Pesan Singkat dari Farel
“Toloooong!” Teriakku sambil memejamkan mata sedangkan tangan ini memeluk bahu sendiri. Tubuhku reflek menghadap ke samping, menghindar dari sesuatu yang tak diinginkan.

Selama sejenak, aku hanya meringkuk gemetar namun tak ada sentuhan apa pun yang kurasakan. 

Aku membuka mata perlahan, mendongakkan kepala ke arah lelaki itu. 

“Aku cuma ngambil ini,” ucap Farel datar seraya menunjukkan sesuatu yang terselip di antara ibu jari dan telunjuknya.

Kutegakkan tubuh dan memerhatikan lebih jelas. 

Benda yang dipegangg laki-laki itu bergerak-gerak, membuatku bergidik. 

“I-itu apa?” tanyaku. Bukannya menjawab, dia malah menggodaku dengan pura-pura melempar binatang kecil itu hingga membuatku kembali berteriak.

Lelaki itu terpingkal, seakan melihat barang lucu yang belum pernah dia temukan. “Sama laba-laba aja takut, dasar!” ujarnya setelah tawanya mereda.

Pak Farel kemudian memasukkan laba-laba itu ke dalam tempat sampah tertutup. “Tadi dia menempel di kerudungmu,” jelasnya seraya menghadapku lagi.

Aku buru-buru memeriksa tubuh, kali aja masih ada laba-laba yang menempel. 

Oke, tidak ada! Aku bisa bernapas lega.

Aku kemudian berdehem, kembali menata sikal. “Baiklah, sepertinya urusan saya cukup sampai di sini. Saya harap, Anda bisa menjaga pasangan Anda agar tidak berulah lagi. Permisi!”

“Tunggu!” pintanya tiba-tiba. 

Aku menghentikan langkah dan menoleh ke belakang. 

Lelaki itu bersedap dan berkata, “Aku tau Calista menghianatiku." 

Mata ini melebar mendengarnya. 

"Tapi aku tak menyangka dia akan memilih lelaki bodoh seperti suamimu.” 

“Jaga bicara Anda!” Aku tak rela Mas Galuh diejeknya.

Dia mendengus kasar. “Memang begitu, bukan? Suamimu itu terlalu bodoh, hingga mau menghianati wanita sebaik dirimu.”

Jujur saja, aku cukup tersanjung Pak Farel mengatakan demikian. 

“Ngomong-ngomong, aku juga nggak peduli Calista selingkuh dengan siapa? Kami menikah hanya untuk urusan bisnis, bukan karena cinta.” Pak Farel tersenyum miring.

Berbeda dengannya yang merasa baik-baik saja, tubuhku mendadak lemas. Sepertinya usahaku datang ke sini akan sia-sia. 

“Oke, kalau sudah selesai, saya permisi."

“Eh, satu lagi!” Aku yang sudah membuka pintu berbalik malas. Mau apa lagi, sih, ni orang? “Dalam waktu dekat, aku akan menceraikannya," jelasnya lagi.

Alisku terangkat sebelah. Itu, kan, urusan pribadi mereka, ngapain pula diomongin ke aku? 

“Terus, apa hubungannya dengan saya?” Dagu ini sedikit mendongak.

Dia mendekat seraya menarik sebelah sudut bibirnya sedangkan aku mundur. “Jika kami cerai ... Itu berarti, dia akan bebas. Karena itu, bersiaplah menghadapi Calista. Karena aku yakin, dia tidak akan menyerah untuk merebut suamimu.”

Mendengar itu, jemariku mengepal kuat. Menyebalkan sekali melihat wajahnya yang mengatakan tanpa dosa. “Baiklah, terima kasih infonya, Tuan!” ketusku dan langsung keluar ruangan.

***

Aku geram sendiri, ingin rasanya kuhancurkan setiap benda yang kutemui. Tapi mana mungkin! Bisa-bisa aku dipenjara karena mengamuk di kantor orang. Alhasil, aku cuma uring-uringan sendiri.

Tiba di parkiran, aku masuk mobil. 

Baru saja tubuh ini mendarat di belakang kemudi, seorang lelaki bertubuh besar, yang kuduga suruhan Farel mendekat.

Dia mengetuk kaca sampingku dengan pelan.
Aku membukanya. “Ada apa, ya?”

“Ini ada titipan dari Tuan Farel.” Lelaki itu mengulurkan sebuah kartu nama kemudian pergi.

Lebih baik kau cepat bertindak!

Kening ini terlipat ketika membaca tulisan tangan di balik kartu itu. Ada juga alamat sebuah hotel yang tertera di sana. 

“Apa maksudnya?” Kertas kecil itu kubuang begitu saja ke dashboard.

Tak mau buang waktu, aku segera kembali ke toko. Sely baru saja memberitahu bahwa pesanan hari ini membludak, dan aku tak ingin membiarkan karyawanku kuwalahan.

***

“Baru dateng, Cit?” Seseorang menyapa ketika aku baru saja memasuki toko.

“Eh, Arum. Iya, nih. Ada perlu apa?” Aku melangkah ke arahnya yang sedang duduk di sofa dekat kasir. Sepertinya aku tak kan jadi membantu karyawan kalau si cerewet ini datang.

