Dilihatnya jam yang terpampang besar di Stasiun Depok. Waktu menunjukkan jam 7.30. Dunn mulai cemas.
“Duh alamat terlambat nih” keluhnya dalam hati. Jelas ia tidak akan sampai di kantor jam 8.00. lah wong sekarang saja ia masih di peron menunggu KRL.
Suara music dari VCD bajakan saling bersahutan antar satu lapak dengan lapak di sebelahnya yang hanya berjarak tiga meter. Membuat sakit telinga orang yang mendengarnya. Pengamen pun tak mau kalah dalam menyumbang polusi suara di stasiun itu. ia memanfaatkan moment keterlambatan KRL dengan mengamen berkeliling dari satu orang ke calon penumpang lainnya. Suaranya beradu dengan suara music dari speaker lapak VCD bajakan. Keriuhan pagi itu dilengkapi pula dengan suara dari pedagan asongan yang berkeliling menawarkan dagangannya. Mulai dari pedagang koran, pedagang tissue, pedangan makanan dan masih banyak lagi pedangan lainnya.
Peron semakin penuh sesak setiap menitnya. Calon penumpang semakin bertambah. Mereka berdiri berdesakan di sepanjang peron Stasiun Depok karena sudah tidak ada lagi tempat duduk yang kosong.
Dunn bergerak perlahan diantara himpitan orang-orang yang berjejal di peron. Ia menerobos gerombolan manusia yang menumpuk di sepanjang stasiun Depok. Kakinya melangkah ke tempat biasa ia dan Balqis menunggu kereta Bersama genk De Angker lain sambil matanya menyapu peron mencari Balqis. Dunn menduga Balqis pasti sudah sampai kantor jam segini.
Tapi dugaanya ternyata meleset. Balqis masih ada di tempat biasa mereka menunggu kereta. Balqis sedang berdiri dengan satu kaki menopang kaki lainnya. Tampaknya Balqis sudah lama berdiri dan kakinya mulai pegal menyangga tubuhnya. Wajah Balqis terlihat gelisah. Di sekitar Balqis Genk De Angker pun hanya diam saja. Tidak ada keceriaan di wajah mereka seperti biasanya. Terlihat jelas wajah-wajah orang yang gelisah dan kesal karena menunggu KRL yang tak kunjung datang. Dunn tersenyum dan melambaikan tangan ke arah mereka sambil bergerak perlahan ke arah Balqis dan Genk De Angker.
“KRL telat ya?” tanya Dunn berkelakar kepada salah satu teman Genk De Angker-nya
Mendengar suara Dunn, Balqis menoleh ke arah asal suara. Wajahnya tetiba menjadi ceria.
“Iya. Gara-gara kamu telat, jadi deh KRL bersikeras nunggu kamu datang. Kamu kenapa kesiangan?” Balqis memasang wajah sewot sambil tertawa.
“Kemarin aku lembur bikin laporan sampai jam 21.00. semalam aku sampai rumah jam 22.30. baru tidur jam 24.00. Mana nanti jam Sembilan ada rapat. Untung materi meeting sudah aku selesaikan kemarin.” Dunn berbicara sambil menunjukkan ekspresi galau.
“Rasanya Lelah sekali. Bahkan sampai sekarang aku masih ingin melanjutkan tidur.” Kata Dunn sambil menunjukkan paras wajah yang lemas. Meskipun begitu, tetap saja yang terlihat adalah wajah gantengnya yang innocent.
“Kamu sendiri kenapa jam segini masih disini? Nunggu aku ya” Goda Dunn kepada Balqis hingga membuat gadis itu tersipu terlihat dari pipinya yang merah merona.
“Aku di stasiun sudah dari jam 6.15 berharap bisa naik yang jam 6.20. tapi sampai sekarang belum ada kereta dan belum ada pengumuman”
Ting.. tong… ting... tong….
Tiba-tiba bel di stasiun berbunyi. Tanda aka nada pengumuman penting. Semua orang langsung pasang telinga dengan siaga.
“Selamat pagi. Calon penumpang yang terhormat, Bersama ini kami sampaikan bahwa Kereta Rel Listrik tujuan Bogor-Jakarta mengalami gangguan mesin dan tertahan di stasiun Citayam. Estimasi perbaikan satu sampai dua jam. Kami sedang berusaha mengadakan KRL pengganti. Terima kasih atas perhatiannya” Suara Pengumuman laki-laki dari pengeras suara membahana memenuhi Peron Stasiun memberikan pengumuman.
Dunn dan Balqis saling berpandangan. Masing-masing berfikir apa yang sebaiknya dilakukan. Bukan hal baru, bahwa KRL telat. Biasanya perbaikannya butuh waktu berjam-jam. Pandangan mereka menyapu peron yang semakin penuh sesak dengan calon penumpang ke arah Jakarta. Ada yang mau berangkat kerja, ada yang mau kuliah, ada yang mau bisnis. Sebagian besar wajahnya menunjukkan ketidaksukaan. Meskipun ada juga yang tertawa-tertawa Bersama komunitasnya yang terbentuk atas dasar kesamaan nasib.
Peron ini banyak menjadi saksi bagi aktifitas para penumpang setia. Ada yang bertemu jodoh di peron ini, ada yang mendapat tambahan rejeki di peron ini dengan cara menjual produknya. Ada yang menambah relasi bisnisnya. Ada juga yang sekedar menambah teman. Bahkan ada yang menambah hutang juga. Hihihi. Tak hanya itu, ada juga copet-copet berkeliaran mencari mangsa yang lengah. Penjaja asongan keliling menawarkan dagangannya. Pengamen yang berlatih vocal di ujung peron.
