Part 1
Salam kenal... 
Jangan lupa klik tombol subscribe ya... 
Selamat membaca❤


Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Berilah aku wasiat”. Beliau menjawab, “Engkau jangan marah!” Orang itu mengulangi permintaannya berulang-ulang, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Engkau jangan marah!” [HR al-Bukhâri].

*************

Anjani bergegas bangun ketika mendengar azan subuh. Suaminya sudah bangun juga ternyata, dan sekarang sedang berada di kamar mandi. Mungkin sedang berwudhu dan sebentar lagi biasanya dia akan pergi sholat berjamaah di masjid.

Itulah kelebihan yang ia lihat dari suaminya. Selalu mengusahakan untuk sholat berjamaah di masjid yang kebetulan terletak tidak terlalu jauh dari rumah.

Tapi sayangnya, nilai plus itu bisa tiba-tiba berubah menjadi minus jika dia sedang marah. Dia seperti menjadi pribadi yang berbeda. Sama sekali berbeda. 

Jika ada sesuatu hal yang tak berkenan di hatinya sedikit saja, dia akan meluapkan kemarahannya dengan kata-kata kasar, dengan suara keras menggelegar, membentak-bentaknya sepuas hati.

Dia seolah tak tahu betapa hati istrinya hancur berkeping-keping karenanya. 

Pertama kalinya Anjani menerima perlakuan seperti itu, tentu saja sangat kaget, kecewa, sedih dan juga marah. Dulu, saking marah dan kecewanya, ia berani membalas kata-kata kasar suaminya dengan kata-kata penuh kemarahan bercampur tangis. 

Dulu, ia belum bisa menahan amarahnya jika diperlakukan seperti itu. Tetapi pada akhirnya, seiring berjalannya waktu, ia menyadari tak ada artinya membalaskan rasa marah dan kecewa dengan cara yang sama seperti suaminya. Percuma, tak ada hasilnya. Ia pun tak bisa dan tak biasa membentak-bentak.

Anjani memilih untuk diam, diam dalam kemarahan yang terpendam, terkadang sampai tiga hari lamanya. Selama tiga hari itu, suaminya mengajaknya bicara seperti biasa, tapi Anjani hanya akan menjawab seperlunya. Suaminya seolah pura-pura tidak tahu bahwa Anjani marah dan tidak terima dibentak-bentak.

Anjani mengerti,suaminya sama sekali tidak peka terhadap perasaannya. Tak ada gunanya dia terlalu lama memendam amarah. Lalu pada akhirnya lambat laun,  suasana menjadi normal kembali. 

Kejadian seperti itu terus berulang, selama sepuluh tahun mereka berumahtangga, sampai hari ini. Baru setahun ini, Anjani selalu mengawali harinya dengan sebuah doa pagi yang khusus. Doa yang berisi ucapan yang sama setiap harinya.

"Ya Alloh, aku berlindung kepada-Mu dari kemarahan dan bentakan suamiku. Kumohon ya Alloh, lembutkanlah hatinya, lembutkan kata-katanya kepadaku. Aamiin... " 

Itulah doa istimewa yang selalu ia panjatkan di awal hari, dalam keadaan antara putus asa dan penuh harap semoga Alloh mengabulkan. 

***************************************

Gadis itu bernama Anjani. Gadis berkerudung, cantik, baik, berhati lembut, dengan tutur kata yang juga lembut dan halus. Dan dia termasuk ke dalam tipe orang yang pendiam dan pemalu. Itulah sebabnya, selama masa sekolah dan kuliah tak pernah satu kalipun ia dekat dengan laki-laki.

Semua teman laki-lakinya, ia anggap teman biasa saja, tak ada yang istimewa. Itupun ia tak pernah dekat-dekat dengan mereka, bila tak ada keperluan yang benar-benar penting. 

Di kalangan teman-teman laki-lakinya, ia dikenal dingin, pendiam, cuek dan sedikit angkuh. Hingga tak ada satupun yang berani mendekati. 

Mereka hanya berinteraksi seperlunya saja. Misalnya, jika butuh pinjam buku catatan, atau jika piket bareng, atau kebetulan satu regu kelompok bareng ketika ada tugas sekolah. Itupun selalu Anjani tak pernah banyak bicara. 

Semasa sekolah, Anjani tak pernah punya pacar hingga lulus kuliah. Hingga ia bekerja menjadi guru matematika di sebuah SMA swasta di kotanya. 

Anjani adalah anak sulung dengan empat orang adik. 
Saat ia berada di usia 25 tahun, orangtuanya mulai ribut, mulai sering bertanya kapan menikah, dengan siapa. 

