Bab 7
Bab 7

"Jangan salah paham, Nara. Sebenarnya bapak hanya bingung dari mana harus mulai mengatakannya padamu, nak," kilahnya.

"Katakan saja pak."

Bapak menghela nafas, lalu ia mengubah posisi duduknya, sambil terus menatap ke arahku.

"Kau tahu kan sejak kecil bapak  seorang yatim piatu. Selama bertahun tahun bapak dirawat oleh keluarga Pak Wirya, sahabat baik Kakekmu. Bisa dibilang bapak berhutang budi pada keluarga Pak Wirya"

Aku diam mendengarkan bapak bicara, sejujurnya aku masih belum bisa menangkap maksud perkataannya.

"Bulan lalu, bapak diundang dan bertemu dengan Pak Wirya dirumahnya ... " Ia diam sejenak.

"Lalu ..." kataku cuek karena masih belum bisa mengerti maksud bapak.

"Uhm, agar hubungan silaturahmi ini tidak terputus, Pak Wirya, merencanakan untuk lebih mempererat tali silaturahmi ini."

"Terus, apa kaitannya denganku pak?" aku menyela, sambil  mengambil segelas air putih dihadapanku.

"Begini Nara, Pak Wirya ingin menjodohkan salah satu cucunya  denganmu, Nara," ucap bapak hati hati, aku langsung mendelik tajam kearah bapak saat mendengarnya.

"A-apa," desisku, hampir saja gelas yang kupegang ini terjatuh.

"Maksud bapak, mengatur perjodohanku dengan cucu Pak Wirya, begitu?" aku memperjelas pernyataan bapak, sambil meletakkan gelas ke atas meja.

"Bapak bisa mengerti, jika kau terkejut. Tapi, bapak tak bisa menolak permintaannya Pak Wirya."

Aku menelan ludah saat mendengar permintaan bapak, aku tahu ia berhutang budi pada keluarga Pak Wirya, namun haruskah aku yang menerima permintaan bapak, menikahi pria yang tak kukenal?

"Tolong pertimbangkan permintaan bapak, Nara, kau kan tahu bapak sudah sakit-sakitan, setidaknya sebelum bapak meninggal, ada yang sudah menjagamu," jelas bapak.

Aku diam sambil menundukkan kepalaku, permintaan bapak kali ini cukup berat untukku, pria seperti apa yang nantinya bapak jodohkan padaku, baru memikirkannya saja sudah membuatku pusing.

"Apa bapak sudah bertemu dengan cucunya Pak Wirya itu?" tanyaku.

"Sudah nak, kelihatannya ia pemuda yang baik, selama ini ia berada di luar negeri, dan baru tiga bulan ini ia kembali ke Indonesia."

"Ia sopan, berpendidikan dan juga  tampan. Bapak yakin kau akan bahagia nanti bersamanya," terang bapak mencoba meyakinkanku.

"Setidaknya cobalah dulu untuk berkenalan dengannya, Kinara," lanjut bapak lagi membuatku semakin terpojok.

"Baiklah, jika itu keinginan bapak," ucapku pasrah, menyerah dengan keinginannya.

"Bisa aku tahu nama pria itu?"

"Keenan, namanya Keenan Yudistira Wirya."

"Keenan," aku mengulang mengeja nama itu.

"Jika kau berkenan bapak akan membicarakannya dengan Pak Wirya untuk mengatur pertemuan kalian," ucap bapak sumringah.

Aku diam mendengar perkataan bapak. Pikiranku mulai tidak bisa ku kendalikan, bapak akan kecewa jika aku menolaknya, namun, menikahi pria yang tak kucintai. Benarkah bisa membuatku bahagia?

"Baiklah, Nara akan temui pria pilihan bapak itu," aku menyerah pada keputusan bapak, aku tak ingin melihat wajah bapak yang kecewa  jika aku menolaknya.

"Setidaknya ini hanyalah sebuah pertemuan saja. Lihat sajalah apa yang akan terjadi nanti," gumamku pasrah.

"Kau memang putriku, Nara. Bapak tahu kau tak akan mungkin menolaknya."

"Segera nak, bapak akan mengatur pertemuan pertama kalian," sahut bapak sambil tersenyum bahagia.

Aku tersenyum getir sambil menggigit bibirku, Oh tuhan, bantulah hambamu yang cantik ini.


****


Sudah hampir dua minggu berlalu sejak pembicaraanku dengan bapak mengenai perjodohan itu, selama itu entah mengapa  membuatku tak begitu bersemangat melakukan kegiatan apapun termasuk berangkat ke kantor.

Aku masih ingat perkataan Pak Rhaka yang berjanji akan membawaku menemui seseorang. Sejak mendengar permintaan bapak, aku mulai menghindari Pak Rhaka, aku tak ingin jika  pertemuan dengan orang yang dimaksud Pak Rhaka, akan mempengaruhi keputusanku untuk menolak lamaran pernikahan darinya.

Tak ada hal yang bisa membuatku mempertimbangkan lamaran  pernikahan Pak Rhaka, untuk apa menyakiti diri sendiri, jika nantinya kami akan bercerai.

Haishh ... apa yang kupikirkan ini!  bukankah lebih baik ku terima saja keinginan bapak menikahi Keenan.  Habis urusan, semua akan senang.

Tapi, aku tak mengerti, mengapa ada rasa penolakan dari dalam batinku dengan perjodohan itu, sudahlah, akan kupikirkan nanti.

Aku melangkah gontai keruang kerjaku, beberapa kali kuhela nafas, mencoba mencari cara untuk keluar dari masalah ini. Namun, selalu saja berakhir dengan bayangan wajah bapak yang tersenyum sumringah dipelupuk mataku.

