Cahaya putih berpendar di sepanjang Lorong. Dunn merasa sumber cahaya seterang ini bukan dari lampu rumah sakit. Sumbernya seperti dari cahaya matahari yang menerobos langsung ke dalam Gedung ini. Dunn mencari-cari darimana gerangan cahaya matahari itu bisa masuk? Tapi tak dilihatnya lubang atau ventilasi atau jendela atau pintu yang memberi ruang kepada sinar matahari untuk masuk.
Lantai di sepanjang Lorong rumah sakit yang biasanya hanya berupa lantai keramik saja, hari ini dihiasi dengan karpet merah. Sehingga terkesan sangat mewah. Seolah-oleh dipersiapkan bagi orang penting yang akan lewat.
Di sepanjang lorong, berjejer di kanan dan kiri Dunn barisan laki-laki muda berpakaian putih. Tinggi mereka sejajar, sekitar seratur tujuh puluh centimeter. Usia mereka semua sepantaran. sekitar 25 sampai 30 tahun. Wajahnya bersinar terang menyiratkan glaze skin dan wajah kharismatik yang tinggi. Perawakan mereka semua tampak muda, ganteng dan gagah. Mereka berbaris membentuk pagar bagus.
Pakaian warna putih yang dikenakan oleh para pagar bagus itu tampak aneh menurut Dunn. Sebelumnya Dunn belum pernah melihat pakaian seperti itu. Para pagar bagus itu hanya mengenakan dua lembar kain putih. Yang satu dililitkan dari pinggang ke kaki. Yang satu lagi diselempangkah dari bahu ke bawah ketiak, sehingga bahu kanan terbuka.
Semua pagar bagus itu memegang tasbih di tangan kanannya. Tasbih yang sangat bagus karena bisa mengeluarkan cahaya berkilauan di setiap butirannya. Seperti terbuat dari berlian. Mulut mereka komat kamit menggumamkan sesuatu. Gumaman itu berirama sangat rendah. Lebih mirip dengungan lebah dengan nada yang teratur. Dengungan itu membuat sepanjang Lorong menggema karenanya.
Dunn memasang telinga. Mencoba mendengarkan apa yang mereka gumamkan oleh mereka. Awalnya tidak terdengar. Namun ketika Dunn focus mendengarkan gumaman itu, ia dapat mendengar kalimat yang digumamkan oleh mereka dengan jelas
“Laa ilaaha illallah… Laa ilaaha illallah… Laa ilaaha illallah…”
Mereka menggumamkan kalimat itu terus tanpa henti. Pandangan mata mereka focus pada apa yang ada di pikirannya. Atau mungkin tepatnya pada apa yang diucapkannya. Gumaman itu membahana memenuhi sentero lorong rumah sakit.
Dunn menggandeng tangah Mbah Pardo. Sudah beberapa bulan ini ia tidak pernah keluar kamar. Sehingga ia tidak mengetahui kondisi di luar kamar. Seingatnya, ketika ia pernah keluar kamar untuk ke ruang operasi, di sepanjang Lorong ini hanyalah Lorong kosong yang senyap saja. Sesekali tampak dokter atau perawat yang mondar mandir. Diujung Lorong ada juga ruang jaga suster dan ruang jaga dokter.
Tapi hari ini pemandangan tampak berbeda. Dunn sangat takjub melihat pemandangan ini. Ia berjalan bersama Mbah Pardo di atas karpet merah di sepanjang lorong rumah sakit, membuatnya merasa seperti tamu kehormatan. Tambah lagi dengan barisan pagar bagus yang berbaris rapi di sisi kanan dan kirinya sepanjang lorong ini, membuatnya merasa sebagai orang spesial. Mbah Pardo menggandeng tangan mungil Dunn. Dengan tenang mereka berjalan menuju pintu keluar rumah sakit.
Sesampainya di luar rumah sakit, pemandangannya tidak kalah menakjubkan. Di parkiran rumah sakit telah terparkir sebuah pesawat yang sangat besar. Dunn sangat girang melihat pesawat itu. Seumur hidupnya, ia belum pernah naik pesawat. Ia hanya menontonnya di televisi saja.
“Kita mau naik pesawat itu, Mbah?” tanya Dunn antusias sambil menunjuk pesawat yang terparkir gagah di halaman rumah sakit.
Mbah Pardo mengiyakan dengan cara mengangguk sambil tersenyum. Dunn semakin kegirangan. Ia menarik-narik tangan Mbah Pardo agar cepat sampai di pesawat. Sepanjang jalan menuju pesawat masih dialasi dengan karpet merah. Membentuk jalur yang sangat rapi. Kanan kiri karpet merah pun dijaga oleh para pagar bagus yang berpakaian serba putih. Semua memberikan senyum kehormatan kepada Dunn dan Mbah Pardo.
