Mataku perlahan terbuka dan mengerjap pelan. Mas Rendra masih tertidur pulas di samping dengan posisi telentang. Kusibak selimut, lalu beranjak turun dari kasur dan berdiri mematung memandangi Mas Rendra dalam diam.
Tak berselang lama, aku berjalan santai keluar kamar. Kondisi rumah masih dalam keadaan sepi dan gelap. Hanya lampu dapur yang selalu dibiarkan menyala. Semua orang di rumah ini pun masih terbuai dengan mimpinya.
Langkahku kini telah tiba di depan kamar wanita simpanan Mas Rendra. Tanganku terulur membuka pintu yang ternyata tidak terkunci. Dengan tersenyu menyeringai, aku berjalan mendekat, lalu berdiri tepat di samping wanita g4t*l yang tengah terlelap itu.
"Kamu akan mendapatkan hukuman kontan atas perbuatanmu itu, J4l*ng!" desisku dengan kedua tangan mengepal kuat.
Kulirik bantal di samping kepalanya, lalu membungkuk mengambil bantal itu dan kembali tersenyum. Wanita itu membuka mata dan terkejut seketika saat aku naik ke atas tubuhnya. Detik berikutnya, dia sudah meronta-ronta saat wajahnya kututup bantal sambil tertawa puas.
Kakinya masih bergerak-gerak gelisah. Kedua tangannya pun berusaha melepaskan bantalnya, tapi tidak berhasil. Perlahan tapi pasti, kedua tangan itu mulai terkulai lemas. Kedua kakinya pun sudah tak bergerak lagi.
Aku diam dengan bantal masih menutupi wajah wanita itu. Setelah beberapa menit tak merasakan pergerakan dan yakin dia mati, aku pun berdiri, lalu meletakkan bantal itu ke tempat semula.
"Selamat tidur, J4l*ng!" Aku tersenyum puas melihatnya tak lagi bernyawa.
Aku berjalan keluar kamarnya sembari bersiul santai. Kakiku kini mengayun santai menuju dapur, lalu menatap sesaat pisau dapur di depan mata.
Detik berikutnya, pisau itu sudah beralih ke tanganku. Kini, aku melangkah pasti menuju kamar di lantai dua. Kamar yang menyimpan banyak kenangan manis bersama suamiku tercinta—Mas Rendra.
Kuhampiri pria yang sebentar lagi akan menyusul kekasih gelapnya itu ke alam baka sembari memainkan pisau sembari memainkan pisau.
Sebentar lagi kalian berdua akan bersatu tanpa ada yang mengganggu lagi, Sayang.
Aku membungkuk, lalu mengusap pelan wajahnya dengan punggung telunjuk. Mengecup sekilas keningnya, lalu kembali berdiri tegak saat dia mulai menggeliat.
"Dek?"
Aku tersenyum manis dengan kedua tangan disembunyikan ke belakang.
"Kenapa bangun, Dek? Sini, tidur lagi." Dia menepuk kasur di sebelahnya masih dalam posisi berbaring.
Aku menggeleng. "Aku punya hadiah spesial untukmu, Mas."
"Hadiah spesial?"
Aku mengangguk. "Tutup dulu matanya," bisikku sembari mengedipkan sebelah mata.
Dengan senyum semringah, Mas Rendra langsung menuruti permintaanku tanpa rasa curiga sedikit pun. Detik berikutnya, dia mengerang sakit, tapi hanya sebentar. Kini, suamiku sudah tergeletak tak berdaya dengan darah mengucur deras dari lehernya. Sprei dan selimut putih itu telah berubah merah seiring dengan darah yang terus mengalir.
Aku tertawa puas melihat tubuh itu berlumuran darah dengan mata melotot. Tak lama, tawaku terhenti saat mendengar sirene aparat berwajib di luar sana. Aku memang sengaja menelepon dan mengabari bahwa ada pembunuhan di rumah ini sebelum mengeksekusi keduanya.
