasku.

“Apa? Aku jadi kepo?” Arum mendekat.

Aku menatap Sandra. “Entahlah, ni Sandra yang mau ngomong.”

Sahabatku ini tercenung sesaat, sepertinya dia ragu mengatakannya karena ada Arum di sini.

“Nggak apa-apa, katakan saja sekarang,” ujarku sembari mengelus pundak Sandra. Aku tak masalah jika Arum mendengarnya karena wanita itu juga teman baikku. Walau sifatnya aneh, kadang Arum bisa diandalkan.

Sandra tampak menarik napas dalam, mengembuskannya pelan, lalu berkata, “Ci, seminggu lalu saat aku dan suami lagi jalan-jalan di pantai, aku liat suamimu sama seorang wanita ...”

“Maksudmu, kamu liat suami Citra selingkuh, gitu?” ucap Arum sedikit keras, memotong kalimat Sandra.

Sandra langsung menimpuk kepala gadis itu memakai pipet. “Bisa nggak, sih, suaramu itu dipelankan?!”

Aku nggak terlalu kaget dengan info tersebut meski hatiku terasa panas. Sandra menolehku, sorot matanya tampak bersalah. “Aku udah tahu dia selingkuh,” ujarku pelan.

“Kamu udah tahu?” Mereka bertanya serentak.

Aku mengangguk. “Kemarin aku melihat mereka ketemuan di kafe.”

“Terus apa yang kamu lakukan?” tanya Arum nggak sabaran.

“Ya, kusamperin aja. Pas kutanya, Mas Galuh berkilah dia lagi meeting.”

“Buseett. Dobleh banget si Galuh. Nggak nyangka deh!” Sandra memelototi Arum yang tersulut emosi, tapi wanita itu tak peduli. “Terus, kamu pasti diem aja? Nggak ngapa-ngapain mereka?” lanjut Arum sambil melipat tangan di dada.

Aku terdiam.

“Aduh, Cit. Kamu tuh dari dulu nggak berubah deh! Terlalu lembek. Harusnya kamu tarik  rambutnya si jalang itu sampai kepalanya mendongak, abis tuh masukin kopi panas lewat hidungnya. Biar m*mpus!” Arum bersungut-sungut sedangkan Sandra mendesah sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Mereka dua orang yang berbeda. Sandra kalem, Arum emosian.

Tiba-tiba, tak jauh dari meja kami terdengar keributan, membuat seluruh pengunjung restoran menatap ke sumber suara.

Di salah satu meja, terlihat seorang wanita sedang menyumpal mulut lelaki di hadapannya dengan bakso besar, lalu dia berpindah menghadap ke wanita di sampingnya, menyiramkan semangkuk sambal ke atas kepala wanita itu.

Dari percakapan yang kami tangkap, Mbak yang menyiramkan sambal tadi sedang melabrak pelakor yang merebut suaminya.

Aku dan Sandra ternganga sedangkan Arum ikut berteriak. “Bagus, Mbak. Hajar aja sekalian!”Dia memberi semangat kepada si korban perselingkuhan.

Setelah istri lelaki itu puas melabrak, akhirnya dia pergi dan dikejar suaminya. Si pelakor juga mengintil di belakang mereka.

“Harusnya kamu kayak gitu, Cit. Kalau perlu, lemparin mata pelakor itu pakai sambel …” Arum kembali menceramahiku.

“Udahlah, Rum. Nggak usah ngompor-ngompori!” Sandra menengahi. “Terus, apa yang akan kamu lakukan, Ci?”

“Tinggalin aja lelaki kayak gitu!” sela Arum seketika.

Sandra mendecak. “Perceraian itu bukan jalan yang terbaik, Rum.”

“Tapi orang kayak Galuh kalau dimaafin malah makin nyleneh. Kamu sendiri tahu gimana dia, kan?”

Sandra mendesah lesu.

Kedua sahabatku ini memang paham lika-liku kisah cintaku. Hingga bagaimana watak Mas Galuh. Mereka juga yang dulu menjadi tempat bersandar saat aku kabur dari rumah.

“Menurutku, kamu harus bicarakan ini baik-baik. Jangan sampai kamu mengambil tindakan yang salah. Ingat, perceraian itu hal yang dibenci Allah. Kamu tahu sendiri kasusku dulu kayak apa?” Sandra meremas jemariku.

Dia juga pernah menjadi korban perselingkuhan. Namun, Sandra mampu melewati itu semua dengan sabar. Pada akhirnya, kini keluarganya kembali utuh dan hidup bahagia.

“Tapi aku bukan kamu, San. Aku nggak bisa terus-terusan menahan kesal dan bersabar,” keluhku.

Sandra tersenyum. “Jangan cemas, asalkan kamu terus berusaha, inshaallah semua masalah akan selesai. Berdoalah pada Allah, minta diberikan kekuatan, kesabaran, dan jalan yang terbaik. Aku yakin, kamu bisa melewati semua ini. Allah nggak akan menimpakan beban melebihi kemampuan hamba-Nya.”

Aku membisu, tak ada kalimat tepat yang bisa kuucapkan kalau ustazah yang satu ini sudah memberikan wejangannya. Bahkan Arum pun ikut terdiam.

“Aku yakin, kamu juga masih mencintai Galuh. Maka, perjuangkanlah cintamu itu … toh urusan dia selingkuh itu menjadi dosanya sendiri. Kamu jangan gegabah untuk melepasnya, karena kehadiran suami itu bisa menjadi tameng dosa-dosamu.”

