APA YANG KAMU TAKUTI DALAM HIDUP?

Apa yang paling kamu takuti dalam hidupmu?

Takut dengan masa depanmu?

Takut kekurangan harta?

Takut tidak bisa membahagiakan keluargamu?

Takut citra dirimu jatuh?

Takut jabatanmu diambil orang?

Takut dengan penguasa yang zalim?

Atau…

Takut mati?

Ketahuilah, jika kamu sudah pernah merasakan mati sebelum dirimu mati, maka tak ada lagi yang kau takuti di dunia ini.

Ketakutanmu hanya satu, yaitu Sang Pemilik Alam Semesta tidak meridhoi setiap langkahmu.

(Dafanov Koliska, 11/11/2022)

***


Jakarta, 1986

Marry duduk terpekur di kursi tunggunya. Kursi chitose yang diduduki oleh Marry berderit mengikuti gerakan tubuhnya. Wajahnya yang polos tanpa riasan tampak sendu dan tidak bergairah. Meski begitu, wajah glazed skin Wanita berusia pertengahan tiga puluhan itu tetap menampakkan kecantikan alaminya. 

Matanya sembab. Berkali-kali Marry menghapus air matanya. Tapi air mata itu terus menerus keluar dengan derasnya. Tanpa bisa dibendungnya. Bibirnya yang biasanya selalu menyunggingkan senyum manis, sekarang hanya sanggup menyunggingkan lara. Mulutnya komat-kamit memanjatkan doa dan harapan. 

Meskipun Marry mandi sehari dua kali, namun pakaiannya sudah dua hari tidak diganti dikarenakan ia tidak mempunyai lagi stok pakaian bersih untuk gantinya. Hanya B Erl kesayangannya saja yang selalu dibawanya kemana-mana dan tidak pernah absen dari tasnya. 

Marry menatap nanar kepada tubuh di depannya yang sedang terbaring lemah. Tubuhnya penuh dengan selang-selang. Di tangan kirinya ada selang infusan, dan transfusi darah. Di hidungnya terpasang selang sonde dan oksigen. Di antara pahanya terpasang selang kateter. Sungguh pemandangan yang menyedihkan. Siapapun yang melihatnya pasti akan berurai air mata. 

Sungguh tidak tega melihat anak berumur sepuluh tahun dengan penderitaan yang begitu berat. Seharusnya di usianya yang masih belia, ia saat ini sedang bermain Bersama teman-teman sebayanya di sekolah.

Ruangan yang didominasi warna putih itu terasa suram bagi Marry. Dinding di cat putih, Gorden berwarna putih, sprei, sarung bantal dan selimut putih, lampu yang bersinar terang tidak mampu membuat hatinya lapang. Ada empat ranjang besi di ruangan itu. namun, saat ini hanya satu tempat tidur yang berpenghuni, yaitu ranjang yang sedang dipakai oleh anak lelaki kesayangannya. 

Kelelahan mendera jiwa dan raga Marry. Hingga akhirnya ia tertidur di kursi tunggunya. Kepalanya bersandar di tepian tempat tidur Dunn, anaknya yang sedang terbaring lemah yang sedang berjuang melawan penyakitnya. Tepian ranjang besi itu berberit menahan beban sebagian tubuh Marry bagian atas. Kepala Marry pun terkulai di di tepian ranjang besi dengan berbantalkan punggung tangan kirinya. Sementara tangan kanannya menggenggam tangan Dunn, sambil berusaha menyalurkan sisa-sisa energinya kepada Dunn. 

***

 

Dunn sedang tertidur di atas sebuah ranjang besi berseprei dan berselimut putih ketika tiba-tiba dirasakannya kehadiran sosok seorang laki-laki paruh baya yang berusia sekitar 50 atau 60 tahun masuk ke ruangan tempat ia tidur. Di usianya yang paruh baya itu, laki-laki itu terlihat sangat gagah dan awet muda. Sehingga lebih terlihat seperti berusia sekitar 25 atau 30 tahun. Laki-laki gagah itu menghampiri Dunn sambil tersenyum. Lalu menggenggam tangan Dunn dengan penuh kelembutan. Berusaha membangunkannya secara perlahan-lahan.

Dunn membuka mata ketika merasakan bahwa tangannya di genggam oleh seseorang. Genggaman yang hangat. Menggetarkan hati. Sekujur tubuhnya bergetar menerima sensasi kehangatan yang dirasakannya. 

Dunn mengerjap-ngerjapkan mata. Berusaha mengenali orang yang berdiri di samping tempat tidurnya. Perlahan-lahan dikenalinya sosok tersebut sebagai teman kakeknya yang sudah lama meninggal dunia. Namun sepenglihatan Dunn beliau sekarang terlihat menjadi lebih muda dari usianya. Seperti orang yang berusia 25 atau 30 tahun. 

