Bab 6
"Ah, dasar bod*oh kau Kinara," sesalku dalam hati.
"Iya kan sayang," ucapnya Pak Rhaka sambil merangkulku, kalimat itu seperti palu yang menghantam Kepalaku. Aku terjebak dalam permainanku sendiri.
Kini, aku benar benar menyesali tindakan bodohku tadi, niat hati hendak pamer pasangan pada Vano, bisa kulihat jelas raut wajah Pak Rhaka yang berubah, seulas senyum tipis kini menghiasi wajahnya, beruang kutub ini benar benar tipe yang jeli melihat peluang. Beberapa kali mata itu berbinar saat melirikku.
Aku melepaskan diri dari rangkulan Pak Rhaka, ku rasa urusanku dengan Vano selesai, karena wajah mantanku kini terlihat kesal melihat kebahagian palsu yang kami perlihatkan, nampak dari sikapnya seperti tak menggubris perkataan Sabrina yang memintanya tersenyum ketika hendak berswafoto dengan para tamu. Jujur saya hatiku sangat puas sekarang.
"Terima kasih sudah datang Mas, Jangan lupa nanti hadir di acara pernikahannya ya," ucap Sabrina saat kami meminta diri dari hadapan mereka.
Pak Rhaka mengengam jemari tanganku, kami bergandengan tangan bak pasangan kekasih saat hendak pulang dari acara jamuan pertunangan ini. Entah kenapa ia masih belum melepaskan tanganku hingga kami tiba di depan mobilnya.
"Nara, aku tahu kau memanfaatkanku tadi?"
"Iya, terima kasih karena sudah membantuku tadi," sahutku lalu memejamkan mataku, mengingat bagaimana sikap terakhir Vano saat ia mengakhiri hubungan kami.
"Mungkin aku terlalu polos, hingga aku tak menyadari jika uang bisa membuat hati seseorang berpindah," ucapku sambil menatap pasangan itu.
Kami sejenak diam, aku melirik kesisi kananku, acara itu masih berlangsung, beberapa tamu masih terlihat berbasa basi sambil memamerkan barang barang branded yang mereka pakai, aku menelan salivaku, ternyata begini rasanya menghadiri acara para rakyat kalangan atas.
"Oh. Lalu bagaimana dengan tawaranku padamu, bukankah jika dengan menikahiku, kau bisa membalasnya lebih, kau juga akan memiliki banyak uang," mendengar perkataannya aku langsung menatapnya tajam, kulihat wajah beruang kutub ini tak berubah, datar. Entah bagaimana dulu ibunya melahirkannya.
"Aku sama sekali tidak tertarik dengan uangmu, maaf aku tetap tidak mau menerima tawaran itu," tegasku
Ia terkekeh, lalu mendongak ke atas, menatap langit malam
"Aku akan memperkenalkanmu pada seseorang, setelah itu aku akan terima apapun keputusanmu, Kinara."
Aku terdiam mendengarnya, memperkenalkan aku kepada seseeorang?
Siapa?
Aku mengerutkan keningku, apa maksud perkataannya, kenapa harus bermain teka-teki padaku, lagipula kenapa Pak Rhaka tak mengatakannya saja sekarang?
Baiklah, akan kuturuti permintaan nya kali ini. Karena aku juga ingin tahu, siapa orang yang ingin ia perkenalkan padaku.
"Baiklah, aku turuti kali ini permintaanmu pak," jawabku sambil tersenyum getir.
****
Hari mulai larut, jalanan Jakarta mulai lengang oleh kendaraan yang lewat, bintang bintang malam juga sudah terlihat terang bersinar.
Kami hanya diam didalam mobil. Sesekali ia terlihat mengganti chanel radio, aku memandang kearah luar jendela, gemerlapnya lampu taman dan membuat Jakarta terlihat semakin cantik dimalam hari.
Kau mau makan apa Kinara? aku sudah berjanji akan mentraktirmu makan malam," tawarnya.
Tidak pak, terima kasih. Aku mau pulang saja," pintaku, jujur saya aku lelah hari ini.
"Baiklah jika itu keinginanmu, dimana rumahmu? aku akan mengantarmu," cicitnya lagi tanpa menoleh,
"Heran, bisa bisanya ia memelihara wajah datar itu, bahkan papan penggilesan dirumahku saja bergelombang, setidaknya bisa dipakai buat nyuci baju, bahkan jika ia mau juga bisa bikin wajahnya bergelombang," gerutuku dalam hati.