Aku melirik ruang kerja bosku. Entah, apa yang ada dalam pikirannya, karena aku terus menerus mencoba menghindari pembicaraan mengenai pertemuan yang dijanjikannya itu.

Drrtttt ... drrrttttt ....

Ponselku bergetar, membuyarkan lamunanku, sebuah panggilan masuk dari nomer yang tak kukenal tertera dilayar ponselku.

"Nomer tak dikenal," bisikku.

Aku menekan tombol hijau yang ada dilayar, tak menunggu lama panggilan itu pun tersambung.

(Hai, Kinara)

(Hi)

(Bisa aku menjemputmu nanti sore?)

(Siapa ini?)

(Keenan)

Keenan, nama itu bukankah nama yang sama dengan nama pria yang ingin dijodohkan bapak denganku, karena gugup, tanpa sadar aku  menutup panggilan telepon itu,

Aku masih tak percaya, secepat inikah bapak mengatur pertemuanku dengan Keenan?


Aku duduk di meja kerjaku sambil bertopang dagu. Memikirkan apa yang terjadi padaku saat ini, sambil melirik jam di dinding ruanganku, sudah pukul 09.30 pagi, harusnya bosku sudah tiba di kantor.

"Nara.." 

Suara panggilan itu sangat kukenali, aku menoleh ke kanan  dan kekiri, mencari tahu asal suara itu berasal, begitu aku menengok  ke belakang tak kusangka Pak Rhaka telah berdiri dibelakangku.

"Seperti hantu saja, bisa muncul dimana saja," bisikku geli.

"Uhm, Iya pak, ada apa?" 

"Bisa keruanganku sekarang?" perintahnya.

"I-iya pak" 

Aku mengikuti langkahnya dari belakang, tak biasanya ia sendiri datang keruanganku, biasanya dengan ia hanya tinggal meneleponku saja.

Aneh.

"Bisakah kau kosongkan jadwalku besok, dan ini dokumen dokumen yang sudah ku setujui," perintah nya tak kala kami sudah berada diruang kerjanya.

"I-iya pak," jawabku gugup, segera saja kuambil tumpukan dokumen yang telah disetujuinya, dan bergegas pergi dari sini.

"Permisi pak," pamitku padanya.

"Kuharap nanti pulang kerja sore ini kau ada waktu, kutunggu kau Lobby" 

Aku langsung menghentikan langkahku, Sore ini, bukankah Keenan akan menjemputmu.

"Aduh, bagaimana ini?" gumamku sembari menggigit bibirku.


****


Jarum jam di dinding sudah berputar menuju angka lima,  sudah waktunya untuk pulang, Aku masih duduk diam dengan penuh rasa bimbang dan cemas.

Bagaimana ini, apa yang harus kulakukan?

Bagaimana caranya menolak Pak Rhaka? aku takut jika Mas  Keenan sudah menungguku diluar sana.

Sambil memeluk tas kerjaku, perlahan aku keluar dari ruang kerjaku, sengaja aku memperlambat langkahku. Mencoba mencari cara agar keduanya tidak bertemu.

Semakin kupikirkan, kepalaku makin pusing. Ah, sudahlah, nasi sudah menjadi bubur, lebih baik dimakan saja sekalian, toh aku juga tak bisa menghindar lagi.

Benar saja, wajah datar milik Pak Rhaka langsung terlihat begitu pintu lift ini terbuka, aku tersenyum getir ketika ia berjalan mendekatiku.

"Ayo, ikut aku," ajaknya,  dalam hati aku mulai menertawakan kebodohanku.

Kami berjalan beriringan, beberapa karyawan menyapa kami, aku hanya bisa tersenyum getir saat membalas sapaan itu.

Kami berjalan menuju parkiran, aku pasrah. Mungkin ini pilihan terbaik yang aku punya.

Ditengah kebingungan, aku tak sadar tiba tiba terdengar suara seorang pria memanggil namaku, aku menoleh mencari asal suara.  Seorang pria kira kira seumuran Pak Rhaka, kini berjalan ke arahku.

Seorang pria berkemeja hitam dibalut jas warna senada, posturnya tinggi, wajahya bersih dan tampan tak jauh beda dengan Pak Rhaka, sudah berdiri dihadapanku.

"Kau Kinara bukan, Kinara Adilla Farsha?" Ia bertanya. 

Aku mengangguk saat ia menyebut namaku, karena merasa tidak mengenalnya aku balik bertanya padanya .

"Iya, saya Kinara, anda siapa?"

Tatapan matanya menatap lekat padaku, tak lama ia mengulurkan tangannya sambil tersenyum. 

"Apa kabar?" 

"Kabarku baik," jawabku sambil menerima uluran tangannya.

Aku mengerutkan keningku, memikirkan siapa pria ini, astaga mungkinkah ia?

"A-apa, kau Mas Keenan?" tanya ku ragu padanya.

"Iya, kenalkan aku Keenan," sahutnya memperkenalkan dirinya padaku.

"Dan ..."

Ia menoleh ke arah Pak Rhaka. Hal yang tak kuduga ternyata mereka saling mengenal.

"Hai. Rhaka, lama tak bertemu, bagaimana kabarmu?" ucap sinis Keenan mendekati Pak Rhaka, lalu  mengulurkan tangannya.

"Keenan," balas Pak Rhaka, mereka berdua kini seperti saling melempar pandangan

"Apakah kalian berdua saling mengenal?" tanyaku.


Bersambung.