Bis berhenti tepat 10 meter sebelum lampu lalu lintas. Dunn dan Balqis serta beberapa orang lain bergegas turun. Sebenarnya tidak perlu tergesa-gesa. Karena lampu merah disini terkenal sangat lama. Bisa mencapai 4 menit.
Dunn dan Balqis berdiri dengan sikap siaga di pinggir trotoar. Diam dan sabar menunggu lampu menjadi merah. Agar kendaraan berhenti dan mereka bisa menyeberang jalan. Dilihatnya jam tangan menunjukkan waktu 10.20.
Tiba-tiba Dunn dikejutkan dengan suara yang menyapanya.
“Permisi, Bang, Numpang tanya. Abang tahu alamat ini?” seorang laki-laki berperawakan sedang berpakaian ala suku baduy tanpa alas kaki memberikan sehelai amplop berisi surat undangan kepada Dunn. Dunn membuka amplop tersebut dan mengeluarkan isinya. Dibacanya dengan seksama surat itu.
Di surat itu tertulis sebuah surat undangan yang meminta agar nama yang tercantum di surat undangan itu datang ke sebuah Rumah Ibadah di daerah Tebet untuk mengambil dana bantuan.
Dunn membaca lembaran kertas yang sudah lusuh itu. Matanya focus ke alamat yang tertulis di surat itu. Dunn berfikir mencoba mencari alamat itu di perbendaharaan memorinya. Saat Dunn sedang berfikir serius, tiba-tiba nalurinya berbisik dan mencurigai Orang tersebut.
Dunn mengamati orang yang bertanya barusan. Penampilannya lusuh. Pakaiannya berwarna putih lengan panjang. Meskipun bersih namun terlihat dekil. Di bahunya terselempang tas dari anyaman kulit pohon terep yang dibentuk menjadi tas. Ia Menggunakan ikat kepala yang warnanya senada dengan bajunya. Penampilan keseluruhan menggambarkan orang khas suku pedalaman. Dunn berfikir, mungkin dia dari Suku Baduy.
“Maaf, Nama Bapak Siapa? Tanya Dunn dengan sopan. Melihat penampilan Orang ini, rasanya tidak mungkin ia mencari alamat yang barusan ditunjukkan ke Dunn. Kalaupun betul, apa keperluannya?
“Nama saya Mursyid. Abang boleh panggil saya Abah. Ia memperkenalkan dirinya kepada Dunn. Tangannya terulur hendak menjabat tangan Dunn. Namun Dunn tidak menerima tangan itu. ia hanya menganggukkan kepala sebagai tanda kesopanannya.
“Maaf ya Abah atas kelancangan saya. Abah mau apa ke alamat sini? Mau ibadah? Setahu saya tempat ibadah ini hanya dibuka di hari minggu.” tanya Dunn curiga. Melihat penampilan si bapak lusuh ini, Dunn yakin, ia bukan hendak ibadah. Naluri Dunn mengatakan, bahwa orang yang mengaku bernama Mursyid ini, beribadahnya bukanlah di tempat yang tercantum di surat undangan itu. Meskipun terlihat lusuh dan dekil, namun Dunn menangkap aura positif yang besar dari orang di hadapannya itu. Matanya yang tajam memancarkan keilmuan yang tinggi. Selain itu, wajahnya memancarkan keteduhan dan ketenangan luar biasa yang membuat Dunn merasa betah berbicara dengannya.
“Abah diundang, Bang. Ini suratnya. Abah disuruh mengambil uang sebesar Rp. 180.000,-. Seharusnya jam delapan tadi pagi Abah disuruh datangnya. Tapi Abah jagain istri abah dulu.”
“Bapak kenapa disuruh ambil uang Rp 180.000,-di tempat ibadah ini?” Dunn semakin penasaran
“Istri Abah sakit. Sekarang lagi dirawat di Rumah Sakit di Salemba. Abah tidak punya uang untuk bayar. Terus orang ini nawarin abah uang untuk bayar pengobatan emak. Syaratnya Cuma satu; Abah harus mau diBatis aja. Di Batis teh diapain ya, Bang?” si Abah lusuh bercerita dengan logat sunda yang khas.
“DiBatis?” Dunn bingung “maksud Abah diBaptis?” Dunn balik bertanya
“Ga tahu, Bang. Pokoknya Abah Cuma dibilangin mau diBatis, trus nanti abah dikasih uang Rp. 180.000. Nanti kalau istri abah udah keluar dari rumah sakit, istri dan anak abah disuruh diajak ke alamat ini untuk diBatis juga. Anak abah pake kerudung juga seperti Neng Geulis temennya abang tadi. Katanya nanti kalau sudah diBatis, kerudungnya harus dibuka”
Mendengar itu, Dunn tersentak kaget karena dua hal. Tiba-tiba Dunn teringat dengan Balqis. Dimana dia? Kok bisa-bisanya Dunn melupakan teman seperjalanannya. Dunn celingukan. Dilihatnya Balqis sudah di seberang jalan berdiri menunggu Dunn. Laki-laki introvert itu bernafas lega. Hal kedua yang membuatnya tersentak kaget adalah ketika Dunn mendengar nilai sebesar Rp. 180.000 harus ditukar dengan akidah tiga kepala! “Oohhhh Tidaaaakkk!...” Dunn berteriak dalam hati. Ia sungguh tidak rela.