"Jadi perempuan itu jangan suka pilih-pilih, kamu jangan utopia. Kamu tahu apa itu utopia? " Pernah suatu kali ayahnya berkata seperti itu. Menyakitkan sekali.  

Menurut ayahnya, Utopia adalah kualitas sempurna yang didambakan, yang hanya ada dalam khayalan. Maksud ayahnya dengan kata-kata "Kamu jangan utopia" Anjani tahu, janganlah ia terlalu pemilih, mencari orang yang sempurna karena orang yang sempurna itu hanya ada di dalam khayalan. 

"Kalau cari suami itu, cari orang yang bisa jadi brayan urip" Suatu kali itu yang diucapkan ayahnya. Brayan urip adalah bahasa Jawa yang bermakna hidup bersama dengan rukun, tentram dan damai. 

Ibunya, walaupun tak terlalu banyak bicara, ia tahu juga risau memikirkan kapan putri sulungnya akan menikah. Anjani menangkap, yang dirisaukan orangtuanya adalah kapan waktunya dan bukannya dengan siapa ia menikah. 

Anjani sendiri bukannya tak memikirkan, satu persatu teman kuliahnya sudah menikah. Ia jadi merasa seolah-olah diuber-uber untuk segera menikah. Tapi...menikah dengan siapa? Ia kan belum punya calon. Mengapa tidak ayahnya saja yang mencarikan? Bukankah itu tanggung jawabnya? Mencarikan suami yang baik dan sholeh untuk anak perempuannya? Sayang sekali ayahnya tak tahu tentang itu, dan mungkin juga tak bisa. 

Sejak lama Anjani meyakini bahwa jodoh adalah rahasia Ilahi. Ia tak bisa mencari pacar, mencari jodoh. Dalam pikirannya yang lugu, nanti kalau sudah masanya juga akan datang sendiri.

Ia tak seperti temannya yang bisa pacaran sejak masih SMA, ganti pacar ketika kuliah, ganti pacar lagi setelah lulus kuliah, dan menikah dengan pacar yang lain lagi. Ia heran bisa ada perempuan yang seperti itu. 

Anjani merasa, sebagai wanita normal, Ia tentu saja pernah menyukai laki-laki. Tapi hanya sebatas suka saja. Hanya cinta yang tak berbalas, kalau kata temannya bilang. Pernah dia suka dengan kakak kelas sewaktu SMA. Rasa suka yang dipendam diam-diam. 

Pernah pula, ketika kuliah, ada rasa tertarik dengan kakak tingkat. Tapi hanya sebatas itu. Tak pernah ada percakapan atau interaksi apapun. Hanya cinta sebelah tangan. Orang yang disukai bahkan tak tahu jika ada seorang gadis pendiam dan pemalu yang menyukainya. 

Di masa kuliah, ada saatnya pula ketika seseorang berusaha untuk mendekatinya dan memberikan perhatian yang lebih kepadanya. Tapi sayang sekali, Anjani terlalu pemalu, pendiam dan takut. Ia takut punya pacar. Ia memilih untuk belajar dengan tekun agar segera lulus kuliah dan bekerja. Ia tidak berpikir untuk mencari pacar di tempat ia seharusnya belajar. 

Kini ia berpikir, apakah keputusannya dulu itu salah? Apakah seharusnya dulu ia menjadikan laki-laki itu sebagai pacarnya, sehingga sekarang dia tak berada dalam kondisi galau tingkat tinggi seperti ini? Dituntut untuk segera menikah, entah dengan siapa ? 

Anjani berusaha untuk tidak menggubris ucapan orang-orang yang berkaitan dengan jodoh. Anjani yakin, biarlah jika memang sudah waktunya, akan datang seseorang untuk melamarnya. Entah siapa dia, entah kapan. Ia tak tahu, tak mungkin tahu. Biarlah Alloh yang memberinya hidup, yang akan mengatur hidupnya. Anjani sudah sampai pada tahap itu, sepasrah itu. 

Ada waktunya ketika Anjani merasa ingin sekali ia meninggalkan rumah. Ia merasa tak tahan dengan sikap ayahnya. Ingin sekali ia menghindar dari pertanyaan-pertanyaan itu, baik yang diucapkan maupun yang tak diucapkan. 

Anjani sedih dan heran, sepenting itukah menikah? Apakah betul ia harus secepatnya menikah? Ia benar-benar merasa resah dan gelisah memikirkan hal itu. 

Terimakasih sudah membaca.. Jangan lupa follow dan subscribe ya... Terimakasih.. 🙏🙏❤















Komentar

Login untuk melihat komentar!