Dun tidak sabar ingin segera naik ke pesawat dan merasakan terbang di udara. Begitu sampai di tangga pesawat, Dunn bergegas naik memasuki pesawat. Dilihatnya di dalam pesawat yang berukuran sangat besar itu, pesawat telah dipenuhi oleh para pemuda berpakaian putih sambil tangan kanannya memegang tasbih dan mulutnya menggumamkan kalimat
“Laa ilaaha illallah… Laa ilaaha illallah… Laa ilaaha illallah…”
Mbah Pardo menggandeng dan menuntun Dunn memasuki pesawat menuju ke tempat duduknya. Hanya ada dua kursi kosong di dalam pesawat itu. Seolah-olah itu memang dipersiapkan untuk Dunn dan Mbah Pardo. Mereka duduk di sayap kiri pesawat. Dunn memilih duduk dekat jendela. Mbah Pardo duduk di sebelah kanan Dunn.
Dunn melihat ke jalur yang tadi dilaluinya. Dilihatnya, karpet merah sudah tidak ada. “Cepat sekali mereka menggulungnya,” pikir Dunn. Para Pagar Bagus berpakaian putih pun sudah tidak ada.
“Kemana perginya mereka? Cepat sekali bubarnya? Apakah naik ke pesawat ini? tapi tidak mungkin. Tadi yang naik pesawat ini hanya dirinya dan Mbah Pardo saja karena didalam telah penuh dengan penumpang lain,” Dunn bertanya kepada dirinya sendiri sambil mencoba mencari jawaban
Jalur yang tadi dilaluinya pun telah berubah menjadi parkiran biasa. Dilihatnya banyak sekali mobil terparkir di halaman itu. “Aneh, mengapa tadi aku tidak melihat mobil-mobil itu?” pikir Dunn.
Pesawat perlahan-lahan mulai bergerak. Dari Jendela pesawat, Dunn bisa melihat bahwa pesawatnya berputar-putar mengelilingi rumah sakit. Seolah-olah memberi salam perpisahan kepada tempat tinggalnya sejak dua bulan lalu.
Pesawat sempat membawanya terbang ke atas rumah tinggalnya. Dilihatnya dari atas, genteng rumahnya. Di depan rumah ada dilihatnya ayahnya sedang menjemur baju koko putih kesayangan miliknya. Pakaian yang biasanya ia pakai saat sadang mengaji di madrasah dekat rumahnya. Dunn Ingat, ia sempat minta dipakaikan baju itu sebelum ia di operasi. Dokter mengabulkan keinginannhya. Dunn diijinkan memakai pakaian mengajinya saat memasuki ruang operasi.
Dunn melihat pakaian yang sedang dipakainya sekarang. Pakaiannya telah berganti selembar kain tipis warna biru muda yang menutupi bagian depannya. Bagian belakangnya diikat dengan tali-tali pengganti kancing baju. Sepertinya ini semacam pakaian seragam rumah sakit bagi pasien pasca operasi.
Pesawat terbang lebih tinggi lagi. Berputar-putar mengeliling Kota Jakarta. Dunn melihat rumahnya semakin lama semakin kecil. Pesawat terus terbang lebih tinggi lagi. Semakin tinggi hingga hanya awan putih saja yang kelihatan dari jendela pesawat.
“Laa ilaaha illallah… Laa ilaaha illallah… Laa ilaaha illallah…”
Suara-suara gumaman Tahlil yang melantunkan Kalimat Tauhid membahana memenuhi seluruh pesawat. Nada Tahlil yang diucapkan dengan frekuensi rendah tersebut membuat jiwa Dunn bergetar mendengarnya. Kalimat Laa ilaaha illallah yang didengar oleh Dunn membuat Qalbunya merasakan getaran yang dahsyat
Telinganya mulai terbiasa dengan kalimat tahlil tersebut. Sedikit mulai sedikit relung-relung hatinya mulai terisi dengan kalimat Tauhid itu. Jiwanya membuncah merasakan kebahagiaan yang teramat dalam mendengar kalimat Tauhid itu. Qalbunya bagaikan menemukan tambatan hati yang selama ini tidak diketahui oleh Dunn keberadaannya.
Baru di tempat inilah Dunn merasakan rasa rindu yang membuncah luar biasa, yang ia sendiri tidak tahu, rasa rindu kepada siapa. Yang Dunn tahu hanyalah ia ingin segera bertemu dengan Sang Khalik. Alunan Tahlil dengan frekuensi rendah itu secara perlahan-lahan membuat Dunn merasa tenang dan damai setelah sebelumnya Dunn merasakan sensasi berupa getaran di qalbunya.
Di sebelah kanannya Mbah Pardo duduk terpekur sambil bertahlil menyebut kalimat Tauhid. Jari-jari tangan kanannya sibuk menggerak-gerakkan butiran tasbih yang dipegangnya. Matanya terpejam menikmati keindahan lantunan kalimat Tauhid yang diucapkan bersama seluruh penumpang di pesawat ini.