“Abah jangan ke sana!” Dunn langsung bereaksi. Ada perasaan tidak nyaman ketika mengetahui bahwa si Bapak Lusuh yang Tampak seperti dari suku Baduy hendak menukarkan akidahnya dengan uang. Tidak hanya itu. Akidah keluarganya pun turut dipertukarkannya. Dunn langsung berhitung. 180.000 dibagi 3 kepala. Berarti satu kepala harganya enam puluh ribu rupiah. “Tidak…. Aku tidak rela.” Batin Dunn berontak membayangkan kengerian itu.
“Tapi Abah butuh uangnya, Bang” kata orang yang mengaku Bernama Mursyid itu.
“Saya yang akan bayar biaya pengobatan istri Bapak. Ayo kita ke rumah sakit sekarang. Pokoknya Bapak jangan ke alamat ini” Dunn berbicara setengah memaksa sambil berhitung dalam hati. “gajiku Rp. 750.000. aku masih mampu menyisihkan Rp.200.000 untuk biaya pengobatan istrinya.”
Kepala Dun berdenyut-denyut karena berhitung dengan perasaan marah. Entahlah marah kepada siapa. Satu hal yang pasti; Dunn tidak rela jika Abah Mursyid sampai benar-benar datang ke alamat yang dicarinya itu dan menukarkan akidahnya demi uang.
Dunn segera membuka tas. Mencari uang.
Astaghfirullah…. Dunn menepuk jidat. Baru teringat olehnya bahwa ia sama sekali tidak membawa uang. Bahkan tadi untuk ongkos naik bis pun ia meminjam kepada Balqis.
“Tidak usah, Bang. Tidak usah repot-repot. Biar Abah cari aja alamatnya.”
“Bapak tunggu disini” kata Dunn setengah memaksa, lalu dikeluarkannya Handphone Nokia 3210. Dunn mulai menelepon seseorang dengan gelisah. “Angkat Dong Balqis…” batin Dunn
Tuuut….
Dunn memandang ke seberang jalan sambil memberi kode ke Balqis agar mengangkat telponnya. Ketika sedang memberi kode ke Balqis, Tiba-tiba ada bisikan di telinga kirinya.
Hati-hati… ini penipuan model baru. Waspadalah.
Mendegar bisikan itu, Dunn segera mematikan panggilan. Sementara Abah Mursyid menolak mati-matian bantuan yang ditawarkan oleh Dunn. Ia senang ketika akhirnya Dunn menutup telponnya.
“Bang…. Abah mengucapkan terimakasih atas perhatian Abang ke Abah dan keluarga. Abang orang baik. Semoga Allah meridhoi niat baik Abang.”
Lalu Si Orang Baduy tersebut menjabat tangan Dunn dengan sangat erat. Tangan Dunn merasa hangat saat dalam genggaman tangannya. Memorinya mencoba mengingat suatu perasaan yang pernah ia rasakan dulu. Tapi kapan dan dimana, Dunn lupa.
Tiba-tiba Dunn merasakan sensasi perasaan yang aneh. Rasa apa ini namanya. Seluruh tubuhnya gemetar dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dadanya merasakan kebahagiaan yang membuncah. Peredaran darahnya terasa mengalir deras. Jantungnya berdetak kencang. Perut bagian bawah mulas. Otaknya lumpuh seperti terhipnotis. Seluruh tubuh rasanya seperti terkoneksi. ke Orang Baduy ini.
Dunn mencoba mengingat-ingat sensasi rasa ini kembali. ia ingat pernah merasakan rasa ini tapi dimana dan kapan? Ooh… iya dia ingat sekarang. Ia pernah merasakan sensasi perasaan seperti ini ketika ia kecil dulu saat sedang sakit. Tapi kenapa rasa itu tiba-tiba muncul sekarang? Di depan Orang Baduy Ini pula. Sungguh aneh.
“Terkadang kita dekat seperti dua tangan yang saling menggenggam ini. tetapi juga teramat jauh seperti dua tangan yang tak pernah menyentuh.” Orang Baduy itu tetap menggenggam tangan Dunn dengan penuh kehangatan.
“In Syaa Allah kita akan bertemu lagi nanti di lain kesempatan. Sekarang Abah pamit dulu ya…,” Orang Baduy itu melepaskan tangan Dunn. Sementara Dunn hanya terdiam. Tidak sanggup berfikir apapun.
“Hanya karena Abah baru saja melepaskan genggaman dari tanganmu, bukan berarti Abah melepaskanmu begitu saja. Selain Abah, nanti akan ada dua orang istimewa lagi yang akan membimbingmu,” orang yang bernama Mursyid menatap tajam ke arah Dunn. Lagi-lagi Dunn terdiam tidak sanggup berkata-kata. Mulutnya ingin sekali bertanya banyak hal ke Orang Baduy ini. tapi bibirnya kelu. Tidak sedikit pun mampu digerakkan.