Sesungguhnya laki-laki itu bukanlah kakek kandungnya. Dunn tidak tahu pasti silsilahnya. Dunn hanya tahu bahwa laki-laki itu adalah entah teman atau saudara kakeknya. Hubungan beliau dan kakeknya sangat akrab. Beliau sering datang ke rumah kakeknya sewaktu Dunn masih kecil dan tinggal di rumah kakeknya. Kakeknya memperkenalkan orang itu ke Dunn sebagai mbah Pardo. Kakeknya mengatakan bahwa Mbah Pardo adalah kawannya. 

Mbah Pardo…...” Dunn tersenyum gembira mendapati teman kakeknya yang datang menjenguknya.

Wajah Mbah Pardo terlihat putih bersinar terang. Pakaiannya putih dengan sorban melilit di lehernya. Tangan kirinya bergerak-gerak memagang butiran tasbih yang juga berwarna putih terang seperti batu mutiara.

Dunn segera bangun menyambut mbah pardo. Tangannya masih dalam genggaman mbah Pardo.

“Mbah datang kesini mau jemput aku ya?” Dunn langsung bertanya ke mbah Pardo. Mbah Pardo hanya tersenyum dan mengangguk. Tangannya masih menggenggam tangan Dunn.

“mbah mau mengajak aku ke rumah Allah ya?” lagi lagi Dunn bertanya dengan antusias. Sekali lagi Mbah Pardo tersenyum dan mengangguk. Tangannya semakin erat menggenggam tangan Dunn.

“Ayo, mbah… aku mau. Aku mau. Aku mau banget.” Dunn menunjukkan ekspresi kegirangan. Ia tidak dapat menyembunyikan kebahagiannya membayangkan bahwa ia sebentar lagi akan bertemu Sang Penciptannya.

Dunn segera turun dari tempat tidur. Ranjang besi yang biasanya berderit setiap kali Dunn bergerak, kali ranjang itu diam saja tidak protes ketika Dunn bergerak turun. Dunn dan Mbah Pardo berjalan beriringan menuju pintu kamarnya dengan tangan kanan Dunn menggandeng tangan kiri Mbah Pardo. 

Sesampainya di pintu, Dunn menoleh ke belakang ke arah ia tadi tidur. Dilihatnya di atas tempat tidur ada seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang sangat mirip dirinya sedang tidur dengan tenang. Selang infus tampak menggantung di sebuah tiang di atas kepalanya. Tubuhnya dipenuhi dengan berbagai kabel-kabel. 

Pakaian yang dikenakan anak itu bahkan sangat mirip dengan pakaian yang dikenakan Dunn sekarang. Sebuah pakaian berwarna biru muda yang dikhususkan bagi pasien yang sedang menjalani di rawat di sini.

Sementara di sampingnya dilihatnya ibunya sedang duduk di kursi menungguinya dengan kepalanya tertelungkup di pinggiran tempat tidur Dunn. Tubuhnya Tampak kurus dan terlihat Lelah. 

Pakaiannya tidak bisa disebut bagus dikarenakan tidak ada kesempatan bagi ibunya memperhatikan penampilan dirinya sendiri. Semenjak Dunn dirawat sejak dua bulan yang lalu, perhatian ibunya lebih fokus kepada Dunn daripada ke dirinya sendiri.

“Kasihan Mami tertidur kelelahan menunggui aku,” demikian gumam Dunn. Dilihatnya ke arahpinggiran tempat tidurnya ada papan tulis bertuliskan data dirinya:

Nama Pasien: Dunn Unais, Laki-laki, Usia: 10 tahun

Nama Ayah: Duddy Unais              

Nama Ibu: Unsamarry Yoan

Diagnosa: Meningitis TB

 

Dialihkannya pandangan ke ibunya.

“Mami, aku pergi dulu. Maaf aku tidak sempat pamitan. Daah.” 

Dunn bicara sendiri. Dunn melambaikan tangan kearah ibu nya. Sebenarnya Dunn ingin sekali memeluk dan berpamitan kepada ibunya. Namun bayangan akan bertemu dengan Sang Khalik lebih menggodanya. Sehingga diurungkan niat itu.

“Ayo, Mbah kita berangkat.” Dunn menarik-narik tangan Mbah Pardo dengan tidak sabar agar segera berangkat. 

Dunn dan Mbah Pardo keluar dari kamar itu. Di luar kamar, dilihatnya sepanjang Lorong rumah sakit Tampak terang benderang. Tidak seperti kamarnya yang tampak suram dengan lampu yang cahayanya tidak terlalu terang.