Bab 5
Bab 5

"A-apa?" Aku menoleh cepat kearahnya, apa maksudnya berbicara seperti itu, aku bahkan tidak menyetujui niat tidak warasnya kemarin.

"Benarkan Nara," Ia melotot sambil tersenyum aneh padaku. Aku hanya diam, mulutku terbuka mataku masih tak berkedip karena tak menyangka ia berani mengatakan hal itu.

"Kinara," kali ini ia sengaja mencubit lenganku. 
Aku hanya menganggukkan kepala, tanpa bersuara, sambil melotot balik kearahnya.

"Waahh, selamat ya. Tak menyangka akhirnya kau bisa lepas juga dari bayang bayang Bella," sahut Sandy sambil menepuk pundak Pak Rhaka.

"Selamat ya, tak kusangka pesona seorang Kinara mampu membuat pria ini bangkit dari bayang bayang Bella," lanjutnya sambil terkekeh.

"Bella?" aku mengucapkan nama itu pelan.

"Siapa dia? apakah dia adalah mantan kekasih Pak Rhaka?"

"Nama yang sama yang kemarin sempat diucapkan Clara. Apa yang terjadi dengan Bella?"

Ah sudahlah, itu bukan urusanku.

"Mari, silakan dicicipi dulu hidangan yang tersedia, aku kedepan sebentar menyambut tamu yang lain, kuharap kalian nyaman di acara ini," pamitnya pada kami.

MC acara mulai memandu acara, dari tadi aku belum melihat calon tunangan adik Sandy. Hanya Sabrina saja yang kulihat dari tadi hilir mudik menyambut kedatangan para tamu.

"Ayo Nara, kita temui Sabrina sebentar untuk menyerahkan kado ini, setelah itu kita pergi dari sini!" Suara Pak Rhaka menyadarkanku.

"I-iya pak."

"Mas Rhaka," suara Sabrina terdengar manja saat memanggil beruang kutub ini." 

Melihat panggilannya seperti ini aku bisa mengira jika mereka sering bertemu dan hubungan mereka cukup dekat.

"Selamat atas pertunangan mu Sabrina."

Kami bergantian menyalaminya dan memberi selamat atas pertunangannya malam ini.

"Oh iya mana calon tunanganmu, Aku belum melihatnya dari tadi." cetus Pak Rhaka tiba tiba.

"Oh itu, dia masih dikamar. Masih bersiap siap, tadi agak terlambat datang kesini. Jadinya yah begini ... hanya aku sendiri menyambut para tamu," jelasnya.

"Nanti sebentar lagi akan kukenal kan kalian dengannya," ucapnya dengan seulas senyum manis diwajahnya.

Pandanganku menyapu setiap sudut tempat ini. Ruangan ini didesain indah dengan tambahan bunga import segar, harum mawar lebih dominan karena hampir setiap sudut terdapat bunga berwarna merah itu.

Aku melihat seorang wanita paruh baya seperti memanggil Sabrina. Aku menepuk pelan pundaknya, memberitahu dirinya.

"Sabrina, maaf kurasa wanita disana memanggilmu," aku menyela pembicaraannya dengan Pak Rhaka. Kutunjuk seorang wanita di sisi kanan kami.

Ia menoleh ke arah yang kutunjuk, sambil tersenyum ia membalasku.

"Itu mamaku," ucapnya, lalu menoleh ke arah Pak Rhaka.

"Mas Rhaka mau bertemu mama tidak?

"Lain kali saja ya, Tante Mieke sepertinya sedang sibuk, tak apa. Sampaikan saja nanti salamku padanya."

"Lho kok ...?"

"Apa kalian akan pergi secepat itu, tidak menunggu sampai acara ini selesai," tanya Sabrina.

"Setelah dari sini aku harus mampir ke acara lain, maaf ya tidak bisa hadir lebih lama," sesal pria dingin ini beralasan.

