Prameswari
Bismillah

   "Honeymoon Di Villa Angker"

#part_3

#by: R.D.Lestari.

    Wanita itu bersimpuh di kakiku seraya memohon maaf dan menyentuh punggung tanganku. Aku benar-benar heran dengan tingkahnya saat itu, apalagi semua mata tertuju pada kami berdua.

    "Maafkan aku, Wid. Akulah wanita jahat yang sudah tega mengambil suamimu dan menyekapnya di gudang, juga akulah orang yang telah mengirim makhluk-makhluk tak kasat mata yang selama ini mengganggu mu,"

    "Ja--jadi, ka--kau ...,"

   "Ya, aku Memes, Prameswari. Simpanan Mas Dahlan, almarhum suamimu," suara parau keluar dari bibir pucatnya. Netranya mulai berkaca-kaca. 

   Aku menelan ludah. Betapa jahatnya wanita di atas kursi roda ini. Karenanya, aku harus kehilangan cinta dan juga kasih sayang suamiku untuk selama-lamanya. 

   Karenanya pula aku harus menderita mendapat teror mengerikan hingga membuat ku hancur dan hampir gila. Apa ia berhak atas pengampunanku?

   Apakah dendam ini akan ku bawa sampai mati?

   Sekarang tengoklah ia yang bertubuh kurus tinggal tulang berbalut kulit. Pias wajah penuh rasa penyesalan dan keriput. Tak ada sisi kecantikan sedikitpun di sana. Kemana perginya?

   Apakah aku harus menjadi wanita yang sama sepertinya? Hati kotor dengan tubuh yang kotor pula, huh, menjijikkan. Aku menatapnya hina. 

    Untuk sepersekian detik setan menari-nari di kepalaku. Namun, ketika kudengar suara malaikat kecilku, Aisyah memanggil namaku, aku sadar.

   Sadar bahwa Allah memberiku hikmah dari ujian melalui wanita tak punya hati di hadapan ku ini. 

   Jika tidak karena aku tegar menghadapi ujiannya, aku tak akan punya keluarga yang sempurna seperti saat ini. Dan aku tak ingin kebahagiaanku terusik karena kehadirannya.

    "Hmmmh,"

    "Aku sudah memaafkanmu, Mes. Sekarang kau pulanglah dan segera pergi ke kantor polisi, kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu karena telah menghabisi nyawa Mas Dahlan," aku berusaha sekuat mungkin tak  menangis. Air mataku terlalu berharga untuk wanita jahat sepertinya.

    Aku beranjak dan berbalik tanpa menoleh sedikitpun ke arahnya. Aku tak ingin kebencian ini kembali menjalari relung hatiku. Hari ini adalah hari pernikahanku. Aku ingin bahagia, itu saja.

    "Wi--Wid ...,"

    Ku hentikan langkahku dan menolehnya, senyum kecut tersungging di bibir merahku. Tanpa sadar bibir ini berucap," pergilah, aku tak ingin kehadiranmu mengacaukan hari bahagiaku," 

   Sekilas kutatap gadis yang kuperkirakan berumur dua puluh tahunan itu menunduk dan terisak. Aku tak peduli. Rasa kasihku telah hilang karenanya.

    Aku tak peduli, langkahku mantap menjauh darinya. Kudengar deritan kursi rodanya perlahan menjauh. Baguslah. Aku tak ingin merasakan sakit lagi dalam hatiku. Semoga ini untuk pertama dan terakhir aku bersitatap dan berbincang dengannya. 

***

    Acara pernikahan berjalan khidmat walaupun sempat ternoda dengan kehadiran Memes. Namun, berkat Aisyah, gadis kecilku yang selalu berceloteh riang, semua lara itu hilang. 

   Mas Yudi, ustad ganteng yang ternyata banyak di kagumi wanita. Terbukti dari banyaknya undangan wanita yang datang. Walaupun beberapa terlihat menatapku tajam dan banyak juga yang berbisik-bisik di balik cadarnya. Mungkin mereka kecewa dengan pernikahan kami , aku tak perduli. Yang jelas sekarang aku telah sah menjadi istri Mas Yudi, ustad ganteng yang berhasil mencuri hatiku.

***

   "Ma ... Aisyah mau bobok sama Mama malam ini," gadis kecil itu terlihat mengucek matanya. Sepertinya dia amat mengantuk.

   "Aisyah Bobok sama Mbak Anik, ya? biasa kan bobok sama Mbak," tukas Mas Yudi berusaha mengalihkan perhatian Aisyah. Bocah itu tertunduk kecewa. Ada rasa sedih menelusup ke relung hatiku, tak tega rasanya membiarkan bocah itu terluka.

     "Izinkan aku tidur bersama Aisyah, Mas. Nanti aku menyusul," sahutku. Mas Yudi menghela napas dalam, tapi akhirnya ia mengangguk setuju. 

     Mas Yudi akhirnya berjalan menuju kamar pengantin, sedangkan aku masuk ke dalam kamar yang kami sediakan untuk Aisyah.

     "Aisyah, sekarang bobok , ya. Mama tepukin pantatnya biar enak boboknya," ucapku saat kami sudah berbaring di ranjang mungil Aisyah.

   "Iya, Ma," sahutnya.

  Bocah itu menatapku sendu, semakin lama mata nya semakin sayu menikmati tepukan-tepukan pelan dariku. Ia pun terlelap. Kuselimuti bocah cantik itu dan kucium keningnya sebelum akhirnya ia tidur bersama Mbak Anik, pengasuhnya. 

    Aku melangkah menuju kamar dan ...

Komentar

Login untuk melihat komentar!