"Anjani.. ! Tunggu.. ! " Dianti memanggilnya dan setengah berlari menyusul langkahnya yang berjarak sekitar empat meter di depannya. Anjani sedang melangkah menuju perpustakaan dan melewati kantin ketika mendengar suara temannya itu.
"Kamu sudah sembuh? Tadi kayaknya waktu aku berangkat kamu masih di kamar?" Tanya Dianti. Mereka teman satu kost. Tapi beda jurusan. Dianti di jurusan pendidikan kimia sedangkan Anjani pendidikan matematika.
"Iya, aku tadi memang belum berangkat. Jadwalku agak siang. Jawab Anjani.
'Tadi Fikar menanyakan kamu. Dia tanya apa betul kamu sedang sakit? Sakit apa?"
Dianti bertanya sambil memperhatikan ekspresi wajah temannya.
"Aku cuma pusing, sekarang sudah mendingan. " Kata Anjani, melanjutkan langkahnya menuju perpustakaan. Ada beberapa buku yang ingin ia pinjam.
"Anjani, Fikar kelihatannya khawatir mendengar kamu sakit. Diam-diam dia perhatian banget lho sama kamu. Masa kamu nggak tahu, atau pura-pura nggak tahu? " Dianti berusaha menyamakan langkahnya dengan Anjani. Menurutnya gadis itu kalau berjalan terlalu cepat. Seperti orang Jepang saja.
"Aduh, Anjani, jangan cepat-cepat dong jalannya. Kayak mau ke dukun beranak aja. " Kata Dianti.
"Panas, aku mau cepat sampai perpustakaan. Disana sejuk. " Kata Anjani melirik temannya sambil tersenyum. Semua orang bilang kalau jalannya cepat. Dia memang sudah terbiasa, tak bisa berlambat-lambat jika berjalan.
"Anjani, kau belum jawab pertanyaanku." Kata Dianti lagi.
"Pertanyaan apa? " Kata Anjani.
"Ya ampun kau ini. Pasti pura-pura tidak tahu." Dianti gemas dengan jawaban temannya.
"Lalu aku harus bagaimana? Kalau misalnya dia punya perhatian sama aku?" Anjani bertanya dengan lugunya.
" Bukan misalnya lagi. Memang dia itu perhatian sama kamu. Ya kamu pacaran dong sama dia. " Dianti menjawab lugas.
"Pacaran? Emang kalau kayak gitu terus otomatis jadi pacar apa gimana? Nggak deh Di. Aku datang ke sini untuk belajar. Biar cepet lulus jadi sarjana. Lalu kerja. Itu yang diinginkan orangtuaku. Bukan untuk pacaran. " Anjani menyuarakan isi hatinya.
"Ya ampun Anja... Kau kan masih bisa tetap kuliah walaupun sambil pacaran. Fikar itu orangnya baik lho. Pinter, juga kaya. Siapa tahu kalian berjodoh, besok ketika lulus bisa langsung menikah. " kata Dianti.
"Dianti, belum tentu dia suka sama aku kok. Buktinya kalau ketemu dia juga diam saja. " Kata Anjani.
"Diam saja, karena kau selalu menghindar darinya. Baru liat dia dari jauh saja kau langsung putar arah, cari jalan supaya tidak ketemu sama dia. Bagaimana dia bisa ngomong sama kamu? Kau ini memang pemalu, tapi jangan seperti itu dong. Bisa-bisa dia nanti salah tafsir, dikira kau benci padanya sampai nggak mau ketemu. " Kata Dianti lagi.
Mereka sudah sampai di perpustakaan. Dianti mengikuti Anjani yang langsung naik ke lantai dua. Perpustakaan kampus itu terdiri dari tiga lantai. Lantai satu khusus untuk koleksi surat kabar, lantai dua berisi koleksi buku fiksi dan nonfiksi, lantai tiga berisi koleksi majalah dan hasil penelitian.
Dianti tahu, ini adalah tempat yang paling sering dikunjungi Anjani. Anjani memang pintar dan kutu buku pula. Hampir setiap minggu ia meminjam buku, dan hampir setiap hari ia pergi ke perpustakaan kampus. Jarak yang cukup jauh dari gedung fakultas tidak menjadikan halangan.
Sebetulnya di kompleks Fakultas juga ada perpustakaan fakultas, tapi karena koleksi bukunya kurang lengkap, Anjani jarang datang ke sana. Kapanpun ada waktu di sela-sela jadwal kuliah, dia akan memilih segera datang ke sini.
"Kau mau pinjam buku apa sih? " Tanya Dianti. "Buku kalkulus, sama mengembalikan ini." Mereka tiba di counter dan Anjani mengeluarkan sebuah novel dan sebuah buku berjudul teori pembelajaran matematika dari tasnya.
Pernah Dianti bertanya, "Mengapa kamu suka sekali membaca, tiap minggu pinjam buku, tiap hari ke perpustakaan, apa tidak bosan? "
Anjani menjawab, "Aku sering pinjam buku karena aku belum paham, aku harus banyak belajar dari buku-buku yang kupinjam. Lagi pula aku di perpustakaan tidak selalu membaca kok, kadang hanya meringkas atau mengerjakan tugas. Aku senang berada di sana, karena aku suka baunya. "
"Suka baunya? Kau ini aneh sekali Anjani. " Kata Dianti.
"Apa kau tak merasa, kalau di perpustakaan itu ada bau buku, bau kertas?"
"Mungkin... Tapi aku tak terlalu memperhatikan. " Kata Dianti.