"Baiklah, tapi setidaknya cicipi dulu hidangan ala kadar ini sebelum kalian pergi," sahutnya sedikit kecewa, lalu pamit menemui ibunya.

Aku menoleh kearah Pak Rhaka, tak lama setelah Sabrina pergi dari hadapan kami. Bersiap melampiaskan kekesalanku tadi.

"Apa maksud semua perkataan bapak tadi?" sungutku kesal, tak mengerti akan sikapnya tadi.
 
"Apa," jawabnya pendek tanpa menoleh.

"Bapak pikirkan saja sendiri," gerutuku sambil berlalu meninggalkannya.

"Tunggu Kinara!" panggilnya.

"Aku mau pulang saja, pak!"

Aku terus berjalan menuju pintu keluar. Melihat sikapku Pak Rhaka berusaha menahanku.

"Tunggu dulu Nara," panggilnya lagi.

Aku berhenti sebentar, lalu menoleh ke arah Pak Rhaka, kulihat ia mengalihkan pandangannya ke arah Sabrina, sambil menggerutu aku juga melirik Sabrina yang sudah berdiri di sebelah seorang laki laki. 

"Apakah laki laki itu calon suaminya?" gumam Pak Rhaka.

Perasaanku tiba tiba tak enak saat melihat pria yang berdiri disamping Sabrina itu.

Dia ... 

Aku memperjelas kembali penglihatan ku saat melihat pria yang berdiri sambil tersenyum sumringah di samping Sabrina itu.

Dia, Vano. 

Mantan kekasihku.

Pria yang telah mengkhianati dan mencampakkan ku demi wanita lain yang lebih kaya, dan wanita itu adalah ... Sabrina?

Sial.

Aku menggigit bibirku, mencoba menahan perasaan ku saat melihat Vano yang terlihat bahagia disisi Sabrina, tanpa kusadari jika Pak Rhaka memperhatikan sikapku.

"Apa kau mengenali calon suami Sabrina, Nara?" 

"Maaf, aku bertanya karena kulihat raut wajahmu berubah saat kau melihatnya." 

"Iya, pak, " jawabku sambil menggangguk pelan.

"Aku sangat mengenal pria itu. Namanya Vano, mantan kekasihku, tiga bulan lalu pria itu mencampakkanku demi seorang gadis kaya, aku tak tahu jika gadis itu adalah Sabrina," jawabku lirih, ada rasa sesak dalam rongga dadaku saat mengingat hubunganku yang kandas itu.

Aku menatap nanar kearah pasangan bahagia itu, sambil terus meremas jemari ku, pria yang pernah kucintai kini sedang menyematkan sebuah cincin dijari manis Sabrina, tepuk tangan para tamu undangan menambah gemuruh hatiku yang semakin teriris saat melihat pemandangan bahagia itu.

"Kau baik baik saja, Nara?" tanya Pak Rhaka tanpa menoleh.

"Aku baik baik saja pak, hanya luka kecil saja yang terbuka."

"Jika kau merasa tak nyaman berada disini, ayo kita pergi, siapa tahu dengan begitu perasaan mu sedikit lebih baik," ajaknya, langsung menarik lenganku. Karena terkejut refleks aku menampik tangannya dari lenganku.

"Tak perlu pak,"

Aku kesal, rasanya saat ini aku ingin sekali membuat dia menyesal karena mencampakkan ku."

Sebuah ide gila melintas dikepalaku ketika aku menoleh sebentar kearah Pak Rhaka. Menatapnya dengan sedikit seringai jahat di bibirku.

"Ada apa kau melihatku seperti itu, Kinara?" ucapnya ketika menyadari jika aku memperhatikan dirinya.

Aku menggeleng sambil tersenyum lebar.

"Tidak ada," jawabku enteng.

"Kau yakin? melihat sikapmu, aku yakin ada hal yang baru saja kau pikirkan," ucapnya dengan wajah datar.

Dasar beruang kutub, sikap dinginnya memang kadang susah ditebak.