Sahabatku itu berdiri dan langsung menyeretku masuk ke kantor. Setelah memastikan pintu tertutup, Arum menghadapku. 

“Gimana? Berhasil, nggak? Tadi aku tanya Mas Irfan, dia malah bilang kamu dibiarin nunggu di lobi. Bodo’ banget tuh orang … Maaf, ya!”

“Iya, nggak apa-apa.” Tas kuletakkan di meja, jaket kugantung di tempatnya, kemudian duduk di sofa empuk berdampingan dengan sahabatku itu.

“Terus, ketemu, nggak?” Wajah Arum tampak berbinar.

Aku tertawa kecil agar ketegangan yang sedari tadi menyelimutiku mengendur. “Kepo amat, sih!”

“Citra … aku serius!” gemas Arum.

“Aku juga serius. Seribu rius malah!”

Arum cemberut. “Udah, ah. Jangan becanda lagi … jadi gimana?” 

Kuhembuskan napas panjang sambil bersandar. “Hasilnya sia-sia!” 

“Sia-sia? Maksudnya, apa?”

Aku memijat pelipis dengan pelan. “Ternyata Farel tidak mencintai istrinya. Dia bahkan nggak peduli cacing pita itu mau selingkuh sama siapa? Dia juga bilang akan segera menceraikan wanita itu, dan memperingatkanku untuk hati-hati.” 

Sely muncul dari balik pintu setelah mengetuk beberapa kali. Dia membawa dua cangkir cokelat hangat dan sepiring muffin aneka rasa, meletakkannya ke meja. “Silakan, Mbak!” ujarnya kepada kami.

“Makasih, Sel,” jawab kami hampir bersamaan.

“Jadi, kamu pulang dengan tangan kosong, nih!” Arum ikutan menyandar ke sofa, meletakkan satu kakinya ke kaki lain, dan bersedekap. “Lalu, langkah selanjutnya apa?”

Aku meraih cangkir, menghirup isinya yang harum, kemudian mencecap cairan di dalamnya perlahan. “Entahlah … Aku percaya sama Mas Galuh. Dia udah janji nggak akan selingkuh lagi.”

Terdengar dengusan mengejek dari sampingku. “Kamu ini gampang sekali percaya sama lelaki tipe seperti itu. Aku bahkan curiga dia sekarang sedang bersama Calista,” ujar Arum tanpa memikirkan perasaanku.

Cokelatku pun menyembur ke luar. Aku baru ingat, Mas Galuh sekarang di Singapura, dan Pak Farel tadi memberi alamat sebuah hotel yang ada di negara itu … Jangan-jangan, ini ada hubungannya dengan Calista dan suamiku. Mungkinkah …

Tanpa banyak bicara aku berlari keluar ruangan.

“Hei, mau ke mana?!” 

Arum buru-buru menyusul dan tak lama kemudian kami tiba di parkiran. Kubuka pintu mobil dan mengambil kartu nama yang tadi kubuang.

“Ada apa, Cit?” Mata Arum mengarah ke kartu nama itu dan langsung mengambilnya. “Ini bukannya kartu nama Pak Farel?”

Aku mengangguk. “Tadi dia yang memberikan itu padaku dan menuliskan alamat hotel di situ. Jangan-jangan, dia sudah tahu Calista menyusul Mas Galuh ke Singapura, dan sekarang mereka sedang bersama.”

Suaraku terdengar gemetar dan tubuh ini mendadak lemas.

“Kalau gitu cepat susul mereka! Aku akan temani kamu, oke?” 

Aku setuju begitu saja. Kami pun bersiap saat itu juga.

Tiba di bandara, ternyata penerbangan ke Singapura baru saja lepas landas. Jadwal berikutnya untuk esok hari. Namun, aku tak bisa menunggu lagi. Pikiran ini sudah semrawut memikirkan yang tidak-tidak. 

Arum mengusulkan untuk mengambil rute dari Batam. Kami pun memesan tiket ke pulau tersebut, dan akan mengambil rute laut untuk perjalanan berikutnya jika rute udara kosong.
Itu lebih baik, daripada lewat bandara lain dan ternyata tiketnya tak ada juga.

“Makan ini dulu, Cit! Sejak sang tadi kamu belum makan, kan?” Arum mengulurkan sebuah makanan yang didapat dari pramugari. 

Aku menolaknya. Nafsu makanku sirna. Kegelisahan sukses menyelimuti hati dan pikiran ini yang semakin kacau karena bayangan-bayangan buruk.

“Kamu harus makan!” Arum memaksa tapi aku tetap menolak. 

“Aku mau tidur aja,” kataku akhirnya.

Aku pun mencari posisi nyaman sambil menghadap ke jendela. Suara pesawat berdenging saat mataku terpejam. Kurapatkan jaket karena dingin keluar dari AC di atasku. Ini akan menjadi perjalanan yang melelahkan.
 
Awas, kalau kamu ketahuan selingkuh lagi, Mas! 

***

Tap ❤️ dan subscribe ceritaku di aplikasi, ya! 
Membaca Al-quran lebih diutamakan. 😊🙏

Komentar

Login untuk melihat komentar!