AINUL HAYAT

Entah berapa lama pesawat berada di atas awan putih. Rasanya cuma sebentar. Dunn tidak peduli selama ia masih bisa mendengar kalimat Tauhid yang telah membuatnya merasa tenang dan damai. Kedamaian ini melenakannya. Ia menikmati segala moment Bersama Mbah Pardo. Hampir saja Dunn lupa dengan niat awalnya, yaitu bertemu Sang Pencipta.

Perlahan-lahan pesawat mulai mendarat di suatu tempat yang sangat indah. Mbah Pardo menuntun Dunn menuruni tangga pesawat. Tangga itu berhenti di sebuah taman yang sangat indah. Dunn sangat terpesona melihatnya. 

Sejauh mata memandang, hanya ada taman-taman yang tertata rapi dalam kelompok-kelompoknya. Tanaman itu di tanam teratur dalam suatu area bentuk seperti kavling-kavling yang sangat luas. Tanaman bunga yang cantik tertanam di masing-masing kavling. Setiap kavling, memiliki satu jenis tanaman bunga yang indah. Dan di area itu ada banyak kavling, dimana setiap kavlingnya seluas lebih dari sepuluh hektar.

Dilihatnya di salah satu kavling yang terdekat dengan dirinya berdiri, ada sebuah mata air yang memancur. Dunn segera menghampirinya. Ia mencuci wajahnya di air mancur itu. Rasanya segar dan menyegarkan. Dunn melihat pantulan bayangan dirinya di air mancur itu. Wajah Dunn yang glazed skin – begitu istilah yang diberikan ibunya untuk mengatakan bahwa wajah Dunn bersinar alami -  memancarkan cahaya yang terang. Dunn menengadahkan tangan untuk menampung air mancur itu dengan tangannya. Lalu meminumnya. 

Bismillahirrahmanirrahim

Air itu terasa sangat enak. Rasanya segar dan menyegarkan. Tegukan pertama membasahi mulut dan kerongkongannya menjadi segar.

Dunn mengambil lagi air tersebut dan meminumnya lagi. 

Bismillahirrahmanirrahim

Air mengalir masuk ke dalam tubuhnya melalui tenggorokannya. Rasanya sangat enak. Lebih enak dan lebih menyegarkan dari tegukan partama tadi. Dunn merasakan tubuhnya sangat segar. Seperti dialiri energi yang luar biasa menyegarkannya.

Bismillahirrahmanirrahim

Dunn minum lagi untuk yang ke-tiga kalinya. Ajaib. Rasanya bahkan lebih enak, lebih segar dan lebih menyegarkan dari minumnya yang pertama tadi. Tegukan ke tiga ini membuat jiwanya menjadi senang, bahagia, damai. Tak hanya itu, Dunn merasa terkoneksi dengan tempat ini.

Setelah puas meminum air yang ada di taman itu, Dunn menghampiri Mbah Pardo yang sedari tadi hanya berdiri mengamatinya sambil tersenyum.

“Mbah, air ini rasanya enak sekali. Selain itu, rada rasa yang aneh yang aku rasakan setelah meminumnya. Air apa ini, Mbah?” Tanya Dunn dengan pipi yang merona merah memancarkan kebahagiaan, ketenangan dan kedamaian.

Mbah Pardo menghampiri Dunn dan menggenggam tangannya. Digandengnya Dunn menuju ke Air Mancur yang tadi airnya diminum oleh Dunn.

“Ini adalah air kehidupan atau biasa disebut dengan Ainul Hayat. Di tiap taman ini memiliki satu air kehidupan. Rasa dan manfaatnya pun berbeda-beda.” Mbah Pardo menjelaskan kepada Dunn. Tangannya menunjuk ke air kehidupan di taman itu. Lalu Mbah Pardo melanjutkan penjelasannya.

“Air yang baru saja kau minun, adalah Ainul Hayat. Barang siapa yang meminumnya, maka segala penyakit di tubuhnya akan hilang. Baik itu penyakit Dhohir ataupun Bathin. Atau biasa disebut dengan penyakit Jasmani maupun penyakit ruhani.

“Apa itu penyakit Dhohir atau penyakit jasmani, Mbah? Tanya Dunn.

“Penyakit jasmani adalah penyakit yang melekat pada ditubuh manusia. Misalnya Batuk, Pilek, atau seperti penyakit yang kamu derita.” Jelas Mbah Pardo dengan sabar

“Sedangkan Penyakit bathin adalah penyakit yang ada di dalam rohani manusia. Misalnya sombong, malas, culas, pelit dan lain-lain.” Mbah Pardo melanjutkan penjelasannya.

Mendengar penjelasan dari Mbah Pardo, kepala Dunn mengangguk-angguk tanda mengerti. Dun melihat sekeliling tempat itu. Dilihatnya pemandangan yang sangat indah. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanyanyalah tanaman bunga-bungaan bernuansa putih. Ada yang putih susu, ada yang berkilau seperti berlian, ada yang putih seperti Mutiara, Bahkan tanahnya pun berwarna seputih salju.

“Mbah, tempat ini begitu luas, begitu indah, dan sangat menyenangkan. Apakah ini rumah Sang Khalik? Tanya Dunn dengan kepolosan khas anak-anak.

“Bukan. Ini belum apa-apanya. Ini hanya TamanNya saja.” Mbah Pardo menjawab pertanyaan Dunn yang polos itu. 