"Kau memang jeli dalam melihat raut wajah orang," aku memujinya sambil mengangkat satu jempol ku padanya.

"Aku tidak mengerti, apa rencanamu?"

"Itu bagus, bapak tak usah mengerti, cukup mengangguk saja, ayo ikut aku sebentar," sahutku sambil menariknya berjalan menuju kearah pasangan yang berbahagia itu.

"A-apa yang ingin kau lakukan, Kinara?"

"Memberi sedikit pelajaran pada laki laki pengkhianat itu. Sudah, bapak temani aku sebentar saja," ucapku lalu mengandengnya, seolah kami adalah pasangan kekasih.

"Kinara, apa yang ingin kau lakukan?"

Kuabaikan saja pertanyaan darinya yang terlihat terkejut dengan sikapku. Aku terus menggandengnya hingga kehadapan Sabrina.

Hanya tinggal beberapa langkah lagi, kami akan tiba dihadapan pasangan bahagia itu, kutatap wajah Vano yang terkejut saat melihat kedatanganku. 

Aku tersenyum sinis ketika kedua mata kami saling bertemu, terlihat ia mulai gugup.

"Selamat ya," ucap kami hampir bersamaan ketika tiba dihadapan Sabrina.

"Mas Rhaka, mbak. kenalkan ini Vano, calon suami saya," ucap Sabrina sambil mengenalkan pria yang berdiri disampingnya kepada kami.

"Hai, apa kabar?" sambut Pak Rhaka kalem.

"Hai, Selamat ya. Aku tak tahu jika ini adalah acara pertunangan mu!" Kupaksakan diri tersenyum manis dihadapan mereka.

"Kalian saling mengenal?" tanya Sabrina.

"Iya, kami saling mengenal," ucapku masih dengan seulas senyuman manis semanis madu. 

Hatsyiii ....

Kulirik laki laki pengkhianat ini, sikapnya mulai terlihat tidak nyaman dengan kehadiranku. Kurasa mungkin dia berpikir jika akan membuka jati dirinya dan merusak acara pertunangannya.

Ha ... ha ... ha ....

Rasanya mulut ini gatal ingin tertawa, ditambah lagi dengan pandangan matanya yang terus melotot kearah ku.

Haishh ... Sorry ya, laki laki bukan kau saja di dunia ini, tenanglah mantan, saat ini aku tak berminat menggangu acara bahagiamu ini, namun, setidaknya aku juga ingin kau membagi kebahagiaan itu padaku.

Bukankah itu terdengar adil?

"Benarkah? kau tak pernah cerita, Mas," tanya Sabrina sambil melirik ke arah tunangannya.

"Ah.. I- iya, kami memang saling mengenal. Ka-kami teman lama. Benarkan Nara?" sahut si pecundang itu menjawab nya terbata. Aku senang melihat sikap gugupnya, seperti seorang tertuduh dipengadilan yang terdesak oleh tuntutan jaksa penuntut.

"Benar," potong ku cepat.

"Lalu pria ini, siapa dia?" tanya Vano sambil menoleh kearah Sabrina.

"Kenalkan, ini Mas Rhaka, calon suamiku," kuberi kode dengan membeliakkan mataku padanya. Sayang, ia tak meresponnya balik, hingga kuinjak saja kakinya dengan heels yang kupakai.

"Aww ... " jeritnya sedikit tertahan sambil melotot padaku, wajah datar itu kini menjadi meringis menahan sakit akibat kuinjak dengan keras tadi. Akupun melotot balik membalasnya. Syukurlah, dilihat dari raut wajahnya, kurasa ia mengerti.

"Iya, pernikahan kami akan segera dilaksanakan secepatnya," Pak Rhaka menjawabnya dengan senyum yang merekah padaku, sedetik kemudian aku menyadari jika aku membuat kesalahan besar dengan mengenalkan Beruang kutub ini sebagai calon suamiku.

"Ah, dasar bod*oh kau Kinara," sesalku dalam hati.

Bersambung