LIMA BELAS TAHUN KEMUDIAN

“Mbah, aku ingin kembali ke tempat Mami. Aku ingin pamintan. Dan yang penting, aku ingin ganti baju supaya bajuku sama seperti baju yang mbah gunakan sekarang.” Dunn mulai menangis. Dunn merasa dirinya malu akan bertemu dengan sang Khalik dengan hanya menggunakan pakaian tipis seragam pasien yang sedang di rawat di rumah sakit.

“Aku janji akan Kembali ke sini kalau aku sudah berganti baju.” Kata Dunn

“Dan aku akan belajar Tahlil seperti yang mbah gumamkan sepanjang perjalanan.” Tambah Dunn

Mbah Pardo memandang Dunn dengan pandangan penuh kasih sayang. Lalu katanya; “Apakah kamu yakin ingin Kembali ke dunia?”

“Iya, Mbah,” Dunn mengangguk. “Setelah ganti baju dan aku bisa tahlil, aku akan Kembali lagi.”

“Baiklah, kalau itu permintaanmu. Pegang tanganku.” Kata Mbah Pardo sambil mengulurkan tangannya.

“Terima kasih, Mbah. Nanti aku akan Kembali lagi ke sini kalau aku sudah berganti pakaian seperti yang mbah pakai sekarang.” Kata Dunn sambil menggenggam tangan Mbah Pardo. Tangisnya mulai menghilang. Digantikan dengan kebahagiaan.  Karena sebentar lagi ia akan bertemu dengan ibunya.

Tangan kanan Dunn digenggam oleh tangan Mbah Pardo. Genggamannya tidak kuat. Namun menghangatkan. Tubuh Dunn bergetar menerima sensasi hangat yang dialirkan dari tangan Mbah Pardo ke tangannya dan mengalir ke seluruh tubuh Dunn. 

Perlahan Dunn membuka mata. Dilihatnya ia berada di sebuah ruangan yang sangat ia kenal dalam dua bulan terakhir ini. yang pertama dilihat adalah wajah ibunya yang sedang menangis sambil menggenggam tangan Dunn.

Lalu di sekitarnya orang-orang sedang mengerubunginya. Siapa orang-orang ini? semuanya berpakaian putih. Tak ada yang ia kenal. 

“Jangan menangis, Mami, aku tidak jadi pergi.” Hanya itu yang keluar dari mulut Dunn untuk kemudian Dunn tidak sadar lagi entah berapa lama.


 

 

 

Lima Belas Tahun Kemudian

Selasa, 12 Juni 2001

 

Dunn melihat jam tangannya. Sudah jam 16.00. cepat-cepat ia membereskan meja kerjanya, meskipun baru sejam lagi waktunya jam pulang kantor. Dunn selalu semangat jika waktu sudah menunjukkan jam 16.00, karena sebentar lagi ia akan terbebas dari pekerjaannya yang menumpuk.

Sambil menunggu jam 17.00, Dunn membuka-buka koran. Headlinenya tidak jauh-jauh dari berita tentang perang antar negara, kejahatan, Ekonomi, dan berita receh lain seperti gossip seputar artis atau pun tawuran. Dunn hanya membuka-buka lembaran koran saja tanpa membaca beritanya. Tidak ada yang menarik. Gumamnya. 

Lelaki berwajah Indo dengan tubuh atletis itu kembali melihat benda di punggung tangannya.. Jam 16.30. Artinya masih 30 menit lagi menuju waktunya pulang.

“Door!” Sebuah suara merdu seorang Wanita berusaha mengagetkannya. Tangannya menepuk punggung Dunn dengan pelan sedikit kencang karena. Dunn pura-pura kaget meskipun sebenarnya ia tidak kaget. Dunn hanya ingin menyenangkan Wanita itu saja

“Dunn, pulang yuk sekarang. Supaya keretanya masih longgar” pemilik suara yang Bernama Balqis itu menormalkan volume suaranya ke mode pelan. Tidak lagi berusaha mengagetkan Dunn. Suara yang renyah, yang selalu dirindukan oleh Dunn.

Dunn dan Balqis rumahnya memang searah. Jadi mereka sering pulang berbarengan naik Kereta Rel Listrik atau yang biasa disebut KRL. Dengan mengendarai KRL, Jarak Cikini-Depok dapat ditempuh hanya dalam waktu 50 menit. Sangat menghemat waktu dan energi dibanding jika naik kendaraan lainnya seperti mobil pribadi, bis, metromini, kopaja, taksi, ataupun motor.

“belum jam 17.00. Tidak baik korupsi waktu” ledek Dunn.

“Yaaaahhh… biasanya juga kita ngejar KRL yang jam 16.40. supaya gak berdesak-desakan di kereta” Jawab Balqis sambil mencibirkan bibirnya. 

“Tuh… Pak Sonny dan Bu Tia juga sudah pada pulang duluan” lanjut Balqis. Dunn menengok ke meja Pak Sonny dan Bu Tia. Meja kerja mereka mamang sudah rapih. Menandakan si empunya meja sudah tidak menggunakannya lagi untuk hari ini. 