Dunn sangat takjub mendengar jawaban Mbah Pardo. Dunn membayangkan. Jika hanya tamanNya saja sudah sebagus dan seluas ini, bagaimana dengan rumahNya? Pasti lebih bagus lagi. Pikir Dunn.

“Lalu, dimana kita bisa menemuiNya?” Dunn tak sabar ingin bertemu. Kakinya bergerak-gerak ingin segera sampai ke tujuan.

“Kita harus naik pesawat lagi untuk menuju ke rumahNya.” Mbah Pardo menjelaskan kepada Dunn. 

“Ayo, Mbah. Kita berangkat sekarang.” Dunn menarik-narik tangan Mbah Pardo dengan tidak sabar. Wajahnya terlihat lebih berseri daripada awal tadi.

Mbah Pardo segera menuntun Dunn menaiki pesawat. Di dalam pesawat pemandangannya masih seperti tadi. Penuh dengan pemuda yang duduk melantunkan kalimat Tauhid dengan takzim. 

Suara “Laa ilaaha illallah… Laa ilaaha illallah… Laa ilaaha illallah…” terdengar bergemuruh dan menggema memenuhi seluruh pesawat.

 

Dunn dan Mbah Pardo Kembali ke tempat duduknya. Dirasakannya perlahan-lahan pesawat mulai bergerak semakin tinggi. Dunn melihat ke sebelah kanannya. Dilihatnya Mbah Pardo sedang duduk dengan takzim sambil menggerak-gerakkan tasbih. Mulutnya menggumamkan kalimat Tauhid “Laa ilaaha illallah… Laa ilaaha illallah… Laa ilaaha illallah…”

Lalu Dunn melihat ke belakang. Ia melihat dari celah antara kursi yang didudukinya  dengan kursi yang didukuki Mbah Pardo. Dibelakangnya persis, duduk pemuda cakap yang sedang berzikir menggumamkan Kalimat Tauhid. 

Kurang Puas dengan hanya melihat dari celah kursi, Dunn berdiri di atas kursinya. Sekarang pemandangannya lebih luas. Ia bisa melihat seluruh penumpang pesawat. Dunn mengedarkan pandangan ke sekeliling pesawat. Diperhatikannya satu per satu pemuda yang sedang Tahlil tersebut. Semuanya sebaya. Tampak seperti usia antara 25 sampai 30 tahun. Wajahnya putih berseri bercahaya, seperti wajah Glazed skin ibunya yang rutin menggunakan B Erl Cosmetik. Pakaiannya putih bersih. Butiran Tasbih yang dipegangnya memancarkan cahaya yang berkilau. 

Dunn baru menyadari perbedaan antara dirinya dengan seluruh penghuni pesawat ini. Semuanya, termasuk Mbah Pardo adalah pemuda berusia sekitar 25 tahun dengan tubuh yang bagus. Sedang dirinya hanyalah anak kecil berumur sepuluh tahun. 

Semuanya, termasuk Mbah Pardo mengenakan pakaian putih. Sedangkan dirinya hanya mengenakan pakaian seragam rumah sakit dengan tali temali yang diikat di belakang tubuhnya, sebagai pengganti kancing.

Semuanya mengucapkan Tasbih “Laa ilaaha illallah… Laa ilaaha illallah… Laa ilaaha illallah…” Sedangkan Dunn hanya menjadi pendengar dan penikmat lantunan Kalimat Tauhid tersebut.

Dunn mulai ragu. “Akankah Sang Khalik menerimaku dengan pakaian seperti ini? aku bahkan belum bisa mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah… Laa ilaaha illallah… Laa ilaaha illallah… Seperti yang dilakukan oleh para pemuda di pesawat ini”. Begitu pikirnya.

Pandangan Dunn beralih ke Mbah Pardo. Dilihatnya Mbah Pardo sedang berzikir dengan khusyu. Digoyang-goyangkan oleh Dunn tangan Mbah Pardo.  Mbah Pardo melihat kepada Dunn sambil tersenyum. Mulutnya tetap komat kamit menggumamkan kalimat “Laa ilaaha illallah… Laa ilaaha illallah… Laa ilaaha illallah…”

“Mbah, apakah di rumah Sang Khalik nanti ada anak kecil seperti aku?” Tanya Dunn dengan ragu-ragu. Wajahnya menunjukkan ekspresi tidak percaya diri. 

“Tentu ada. Banyak. Anak yang spesial seperti dirimu akan ditempatkan di suatu taman yang sangat indah. Kamu akan diasuh oleh Nabi Ibrahim dan Siti Sarah.” Mbah Pardo menjelaskan kepada Dunn tentang tempat tinggalnya nanti.

Mendengar nama Nabi Ibrahim dan Siti Sarah sebagai pengasuhnya kelak, Dunn mulai menangis. Ia menginginkan orang tuanya. Ia membayangkan ibunya pasti sekarang sedang sedih.  ayahnya pasti sedang mencari-cari dirinya karena Dunn pergi tanpa pamit. 

Dunn sudah mulai merindukan ibunya. Dunn menginginkan ayahnya. Dunn sebenarnya sangat ingin pegi ke tempat yang disebutkan tadi oleh Mbah Pardo. Asal bersama orangtuanya. Dunn menangis semakin kencang.