Aku menoleh saat mendengar pintu kamar ini didobrak dari luar. Pihak berwajib datang bersamaan dengan kedua orangtua Mas Rendra yang membelalak terkejut, lalu berteriak histeris melihat putranya yang sudah tak bernyawa.
"Angkat tangan!"
Aku tersenyum menyeringai tanpa mau menuruti perintah itu. Detik berikutnya, aku berteriak sambil berlari dan mengayunkan pisau. Langkah ini baru terhenti ketika merasakan sesuatu menembus perut dengan cepat. Terasa dingin, tapi perlahan mulai terasa panas dan perih.
Aku menunduk dan mendapati darah mengalir deras dari perut. Masih dengan senyuman, aku kembali menoleh pada mereka. Papa mertua menembakku dengan merebut senjata dari aparat.
"Terima kasih, Pa," ucapku sesaat sebelum tubuhku ambruk ke lantai dan semua menjadi gelap.
🌺🌺🌺
"Dek! Bangun, Dek!"
Aku langsung terperanjat bangun ke posisi duduk dengan napas tersengal dan mata membelalak lebar. Menunduk ke arah perut sembari meraba-rabanya. Memastikan kalau luka itu tidak ada. Semua hanya mimpi, tapi teras begitu nyata.
"Kamu kenapa, Dek? Dari tadi Mas coba bangunin kamu, tapi susah," kata Mas Rendra sembari mengusap keringat dingin dari keningku.
Aku menoleh perlahan, menelisik lehernya untuk memastikan tak ada luka apalagi darah. Napasku masih belum beraturan seiring dengan perasaan takut yang menyelimuti.
"Kenapa?" tanyanya lagi dengan kedua alis yang saling bertautan.
"Aku ... aku mimpi buruk, Mas," ucapku dengan suara bergetar.
Aku menunduk. Menatap kedua tangan yang gemetar. Benar-benar terasa nyata saat aku menghabisi kedua manusia itu.
"Dek?" Mas Rendra meraih daguku hingga kembali menatapnya. "Kamu mimpi apa, sih? Sampai gerak-gerak gelisah sambil mengerang nggak jelas gitu."
"Aku ...."
Nggak mungkin aku jawab kalau tadi mimpi menghabisi Mas Rendra bersama selingkuhannya, bukan?
"Dek?" panggilnya lagi.
"Aku ... aku mimpi ditembak penjahat, Mas," jawabku berbohong, masih dengan suara bergetar.
Mas Rendra turun dari kasur. Mengambil segelas air minum dari atas nakas, lalu memberikannya padaku.
"Minum, Dek. Biar tenang."
Aku mengangguk. Meneguk air minum itu sampai habis, lalu mengembalikan gelasnya.
"Terima kasih, Mas."
Mas Rendra menyimpan gelas, lalu kembali merangkak naik ke atas ranjang.
"Tenang, Dek. Itu cuma mimpi buruk. Ayo tidur lagi!" Dengan perlahan dia membaringkan kembali tubuhku, lalu menyelimuti sebatas perut.
Mataku masih terbuka. Menerawang menatap langit-langit kamar dengan jantung masih berdetak cepat. Aku memang marah, kecewa, sakit dan sedih, tapi tidak mungkin sampai melakukan kejahatan itu. Tidak mungkin aku mengotori tangan dengan membunuh mereka.
Aku berkali-kali menggumamkan istighfar saat bayangan di mimpi itu masih berkelebatan mengganggu pikiran.
"Dek." Mas Rendra membalik tubuhku menghadapnya. "Jangan takut! Semua itu hanya mimpi buruk! Tidurlah." Dia menarik kepalaku agar bersandar di dada bidangnya sembari mengusap rambut dengan lembut.
"Semua hanya mimpi, Dek. Hanya mimpi," gumamnya pelan.
★★★
Login untuk melihat komentar!