Setelah menyerahkan buku, mereka menyimpan tas ke dalam loker. Dianti berjalan mengekor Anjani yang bergerak ke arah koleksi buku-buku tentang pembelajaran matematika. Ia berharap Anjani segera menemukan buku yang dicarinya. Ia merasa kakinya capek. Berjalan dari fakultas pendidikan MIPA ke perpustakaan, lalu masih naik tangga ke lantai dua...
"Kamu nggak pinjam buku Di? " Tanya Anjani sambil masih asyik memilih-milih.
"Nggak. Ayo dong cepetan milihnya. Kakiku capek nih! " Kata Dianti sedikit gusar.
Untunglah buku yang dicari ketemu, mereka memilih tempat duduk untuk berdua di dekat jendela.
Perpustakaan kampus ini, menurut Anjani keren sekali. Bangunannya berbentuk segi enam, dengan desain dinding kaca dan sebagian dimodifikasi dengan kayu. Sinar matahari masuk dengan leluasa, tak perlu ada banyak lampu yang dinyalakan kecuali ketika suasana di luar sedang mendung.
"Kamu belum menjawab pertanyaan yang tadi Anjani. " Kata Dianti langsung, begitu mereka duduk.
"Pertanyaan apa lagi... " Anjani tampak sebal. Ia malas membahas tentang laki-laki itu.
Dia, Zulfikar, yang kuliah satu tingkat di atasnya di jurusan pendidikan kimia, satu fakultas dengannya, sama-sama di fakultas pendidikan MIPA.
Dia yang kata orang baik, pintar dan kaya, sehingga banyak mahasiswi yang berlomba untuk mendapatkan perhatiannya. Mungkin karena dia tampan pula.
"Eh, kok aku jadi mikirin dia? " Kata hati Anjani.
"Tadi... Waktu kita masih di jalan... Aku kan bilang... Kenapa kamu nggak pacaran aja sama Fikar...siapa tahu emang jodoh... Kalian sama-sama pinter. Nanti lulus langsung nikah aja... Kan nggak ganggu kuliah... " Kata Dianti lugas. Mana suaranya keras lagi. Beberapa mahasiswa yang sedang duduk membaca buku di area dekat mereka, melirik ke arah Dianti.
"Ssst... Kau ini. Bicara di sini jangan keras-keras dong. " Tukas Anjani, wajahnya memerah karena malu.
Untung saja ini perpustakaan kampus, bukan fakultas. Semoga orang-orang yang ada disini tak kenal siapa itu Fikar. Semoga yang duduk di dekat-dekat sini tak ada yang dari FPMIPA. Masalahnya, Fikar terkenal di FPMIPA. Jadi kalau ada orang dari FPMIPA disini... dia pasti tahu yang dimaksud itu siapa.
"Aduh... Kenapa aku bawa Dianti kesini?" Rutuk Anjani dalam hati, "Tempat ini memang bukan habitatnya. " Kata hatinya, kesal.
"Sorry, sorry, sorry.. Please... " Kata Dianti, kali ini volumenya jauh lebih kecil.
Anjani membuka-buka bukunya. "Aku nggak tahu harus bilang apa, Di. Aku merasa sungkan kalau ketemu dia. Makanya aku berusaha sebisa mungkin untuk nggak ketemu. "
Dianti menghela napas. "Kemarin Fikar tanya, kenapa kau selalu menghindarinya. Apa kau marah?"
"Marah kenapa? Nggak ada sebab buat aku marah. Aku cuma nggak nyaman aja. Kau kan tahu kalau dia banyak yang suka. Aku nggak mau jadi saingan mahasiswi satu fakultas. Biarlah dia untuk mereka saja. " Akhirnya itu yang bisa Anjani katakan.
"Ooh... Jadi begitu... " Kata Dianti sengaja dipelankan intonasinya, sambil memandang wajah Anjani yang memerah, entah karena malu, atau kesal.
Anjani masih membolak-balik halaman buku kalkulus di tangannya. Ia tahu, tak lama lagi Zulfikar akan mendapatkan informasi itu dari Dianti.
Anjani tak mungkin mengatakan kepada Dianti bahwa sebenarnya ada orang lain yang ada di hatinya. Orang itu, dia sekarang sedang duduk di sana. Anjani melirik sekilas ke bangku di dekat rak buku, cukup jauh dari tempatnya duduk.
Setiap ke perpustakaan, Anjani selalu melihatnya, sedang duduk di sana. Rupanya ia juga seorang kutu buku, sama seperti dirinya. Sosok itu tinggi, tampan dan terlihat cerdas. Sayangnya, sikapnya terlihat cuek dan tak peduli. Tampaknya ia hanya peduli pada buku-buku.
Anjani tak tahu siapa namanya. Sepertinya dari jurusan MIPA juga, karena Anjani pernah bertemu dengannya di selasar depan fakultas Biologi. Mungkin dia dari fakultas Biologi.
Sepertinya dia sedang membuat skripsi. Anjani hanya menebak, karena ia sering melihatnya mengambil sekaligus beberapa buku referensi dari rak. Ia juga banyak mengetik di laptop. Selain itu, ia juga tampak lebih sering berada di perpustakaan dibanding di ruang kuliah.
Karena setiap Anjani datang, dia sudah ada di perpustakaan dan ketika Anjani beranjak pulang untuk masuk kelas, dia masih saja duduk di kursinya.
Anjani hanya menyukainya dalam diam. Ia hanya tahu, perasaannya senang jika melihatnya duduk di sana. Seperti itu saja, baginya sudah cukup.
Bersambung...
Terimakasih sudah membaca.. Jangan lupa follow, rate dan subscribe ya... 🙏🙏❤