BAB 5
"Siapkan kami makan, Nai," ucap Mas Amir sesaat setelah aku sampai rumah. 

Aku melenggang cepat ke kamar, tak menghiraukan perkataannya sedikitpun. 

"Oh ternyata Mbak Naisa sudah tuli, kenapa tidak buta sekalian, Mbak?" teriak Rima. 

"Aku bilang siapkan, Nai," Mas Amir menimpali. 

Sudah benar-benar tidak punya malu keluarga ini. Meminjam uang atas namaku dan sekarang malah memaksaku di rumah yang aku beli dengan uangku sendiri. 

"Mau makan apa?" tanyaku singkat. 

"Aku mau ayam," ucap Mas Amir cepat. 

"Mama dan Rima mau sup kaki kambing saja."

"Sini, mana uangnya. Aku pesenin," ucapku. 

Aku putar bola mataku dengan malas. 

"Pakai uangmu dulu, Nai. Besok Mas kembalikan."

"Aku tidak punya uang," ucapku malas dan langsung melenggang ke kamar. 

Umpatan-umpatan Rima dan Ibu mertua masih nyaring terdengar di telinga. Biarlah, mungkin lebih baik mereka mati kelaparan daripada selalu menyusahkan orang. 

***

[Jadi bertemu Nai?] chat Farhan 

[Jadi] balasku

[Oke] balas Farhan cepat. 

Aku ingin membersihkan namaku dan membuka kebenarannya pada sahabatku bahwa yang dikatakan Mas Amir tidak benar sama sekali. 

Aku tidak mau dia menipu lebih banyak orang lagi menggunakan namaku hanya demi uang yang selalu bersarang di kepalanya.

Aku berdiri didepan kaca, merutuki kebodohanku yang bertahun-tahun dimanfaatkan oleh Mas Amir dan keluarganya. Semua tertutup oleh cinta dan aku merasa bodoh setelah mengetahui semuanya. 

Kupoles bibir merahku, kalau dilihat daei penampilan aku tidak seperti orang bodoh. Tapi kenyataannya aku merasa menjadi orang paling bodoh di dunia ini. Ah, tak elok rasanya selalu menyalahkan diri sendiri. Setelah ini aku akan bangkit dan merebit semua hakku. 

Aku keluar kamar dengan riang, namun setelah mengetahui seisi rumahku berantakan rasanya aku ingin sekali mengusir mereka. 'Sabar Nai, setelah sertifikat rumah ini atas namamu. Kamu bisa mengusir mereka.'

"Dibelakang ada baju cucianku, Rima dan Ibu. Tolong cuciin, Nai," perintah Mas Amir.

"Ada mesin cuci kenapa tidak cuci sendiri?" tanyaku dengan nada kesal. Bisanya cuma merintah saja keluarga benalu ini. 

"Tidak mau dong Mbak, nanti tanganku kasar kayak punya Mbak Naisa."

"Ingat Nai, aku suamimu. Ridhoku adalah Ridho Allah, ingat dosa kalau membangkang perintah suami."

"Dosa? Bagaimana dengan dosamu Mas? Kamu mendzolimiku, aku juga istrimu," ucapku dengan keras. Dia mengatakan dosaku tapi dia sendiri tidak menyadari dosanya. 

Aku malas berdebat dengan mereka bertiga. Kulenggangkan kakiku cepat untuk sampai ke mobil dan menuju tempat pertemuanku dengan Farhan. 

Rasanya aku bisa gila kalau terus-terusan tinggal dengan keluarga benalu seperti mereka. Hidupnya selalu dipenuhi dengan uang-uang dan uang, pemalas dan selalu menuntut ini itu. 

"Hai Far, sudah lama menunggu?" tanyaku cepat saat melihat Farhan sudah sampai di tempat janjian kami. 

"Oh tidak, barusan Nai. Duduklah, sudah aku pesankan makanan kesukaanmu."

"Wah terimakasih," ucapku sedikit malu. Aku dan Farhan sudah lama tidak berhubungan baik, entah kenapa Farhan menghindariku sesaat setelah aku menikah dengan Mas Amir. Mungkin dia sadar bahwa hubungan sahabat akan membahayakan pernikahanku apalagi dia seorang laki-laki. 
"Far, maafkan aku." ucapku terbata-bata. 

"Sudahlah Nai, uang segitu bukan apa-apa dibandingkan persahabatan kita. Aku akan selalu senang membantumu," ujar Farhan. 