Melihat peron stasiun yang semakin membludak dengan manusia, yang tidak mungkin terangkut semua oleh KRL yang pertama lewat setelah diperbaiki. Dunn semakin resah.
“Naik bis aja yuk.” Ajak Dunn ke Balqis.
“Waah…. Parah. Aku tidak tahan macetnya. Jam berapa nanti kita sampai di kantor?” jawab Balqis
“Pilihannya hanya ada 2: tetap setia menunggu KRL yang tidak jelas kapan datangnya dan pasti akan penuh sesak oleh penumpang atau naik bis tapi macet. Kamu pilih yang mana? Tanya Dunn ke Balqis
KRL dengan segala permasalahannya tetap menjadi primadona bagi warga Depok, termasuk Balqis dan Dunn selain karena harga tiketnya murah, juga karena waktu tempuh yang sangat cepat. Jarak Depok-Pancoran jika naik KRL cukup bermodal Rp.25.000,- sebulan dengan waktu tempuh sekitar tiga puluh menit. Sedangkan jika naik bis, butuh modal sekitar Rp.3.000,- sekali perjalanan dengan waktu tempuh dua jam.
“Baiklah… mari kita naik Bis.” Balqis langsung berdiri sambil merenggangkan otot-otot kakinya yang kaku karena terlalu lama berdiri. Mereka segera berjalan sambil berusaha menerobos manusia yang semakin banyak berdiri berjejal di sepanjang peron. Balqis berjalan di belakang mengikuti Dunn menuju pintu keluar stasiun dan lanjut ke arah terminal. Kebetulan Jarak Stasiun Depok dengan Terminal sangat dekat. Hanya 5 menit berjalan kaki.
Setelah dengan susah payah berusaha menerobos kepadatan lautan manusia di sepanjang stasiun, Dunn dan Balqis bisa bernafas lega di luar stasiun. Mereka pun melanjutkan perjalanan ke arah terminal yang hanya berjarak sekitar tiga ratus meter dari Stasiun Depok.
Suasana di terminal ternyata juga sangat ramai. Lebih ramai dari biasanya akibat limpahan penumpang dari stasiun yang beralih ke Bis. Dunn segera mencari Bis Patas AC jurusan Depok – Manggarai Via Pancoran. Dari jauh dilihatnya bis itu sedang mangkal di jalur 2. Dunn dan Balqis bergegas menaikinya. Syukurlah masih ada beberapa kursi yang kosong. Tak lama setelah semua kursi terisi, bis segera berangkat.
Di dalam bis, Dunn sibuk membuka-buka tas dan dompetnya. Balqis mengamati kesibukan Dunn.
“kenapa? Ada yang hilang?” tanyanya.
“Tidak. Alhamdulillah. Tapi…” Dunn ragu-ragu melajutkan kalimatnya. Ia diam sejenak untuk kemudian melanjutkan kalimatnya. “ternyata aku tidak bawa uang cash. Boleh aku pinjam dulu uangmu tiga ribu untuk ongkos bis?” Dunn mengatakan itu dengan malu-malu. Wajahnya bersemu merah. Tidak biasanya ia meminjam uang.
Dunn memaki-maki kebodohannya sendiri. Dunn yang mengajak Balqis naik bis, tapi ia malah tidak ingat bahwa ia tidak membawa uang cash. Ia terbiasa cashless. Dari rumah ke stasiun naik motor. Motor dititip ke penitipan motor system pembayaranya bulanan. Dari Stasiun Depok ke Statiun Cawang naik KRL bayarnya bulanan juga. Dari Stasiun Cawang ke kantornya ia naik bis 10 menit dan hanya perlu uang seribu rupiah membayarnya.
“Tenang…. Nanti aku yang bayar. Ga usah diganti.” Balqis tersenyum penuh kemenangan. Sekali-kali senang juga bisa membantu Dunn. Biasanya laki-laki ini tidak pernah mau yang namanya ditraktir dalam hal apa pun. Makan, transport, kongkow dan lain-lain. Harga dirinya terlalu tinggi untuk menerima traktiran dari orang lain.
“Asyikkk… makasih ya. Barakallah. Aku mau menikmati macet dengan caraku, boleh kan? Dunn balas tersenyum sambil mulai menguap. Rasa kantuk akibat kurang tidur tadi malam mulai menyerangnya. Dunn tidak berusaha memeranginya. Malah Dunn semakin tenang dan mulai terkantuk-kantuk. Tidur adalah kegiatan paling menyenangkan ketika bermacet-macetan. Balqis hanya tersenyum saja mempersilahkan Dunn tidur. Ia pun tidak berniat mengganggu Dunn. Akhirnya Balqis pun ikut tertidur.
***
“Dunn… siap-siap turun” sebuah suara membangunkan Dunn”. Dunn bangun dengan perasaan segar. Lumayan dua jam tertidur di bis telah memberinya energi baru.
Dilihatnya sekeliling. 100 meter di depan adalah lampu merah pancoran. Lampu tersebut mengatur lalu Lalang Kendaraan agar berjalan dengan teratur. Maklum Per-empatan Pancoran ini adalah persimpangan yang Sangat besar dan sibuk.
Di tengah-tengah per-empatan, berdiri megah Monumen Patung Dirgantara seberat 11 ton atau yang terkenal dengan nama Patung Pancoran yang menjadi icon perempatan pancoran. Patung manusia luar angkasa yang menggambarkan semangat keberanian rakyat Indonesia untuk menjelajah angkasa. Konon katanya patung Pancoran setinggi 11 meter itu sudah ada sejak tahun 1966.
Bis berjalan perlahan dengan kecepatan 20 km/jam menuju lampu merah. Mereka mulai bersiap-siap jalan menuju ke pintu belakang untuk persiapan turun.