Mobil yang dikendarainya kini masuk kesebuah perumahan sederhana didaerah selatan Jakarta, melewati rumah rumah tipe 27 dan 36 yang berjejer di kiri kanan jalan, aku menunjuk sebuah rumah bernomor 23 disisi kiriku. Tak lama mobil ini pun menepi.
"Mau mampir dulu, pak, " tawarku setengah hati padanya.
"Terima kasih, ini sudah malam, lagipula kelihatannya kau lelah, masuk dan beristirahatlah," ucapnya, lagi lagi dengan wajahnya yang datar itu, benar benar beruang kutub. Namun saat mata itu memandangku, ada rasa hangat dan desiran dihati.
Aku keluar dari mobilnya, tak berapa lama kemudian, mobil itu mulai menjauh dan berputar arah meninggalkan aku yang masih berdiri terpaku disini.
"Kinara ..."
Suara panggilan bapak menyadarkanku, aku menoleh kearah bapak, kulirik kembali jalanan, mobil Pak Rhaka sudah tak terlihat lagi. Aku bergegas masuk kerumahku.
Bapak sudah duduk menyambutku di kursi teras, kurasa bapak mengkhawatirkanku, aku yakin ia akan menayakan alasanku pulang terlambat malam ini.
"I-iya pak, bapak belum tidur," gugup kujawab panggilan bapak
"Kau pulang terlambat nak?"
"Iya, tadi aku menghadiri acara pertunangan seorang teman, maaf lupa memberitahu bapak, dan membuat bapak khawatir," sesalku sambil menunduk dihadapannya.
Bapak menatapku tajam membuatku tambah gugup didepannya, "masuklah nak, sudah malam,"
"Iya," jawabku lalu masuk kedalam rumah.
"Kinara," panggil bapak lagi saat aku hendak masuk kekamarku.
"Ada apa pak?"
"Sebenarnya bapak menunggumu dari tadi, ada hal penting yang ingin bapak bicarakan denganmu nak?"
"Tapi, kelihatannya hari ini kau lelah. Istirahatlah, besok saja kita bicara," ucap beliau lalu berdiri. Meninggalkanku yang masih berdiri didepan kamarku.
Aku menggangguk di pelan, lalu berjalan ke kamarku.
Aneh, tak biasanya bapak bersikap seperti ini. Kira kira apa yang ingin ia bicarakan denganku?
Sudahlah, toh besok aku juga akan mengetahuinya nanti.
Aku masuk kekamarku, menaruh tas dan melepas sepatu. Tak lama aku meraih handuk yang tergantung di belakang pintu kamarku.
" Lebih baik sekarang aku mandi, menghadiri pesta pertunangan Vano, membuatku moodku jadi tak baik malam ini," gerutuku sambil menutup pintu kamar mandi ini.
****
Pagi ini seperti biasa, bapak sudah menungguku di meja makan. Sejak kematian ibu lima tahun yang lalu, bapak sering sakit sakitan, dua bulan lalu, ia baru saja cek kesehatan karena tekanan darah dan kolesterolnya yang naik drastis, beberapa kali aku meminta nya agar mengikuti saran dari dokter untuk mengatur pola makan dan banyak beristirahat, namun ia selalu saja punya alasan untuk melanggar anjuran dokter itu.
"Umur hanya tuhan saja yang tahu, setidaknya sekarang aku masih bisa mencicipi makanan kesukaanku," selalu itu yang menjadi alasannya jika aku menegurnya.
Kami duduk dikursi saling berhadapan dimeja makan ini, memulai sarapan pagi dengan diam, aku belum ingin bertanya hal apa yang ingin ia bicarakan denganku, tak lama kulirik bapak yang sedang meneguk habis segelas air putih setelah menyantap sepiring nasi goreng buatanku.
"Semalam, bapak bilang ingin membicarakan sesuatu hal denganku," ucapku membuka percakapan.
"Iya, Nara, bapak mau tanya, apakah saat ini kau punya kekasih?"
Aku tersedak,
Nasi goreng yang sedang kukunyah kini berhamburan saat mendengarnya. Tunggu dulu, pertanyaan aneh macam apa itu, aku tak percaya jika bapak memberi pertanyaan seperti itu padaku.
"Ma- maksud bapak?" tanyaku sambil membersihkan mulut.
Ia menatapku sambil tersenyum.
Bersambung.