Balqis Kembali ke mejanya dengan membawa setumpuk pekerjaan yang sudah dirapihkan dan tersusun di map.  Balqis segera membereskan meja kerjanya. Ia tidak ingin terlambat sampai di rumah. Balqis punya prinsip, dalam sehari jangan membuat kesalahan yang sama sampai lebih dari sekali. Jadi kalau datang sudah terlambat, maka pulang pun jangan telat. Hehehe. Ya. Karena tadi Balqis terlambat absen satu menit akibat kemacetan di jalan dari stasiun Cikini menuju ke kantornya.

Dunn hanya memandanginya saja dari jauh. Lalu Kembali asyik dengan koran di tangannya. Dunn sebenarnya ingin terus memandangi perempuan yang sudah menjadi sahabatnya selama enam tahun terakhir ini sejak mereka kuliah masih. Dunn dan Balqis dulu bertemu pertama kali di Peron Stasiun Depok ketika mereka sama-sama hendak berangkat kuliah. Mereka selalu menunggu kereta di jam yang sama, tempat yang sama dan komunitas yang sama, yaitu Genk Angker. 

Ketika pertama kali Dunn mengetahui nama Genk ini, Dunn sangat takut berbaur dengan mereka karena terdengar seperti nama gerombolan orang-orang yang sangar, kasar, brutal, anti social, dan hal-hal negative lainnya. Namun seiring semakin seringnya Dunn menunggu KRL di peron yang sama, waktu yang sama tempat yang sama, orang-orang yang sama, akhirnya Dunn semakin mengenal mereka. Isinya hanyalah orang-orang yang sedang menunggu KRL dan mengisi kegiatan dengan cara masing-masing. Ada yang membaca, mengobrol, diam, dan lain-lain. Ada pula yang menyanyi dan mengamen di tengah hingar bingar suara music dari lapak-lapak VCD turut meramaikan suasana di stasiun.

Saat itulah Dunn mengenal Balqis. Ia sedang duduk sendiri di antara Genk Angker. Penampilannya sebagai anak kuliahan menarik perhatiannya. Dan ternyata Balqis adalah tipe perempuan yang enak diajak ngobrol. Saat naik KRL pun, Dunn berusaha dekat dengan Balqis. Menjaganya jangan sampai ada orang iseng yang memanfaatkan moment berdesak-desakan di dalam KRL dengan melakukan hal-hal yaang tidak senonoh pada Balqis sampai Balqis turun di Stasiun Universitas Indonesia dan Dunn melanjutkan perjalanan ke Stasiun Universitas Pancasila.

Maklumlah Transportasi Publik yang satu ini memang special. Penggemarnya banyak. Biaya murah, waktu tempuh singkat, membuat penumpang KRL selalu membludak. Khususnya pada jam-jam rush hour ketika orang berangkat kerja dari arah Bogor ke Jakarta. Bagi orang-orang yang nekat, bila tidak mencapat tempat di dalam gerbong, maka atap KRL menjadi pilihan. Bagaimana dengan masalah safety? Jangan berharap banyak dari transportasi yang satu ini. Safety adalah tugas masing-masing penumpang. 

Setelah lulus kuliah, Dunn bekerja di perusahaan Lembaga Pengelolaan Uang Milik Negara. Tahun ini sudah sekitar empat tahun masa kerjanya dengan Jabatannya sebagai Account Officer. Yang berarti sudah sekitar empat tahun ini Dunn harus menempuh perjalanan enam puluh kilometer secara pulang pergi. 

Jarak dari rumahnya ke tempat kerjanya sekitar tiga puluh kilometer. Jika ditempuh dengan menggunakan mobil bisa membutuhkan waktu sekiar dua sampai tiga jam perjalanan tergantung kondisi jalanan. Semakin macet, maka perjalanan sejauh tiga puluh kilometer itu bisa dtempuh dengan sangat lama. 

Jika menggunakan kendaraan bermotor, maka perjalanan bisa ditempuh dengan waktu sekitar satu setengah sampai dengan dua jam. Lebih singkat daripada naik mobil pribadi apalagi naik bus.

Sedangkan jika menggunakan Kereta Rel Listrik / KRL maka perjalanan menjadi jauh lebih singkat lagi. Hanya butuh waktu sekitar 50 sampai dengan enam puluh menit untuk menuju ke tempat kerjanya dari rumahnya. 

Karena itulah, Dunn lebih memilih menggunakan moda transportasi KRL daripada jalur darat lain seperti bis atau mobil pribadi atau motor. Namun bukan berarti Dunn anti naik moda transportasi lain. Kadang-kadang Dunn tetap menggunakan moda transportasi lain selain KRL. 

Meskipun sebenarnya, ada alasan lain kenapa Dunn memilih naik KRL yaitu agar ia bisa Bersama Genk De Angker.