ISTRIKU BOROS
"Habis? Uang dua juta sudah habis dalam waktu dua minggu. Kamu boros Ani!"
Emosiku naik saat Anita—istriku bilang, jika uang yang aku berikan padanya dua minggu yang lalu sudah ludes tidak tersisa. Entah ia belikan apa uang sebesar dua juta rupiah itu, hingga bisa raib dalam kurun waktu lima belas hari.
Tadi saat pulang kerja, ibu memintaku membelikan gamis untuk pengajian. Dia bilang, harganya hanya seratus lima puluh ribu. Aku pikir, uang segitu pasti ada dan aku menyanggupi untuk membelikannya.
Namun, janjiku pada ibu tidak bisa aku tepati. Karena ternyata uang hasil kerjaku satu bulan, sudah habis di tangan Ani.
Wanitaku menunduk seraya memainkan jari. Ia tidak berani mendongak melihat wajahku.
"Coba kamu bilang sama aku, kamu pakai buat apa uang itu, Ni? Apa yang kamu beli?" cecarku padanya.
"Bang, aku tidak beli apa-apa. Aku memakainya hanya untuk keperluan kita sehari-hari, Bang." Ani mulai mengeluarkan suara setelah beberapa saat diam membisu.
"Tidak mungkin habis secepat itu, Ni. Jika kamu hanya memakainya untuk makan kita sehari-hari. Kontrakan kita tujuh ratus ribu, diberikan pada Ibu tiga ratus ribu, sisa tinggal sejuta. Masa ... uang sejuta bisa habis dalam waktu dua minggu, cuma untuk makan berdua. Sedangkan untuk beras, kita tidak pernah beli."
Aku merinci pengeluaran kita setiap bulannya. Selama aku berumah tangga bersama istriku, aku memang tidak pernah membeli beras. Beras selalu dikirim dari mertuaku di kampung. Selalu pas untuk satu bulan, bahkan lebih.
"Untuk membeli token dan kebutuhan dapur, tidak akan mengeluarkan uang sebanyak itu, Ni." Kembali aku berujar, dan Ani hanya diam.
"Maaf, Bang. Bilang saja sama Ibu, beli gamisnya bulan depan saja. Kalau Ibu mau, Ibu bisa pakai gamis punyaku. Masih bagus, kok cuma baru sekali pakai waktu lebaran saja."
"Mana mau Ibu, pakai barang bekas. Dahlah, pusing kepalaku terus-terusan di sini!"
"Mau ke mana, Bang?" tanyanya menoleh padaku yang berdiri hendak melangkah.
"Ke rumah Ibu, sekalian minta makan. Di sini aku tidak berselera makan. Sudah lah lauk cuma dengan ikan asin dan sambal, uang gaji sudah habis, mumet aku lama-lama hidup denganmu, Ni!" ujarku seraya menggeser piring dengan kasar, hingga ikan asin di dalamnya jatuh berceceran di atas meja makan.
Aku melirik Anita yang kian menundukkan kepalanya. Pasti dia nangis. Apa peduliku, dia pun tidak peduli dengan keringatku. Aku lelah setiap hari kerja, tapi dengan seenaknya dia menghabiskan uangku untuk hal-hal yang tidak aku ketahui.
Apa jangan-jangan uangnya habis dia berikan kepada orangtuanya di kampung?
Awas saja jika itu terjadi.
Dalam perjalanan, aku mengacak rambutku frustasi. Alasan apa yang harus aku katakan pada ibuku nanti. Pasti aku akan diceramahi lagi seperti yang sudah-sudah.
Jarak antara kontrakanku dengan rumah Ibu, hanya beberapa meter saja. Masih satu gang.
"Bu."
"Eh, Dan, kamu datang? Masuk sini, kebetulan Ibu baru saja masak, makan sekalian di sini, ya?" sambut Ibu saat aku tiba.
Aku masuk dan mengangguk semangat. Aku memang lapar dan belum makan sedari pulang kerja tadi. Saat Ibu menawariku makan, aku langsung mengiyakan. Apalagi, lauk yang Ibu masak sangat menggugah selera.
"Kamu makan seperti orang kelaparan, Dan. Memang Anita tidak masak di rumah?" tanya Bapak yang sedari tadi memperhatikan aku makan.
"Masak, Pak. Tapi bikin nafsu makanku hilang," ujarku dengan mulut yang penuh dengan makanan.
"Emang masak apa?" tanya Ibu.
"Ikan asin sama sambal goreng, Bu."
"Halah, kebiasaan si Ani, itu. Bisanya cuma masak begituan saja. Heran Ibu, sama dia. Emang tidak pernah diajari masak sama orang tuanya, masakannya itu-itu saja, masakan kampung."
Bukan hanya Ibu yang heran, aku pun sama. Tapi ... jika dipikir-pikir, waktu awal nikah, Ani sering masak masakan yang beragam. Uang yang aku kasih pun selalu cukup untuk satu bulan, bahkan sering lebih. Tapi, sekarang dia boros. Lebih tepatnya akhir-akhir ini dia jadi istri yang boros.
"Oh, iya, Bu. Beli gamisnya bulan depan saja, ya. Sekarang, aku udah gak punya uang, Bu. Ada sedikit juga untuk bensin." Meski dengan nada pelan, tapi ucapanku masih bisa terdengar jelas oleh Ibu.
"Loh, kok gitu, Dan. Katanya bisa dan ada uangnya. Masa sekarang tidak ada. Kamu gimana, sih Dadan?" ujar Ibu merajuk.
"Ya, gimana lagi, Bu. Uangnya gak ada, Ani bilang uangnya sudah habis. Aneh aku, tuh sama Ani, belum sebulan, uangku sudah raib."
"Istrimu boros sekali, Dan. Baru dua Minggu, uang sudah habis saja."
Emang. Istriku sangat boros. Membahas uang, kepalaku jadi tambah puyeng rasanya.
"Ibu juga bilang apa, sebaiknya kalian tinggal di sini, biar Ibu bisa mengawasi dan tahu, dipakai apa saja uang yang kamu kasih ke istrimu, itu. Lah, ini malah kekeh ingin ngontrak," ujar Ibu lagi dengan mencebikkan mulut.
Aku juga setuju jika kita tinggal di sini bersama Ibu. Bukan hanya untuk mengawasi Ani, tapi juga untuk menghemat pengeluaran. Kita tidak perlu keluar uang untuk membayar kontrakan jika kita tinggal di sini. Namun, Anita selalu menolak. Ia bilang ingin hidup mandiri meskipun dengan mengontrak rumah.
"Sudahlah, Dan, jangan terlalu dipirkan soal uang. Masalah uang dalam rumah tangga itu sudah biasa. Sabar dan ikhtiar, nanti juga akan ada jalannya," ujar Bapak memberikan wejangan.
"Iya, Pak. Gimana, ya agar Anita tidak jadi boros lagi? Meski dia tidak pernah mengeluh dan minta uang tambahan, aku tetep aja pusing."
"Kamu mau tahu, bagaimana caranya agar istri tidak boros?"
Ibu menyimpan sendok yan ia pegang. Tangannya ia lipat di atas meja.
"Gimana, Bu?" tanyaku penasaran.
"Ganti ISTRI!"
Aku terperangah mendengar jawaban dari ibu. Ganti istri. Haruskah?
_____________
Lah, kirain mau dikasih tips agar bisa menghemat uang. Ternyata malah disuruh ganti istri. Gimana, dong Mak??