“Terus, kalau si Galuh nggak berubah gimana?” Arum bertanya, menaikkan sebelah alisnya.

Sandra menatap wanita berambut sebahu itu. “Selama Galuh nggak berbuat syirik, menurutku tetap pertahankan. Kezaliman yang dibuatnya, suatu saat pasti akan menimpa dirinya sendiri.”

Dia menjeda kalimatnya sejenak dan kembali menghadapku.

“Sementara itu, kamu fokus aja mencari ridanya, manfaatkan Galuh sebagai jalan untuk menggapai cinta Allah. Karena kalau dia sudah rida dengan apa yang kamu lakukan, dosa-dosamu inshaallah akan diampuni. Barangkali, ini juga menjadi ujian hijrahmu. Kamu harus kuat, ya!”

Aku sedikit lega mendengar saran Sandra, tapi apakah aku bisa?

“Aku akan berusaha semampuku, San. Makasih,” senyumku padanya. “Langkah pertamaku, mungkin aku akan menemui wanita itu, bicara baik-baik padanya. Tapi aku nggak tahu di mana alamat rumahnya?”

“Bukannya kamu tahu di mana dia bekerja?”

Aku mengangguk. “Dia kerja di PT Persada.”

“PT Persada?” kaget Arum. “Itu, kan, tempat kerja suamiku. Gawat nih kalau nanti suamiku kegoda juga olehnya?”

Sandra mendecak kecil.“Udah deh, nggak usah mikir aneh-aneh. Minta aja suamimu ngebantu Citra.”

“Itu, sih gampang.” Arum melambaikan tangan. “Siapa nama pelakor itu Cit?”

“Calista,” sahutku singkat.

“Oke, nanti kubilangin Mas Irfan biar nyariin alamat tuh pelakor, kebetulan banget Mas Irfan kerja di bagian personalia.” Arum tampak bersemangat. “Oh, ya. Jangan lupa ambil ATM suamimu!”

“Buat apa?” Heranku.

Arum menepuk jidat. “Ya, ampun, Cit. Kalau bego jangan terlalu deh … Mau duit Galuh diporotin sama pelakor itu?!”

Aku menggeleng cepat. Arum benar, jika Calista mendekati suamiku hanya karena harta, maka aku harus menyita ATM Mas Galuh, bahkan barang-barang lainnya yang bisa saja disikat oleh wanita itu kapan saja.

“Makasih, ya ... Mungkin aku udah nyerah kalau nggak ketemu kalian hari ini.”

Kedua sahabatku menatapku, mengangguk sambil tersenyum penuh arti.

Setelah mengobrol ngalor-ngidul selama beberapa saat, kami pun akhirnya meninggalkan restoran.

Aku tidak kembali ke tempat kerja, melainkan pulang.

Baru saja tubuh ini terempas ke kasur, sebuah pesan dari Arum muncul di layar ponsel.

Aku buru-buru membukanya. [Cit, Mas Irfan bilang nggak ada yang namanya Calista di perusahaannya.]

Jempolku segera mengetik. [Loh, kok bisa, sih? Kemarin aku liat sendiri wanita itu menyodorkan dokumen dengan logo perusahaan suamimu. Jelas-jelas namanya PT Persada. Kan, cuma ada satu di negara ini.]

Aku menekan tombol send dengan sedikit keras.

Pesanku hanya di-read, belum dibalas.

Limat menit kemudian Arum terlihat sedang mengetikkan sesuatu.

[Katanya ada yang namanya Calista, tapi nggak mungkin kalo Galuh selingkuh sama wanita itu … terlalu imposibble!]

Keningku berkerut dalam. [Maksudnya?] ketikku, lalu kutambah lagi [Suamimu punya fotonya?]

Arum mengirimkan sebuah foto yang belum bisa kulihat jelas sebelum semuanya terdownload penuh.

Beberapa detik menunggu dalam ketegangan, akhirnya gambar itu terpampang di layar.

Mataku melebar dengan napas memburu. [Nah, itu dia si Calista!]

Arum lama membalas, dan begitu dia sudah mengirimkan balasan, aku dibuat lebih syok dengan kenyataan yang kudapat.

Ternyata, sainganku bukan seperti kebanyakan pelakor di tivi atau cerita fiksi aplikasi yang cuma bisa morotin duit aja. Bahkan, kalau aku menyita semua ATM dan barang-barang Mas Galuh, itu tak akan berefek apa-apa.

Tubuhku langsung lemas. Luruh ke lantai tak berdaya.

Wanita itu, musuh yang kuat!

***

Yuk, tap ❤️ dan komen, ya!

Jangan lupa subscribe biar tahu saat ceritaku update …

Baca juga 👉  Elena, Bukan Rindu Biasa

Elena tak menyangka, cinta suaminya selama ini terlalu tipis hingga lelaki itu tega menyakiti hati dan fisiknya. Bahkan Andre menceraikannya secara sepihak setelah isu perselingkuhan yang terjadi di antara dirinya dan sahabat sang suami. 

Ingin melupakan, tapi kenangan buruk itu selalu datang dalam mimpi. Dan yang paling menjengkelkan, Andre kembali muncul dengan segunung keegoisannya. 

Mungkinkah Elena memutuskan kembali pada hati yang dulu pernah membuatnya nyaman? Atau, ia memilih untuk membalas dendam?

Yuk, jangan lupa subscribe, ya! 

 

 

 

 


Komentar

Login untuk melihat komentar!