"Bukan itu kebenarannya Far, semua yang dikatakan Mas Amir bohong," ujarku kencang

Air mataku sudah tidak tertahan lagi, aku akan menceritakan semua aib suamiku dan itu berarti aib keluargaku di ketahui orang lain. 

"Maksudmu Nai?" tanya Aryo kaget

"Yang benar adalah Mas Amir meminjam uangmu untuk keluarganya. Aku capek Far, aku capek dijadikan sapi peras oleh mereka. Aku capek."  Air mataku semakin deras mengalir, aku hancur. Farhan mendekat memegang pundakku seakan dia tahu aku butuh seseorang untuk menguatkanku. 

Sedari remaja, Farhan lah yang selalu berperan menjadi tempat bersandarku saat masalahku tak kunjung henti. Dia yang selalu memelukku, menenangkanku dan bahkan mensupportku dengan semua yang dia punya. 

"Aku salah menceritakan ini," ujarku semakin tergugu

"Tidak Nai, jangan pendam sendiri," ujar Farhan mencoba menenangkanku. 

"Maafkan Naisa," ujarku

"Hussttt tidak perlu minta maaf Nai, yang minta maaf seharusnya lelaki******itu," ujar Farhan penuh penekanan

"Ikut aku Nai." Farhan berdiri dan sedikit menarik lenganku agar aku mengikuti dirinya. Aku berjalan dibelakang Farhan, masuk ke mobilnya dan berjalan entah kemana. 

"Kemana?" tanyaku pada Farhan

"Sudah ikut saja." Didalam mobil tidak ada pembicaraan berarti, mungkin aku dan Farhan sama-sama terlelap dengan fikiran masing-masing.

"Jalur ini menuju rumahku?" tanyaku pada Farhan. 

"Yah, kita mau ke rumahmu."

Aku masuk ke gerbang lebih dulu sesaat setelah keliar dari mobil Farhan. Terluhat Mas Amir dan kedua keluarganya itu sudah berwira-wiri di depan pintu seperti menunggu seseorang. Entah siap yang ditunggu oleh mereka. 

"Dasar menantu tidak tahu diuntung, posisi suami diganti sama orang lain," cerocos Mama mertua saat melihatku. Aku sedikit tersenyum mendengar ucapannya, ah senangnya. 

"Ya Allah, Nai. Aku ini suamimu sayang. Kenapa diganti tanpa meberitahu dan izin pada Mas?" ucap Mas Amir.

"Tidak usah bilang sayang-sayang,  Mas. Muak sekali dengan sikao Mbak Naisa akhir-akhir ini."

"Memang tidak tahu diri... "

"Siapa yang tidak tahu diri?" Suara Farhan menggelegar diantara ocehan Mama mertua dan Rima. Mereka berdua langsung diam dan menenggok ke arah Farhan. "Mau aku tunjukkan siapa disini yang tidak tahu diri?"

"Pak Farhan."

Farhan langsung menarik baju Mas Amir dan hendak memukulnya, namun aku berhasil menghalaunya. Aku hanya tidak mau Farhan nantinya menyesal dengan tindakannya dan dia berakhir di penjara

"Ada apa Pak?" tanya Mas Amir kebingungan.

"Ada apa katamu, licik juga Kamu Amir," ucap Farhan

Mas Amir hanya terdiam mendengar penuturan Farhan, mungkin saja dia sudah mengetahui kesalahannya. 

"Aku mau menyita rumah ini, kalau kamu bisa bayar utangmu aku akan kembalikan rumahmu," ucap Farhan penuh penekanan. 

"Tidak bisa dong," cerocos Mama mertua. 

"Siapa kamu mengatur saya?" bentak Farhan yang membuat Mama mertua mati kutu. 

"Sementara aku serahkan rumah ini pada Naisa. Sebelum kamu bisa membayar utangmu, rumah ini milik Naisa," ucap Farhan yang membuatku sedikit kebingungan. 

Farhan menarik baju Mas Amir cepat hingga Mas Amir sedikit akan terjatuh. "Kembalikan uang saya dan mulai hari ini kamu bukan karyawan saya lagi." Mata mereka bertiga menyiratkan rasa ketidakpercayaan saat Farhan berkata demikian. 

"Karena Farhan berkata demikian, maka tolong malam ini pergi dari rumah ini. Dan satu lagi Mas, tunggu surat perceraian dariku."

Komentar

Login untuk melihat komentar!